RADARINDONESIAMEWS.COM, JAKARTA – Dalam risetnya, Bank Dunia merilis laporan bertajuk “Aspiring Indonesia, Expanding the Middle Class” pada akhir pekan lalu (30/1). Dalam riset itu, 115 juta masyarakat Indonesia dinilai rentan miskin.
“Ada 115 juta orang Indonesia yang tidak lagi miskin, tapi mereka rentan. Mereka belum menjadi bagian dari kelas menengah,” ucapnya.
Kasus kemiskinan sebenarnya bukan persoalan baru di negeri yang kaya SDA ini, solusi yang diambil sudah sangat mainstream yaitu dengan ‘mentaati’ rekomendasi Bank Dunia.
Dalam hal ini, Bank dunia merekomendasikan Indonesia membuka lapangan kerja dengan upah yang lebih baik, penyediaan pendidikan berkualitas, dan jaminan kesehatan.
Hal ini jelas membutuhkan perbaikan lingkungan usaha dan investasi pada infrastruktur padahal berdasarkan pengalaman sejarah ketika pemerintah negeri ini menyepakati rekomendasi tersebut maka akan semakin mengokohkan jerat neo-liberalisme di negeri ini.
Karena sebenarnya arti dari rekomendasi Bank Dunia tersebut dengan mengatasi kemiskinan adalah dengan memperbanyak proyek asing dengan logika akan membuka serapan tenaga kerja.
Inilah rekomendasi Bank Dunia yang sudah berjalan puluhan tahun namun rekomendasi ini tidak pernah membuat bangsa ini baik justru yang ada malah rakyat terlilit hutang negeri ini.
Untuk menyelesaikan problem kemiskinan secara tuntas harusnya penguasa tidak mengambil rekomendasi tersebut agar tidak terjerat hutang ribawi yang ujung-ujungnya melahirkan sebuah kebijakan yang semakin mencekik rakyat.
Maka hal yang harus dilakukan oleh penguasa adalah mencipatakan kondisi tatanan ekonomi yang stabil sehingga kesejahteraan berhasil dirasakan oleh seluruh rakyat.
Makna Kesejahteraan
Dalam Islam, kesejahteraan tidak dinilai dari besar pengeluaran atau pendapatan, tetapi dari pemenuhan kebutuhan asasiyah (pokok) secara perorangan. Kebutuhan pokok itu mencakup sandang, pangan, perumahan, kesehatan dan pendidikan secara layak. Allah SWT berfirman:
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Kewajiban para ayah memberikan makanan dan pakaian kepada keluarga secara layak (TQS al-Baqarah [2]: 233).
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ
Tempatkanlah para istri di tempat mana saja kalian bertempat tinggal menurut kemampuan kalian. Janganlah kalian menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka (TQS ath-Thalaq [85]: 6).
Bahkan dalam Islam, orang baru dikatakan kaya atau sejahtara jika memiliki kelebihan harta di atas 50 dirham. Dalam hal ini Rasulullah saw. bersabda:
«ما مِنْ أحد يَسْأَلُ مَسْأَلَةً وَهو عنها غَنِيٌ إِلاَّ جَاءَتْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كُدُوحًا أَوْ خُدُوْشًا أَوْ خُمُوشًا فِي وَجْهِهِ » قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ: وَمَاذَا يُغْنِيهِ، أَوْ مَاذَا أَغْنَاهُ؟ قَالَ: «خَمْسُونَ دِرْهَمًا…»
“Tidaklah seseorang meminta-minta, sementara ia kaya, kecuali pada Hari Kiamat nanti ia akan memiliki cacat di wajahnya.” Ditanyakan kepada beliau, “Ya Rasulullah, apa yang menjadikan ia termasuk orang kaya?” Beliau menjawab, “Harta sebesar 50 dirham…” (HR an-Nasa’I dan Ahmad).
Mengomentari hadis di atas. Syaikh Abdul Qadim Zallum menyatakan, “Siapa saja yang memiliki harta sebesar 50 dirham—atau setara dengan 148,75 gram perak, atau senilai dengan emas seharga itu—yang merupakan kelebihan (sisa) dari pemenuhan kebutuhan makan, pakaian, tempat tinggal; juga pemenuhan nafkah istri dan anak-anaknya serta pembantunya—maka ia dipandang orang kaya. Ia tidak boleh menerima bagian dari zakat (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwâl fî ad-Dawalah al-Khilâfah, hlm. 173).
Jika satu dirham hari ini setara dengan Rp 50 ribu saja, maka 50 dirham sama dengan Rp 2,5 juta. Kelebihan harta di atas 2,5 juta itu tentu merupakan sisa dari pemenuhan kebutuhan pokoknya (makanan, pakaian, perumahan; juga nafkah untuk anak, istri dan gaji pembantunya).
Dari sini tampak jelas bahwa kesejahteraan mustahil didapatkan dalam sistem ekonomi kapitalis yang notabene adalah sistem buatan manusia.
Kesejahteraan hanya akan mampu diraih jika aturan Islam digunakan dalam sistem ekonomi dan sektor lainnya yang dikelola secara syar’i dalam institusi Khilafah untuk menciptakan ekonomi yang kondusif.
Cara Islam Mengentaskan Kemiskinan
Pertama: Secara individual, Allah SWT memerintahkan setiap Muslim yang mampu untuk bekerja mencari nafkah untuk dirinya dan keluarga yang menjadi tanggungannya (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 233). Rasulullah saw. juga bersabda:
طَلَبُ الْحَلالِ فَرِيضَةٌ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ
Mencari rezeki yang halal adalah salah satu kewajiban di antara kewajiban yang lain (HR ath-Thabarani).
Jika seseorang miskin, ia diperintahkan untuk bersabar dan bertawakal seraya tetap berprasangka baik kepada Allah sebagai Zat Pemberi rezeki. Haram bagi dia berputus asa dari rezeki dan rahmat Allah SWT. Nabi saw. bersabda:
لاَ تَأْيَسَا مِنَ الرِّزْقِ مَا تَهَزَّزَتْ رُؤُوسُكُمَا ، فَإِنَّ الإِنْسَانَ تَلِدُهُ أُمُّهُ أَحْمَرَ لَيْسَ عَلَيْهِ قِشْرَةٌ ، ثُمَّ يَرْزُقُهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ
Janganlah kamu berdua berputus asa dari rezeki selama kepala kamu berdua masih bisa bergerak. Sungguh manusia dilahirkan oleh ibunya dalam keadaan merah tanpa mempunyai baju, kemudian Allah ‘Azza wa Jalla memberi dia rezeki (HR Ahmad, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban).
Kedua: Secara jama’i (kolektif) Allah SWT memerintahkan kaum Muslim untuk saling memperhatikan saudaranya yang kekurangan dan membutuhkan pertolongan. Rasulullah saw. bersabda:
مَا آمَنَ بِي مَنْ بَاتَ شَبْعَانَ وَ جَارُهُ جَائِعٌ إِلَى جَنْبِهِ وَ هُوَ يَعْلَمُ
Tidaklah beriman kepadaku siapa saja yang tidur dalam keadaan kenyang, sementara tetangganya kelaparan, padahal ia tahu (HR ath-Thabrani dan al-Bazzar).
Rasulullah saw. juga bersabda:
أَيُّمَا أَهْلِ عَرْصَةٍ ظَلَّ فِيهِمُ امْرُؤٌ جَائِعٌ، فَقَدْ بَرِئَتْ مِنْهُمْ ذِمَّةُ اللَّهِ
Penduduk negeri mana saja yang di tengah-tengah mereka ada seseorang yang kelaparan (yang mereka biarkan) maka jaminan (perlindungan) Allah terlepas dari diri mereka (HR Ahmad dan Ibnu Abi Syaibah).
Ketiga: Allah SWT memerintahkan penguasa untuk bertanggung jawab atas seluruh urusan rakyatnya, termasuk tentu menjamin kebutuhan pokok mereka. Rasulullah saw. bersabda:
فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Pemimpin atas manusia adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus (HR al-Bukhari, Muslim dan Ahmad).
Berikut adalah langkah praktis yang telah dilakukan Khilafah hingga berhasil menyelesaikan kemiskinan secara tuntas, diantaranya:
1. Melarang praktik riba karena riba adalah benalu dalam perekonomian negeri.
2. Semua sektor usaha harus berbasis sektor produktif.
3. Negara Khilafah memenuhi kebutuhan pokok massal, yakni pendidikan, kesehatan, keamanan sehingga income per keluarga hanya dialokasikan untuk kebutuhan individu.
4. Dalam kondisi khusus, negera memberi nafkah kepada rakyatnya tanpa mewajibkan perempuan bekerja.
Dengan mekanisme ini peradaban Islam yang pertama mampu mencapai angka kemiskinan struktural sebesar 0%, tingkat utang negara ke luar negeri sebesar 0% dan tingkat inflasi mata uang sebesar 0%. Hebat bukan?[]
Comment