Andalkan Peran Keluarga Tak Cukup Cegah Kekerasan Seksual

Opini199 Views

 

Penulis: Yenni Sarinah, S.Pd – Jurnalis, Pegiat Literasi Islam Selatpanjang – Pekanbaru, Riau

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA— Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menyatakan pencegahan  kekerasan seksual dapat dimulai dari keluarga. Keluarga diharapkan mampu menciptakan ruang aman untuk anak sehingga anak berani menceritakan jika terjadi kekerasan seksual dan berani melaporkannya. Keluarga yang sehat akan menghindarkan diri dari terjadinya kekerasan terhadap anak. Namun, faktanya tak cukup dari peran keluarga saja.

Orang Terdekat Jadi Predator Seksual

Keluarga yang diharapkan melindungi anggota keluarga malah menjadi pelaku predator seksual yang mencederai kesucian generasi penerusnya. Mulai dari kasus kekerasan seksual pada anak yang pelakunya adalah ayah kandung sendiri, ayah tiri, kakek, paman, kakak beradik, bahkan teman sebaya di lingkungan sekitarnya.

Kenyataan ini sesuai dengan meningkatnya kasus yang dilaporkan ke Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) yang pada 2023 terdaftar aduan sekitar 2.739 kasus. Miris, yang terdaftar saja sudah sebanyak itu, bagaimana dengan yang tidak berani membela diri? Semisal adanya tekanan dari pihak pelaku sehingga korban takut untuk melaporkannya.

Korban Butuh Peran Negara

Pencegahan kekerasan seksual pada anak tidak cukup hanya mengandalkan peran keluarga. Sejatinya yang dibutuhkan anak adalah peran nyata negara dengan perangkat aturan yang jelas dan tuntas, yang juga ditopang dengan peran masyarakat sekitarnya. Apalagi faktanya ada persoalan mendasar yang menjadi penghalang bagi terwujudnya jaminan keamanan, yaitu adanya sistem yang rusak.

Sistem yang rusak inilah yang telah membuka peluang terjadinya kekerasan seksual pada anak. Sistem yang dimaksudkan adalah sistem yang berasas sekularisme (pemisahan agama dari Negara), liberalisme dan sarat akan kepentingan segelintir oknum, terutama para elit yang menyuarakan ideologi kapitalisme yang jelas fasad (rusak). Maka, sejak saat itu pula anak kehilangan pengayom sekaligus perisai.

Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) Lemah

Selain itu lemahnya penegakan hukum juga mengakibatkan korban tidak mendapatkan keadilan yang sesuai. UU TPKS sebagai asas undang-undang, terbukti kurang tegas dalam mengatur jaminan agar tindak pidana tidak kembali terulang. Hal ini tampak pada ketiadaan upaya pencegahan dan pemulihan bagi korban kekerasan seksual.

Muncul potensi multitafsir dalam implementasi UU TPKS dimulai dari tidak adanya definisi yang jelas mengenai beberapa tindak pidana di dalamnya yang meliputi perihal pemerkosaan, pemerkosaan terhadap anak, perbuatan cabul terhadap anak, dan pemaksaan pelacuran. Sehingga UU TPKS dinilai belum mampu mengakomodir sepenuhnya hak korban kekerasan seksual di antaranya terkait penanganan, perlindungan, dan pemulihan.

Hak korban kekerasan seksual ini meliputi kemudahan akses layanan pengaduan, kebebasan menyampaikan keterangan dan pendapat; memperoleh izin meninggalkan pekerjaan dengan tetap memperoleh upah penuh; terbebas dari pertanyaan yang menjerat; dan hak untuk tidak didiskriminasi ketika dalam proses penanganan kasus.

Kita Butuh Sistem yang Benar

Sejak lama Islam telah hadir sebagai sistem kehidupan dengan seperangkat aturan hidup yang komprehensif. Islam telah tegas melarang kemaksiatan dan memiliki sistem sanksi yang tegas sehingga keadilan terwujud nyata.

Dengan keberadaan 3 pilar utamanya, Islam telah mampu membuktikan bahwa penegakan hukum dan jaminan keamanan niscaya terlaksana dengan baik. Tiga pilar itu dimulai dari individu, masyarakat dan tak kalah penting peran negara.

Pertama, individu yang bertakwa (memiliki kesadaran akan perintah dan larangan Allah SWT).

Tentu saja individu ini tidak lahir begitu saja tanpa didukung oleh akidah yang benar, yaitu akidah Islam sebagai pondasi kehidupan. Individu – individu yang baik dan benar akan mengikatkan keseluruhan aktivitas hidupnya dengan aturan yang ditetapkan oleh Allah SWT, mulai dari ia bangun tidur hingga tidur kembali, bahkan ketika ia mumayyiz hingga tutup usia.

Individu – individu ini jika ditopang dengan satu institusi terkecil pembentuk masyarakat Islam yaitu keluarga, yang di dalamnya mereka berani memilih dan memiliki komitmen bersama untuk terikat dengan syari’at Allah SWT, maka sudah dapat dipastikan mereka akan tumbuh menjadi keluarga yang mampu melindungi anak keturunan mereka dari perilaku menyimpang dan mampu menutup celah bagi keluarga sendiri untuk menjadi predator seksual bagi keluarga terdekat maupun lingkungan.

Namun, selama kehidupan tidak jelas pijakannya, keluarga seperti ini sangat sulit kita temukan di sekitar kita. Faktanya orang tua masa kini telah lelah dengan kesibukan mencari dunia, hingga lupa untuk hadir membangun ruhiyah atau kedekatan spiritual antara diri maupun keluarga dengan Penciptanya.

Ibu bukan lagi sebagai Ummu Warobatul Bait, pasalnya feminisme telah dengan mudah menggiring para wanita untuk bangga mendahulukan karir untuk mengumpulkan materi dibandingkan karir akhirat kepada generasinya. Ibu sekedar label namun minim integritas. Segala tugas mendidik anak dari ia lahir justru diberikan mandatnya pada baby sitter maupun pembantu – sehingga anak yang tumbuh sesuai dengan siapa yang paling dekat dengannya.

Ayah pun begitu, kehidupan yang tunggang langgang tak tentu kepastian telah menguras seluruh waktu ayah di luar rumah dengan berbagai kesibukan hingga lupa perannya sebagai pemimpin keluarga yang di pundaknya telah dibebankan tugas untuk memastikan keluarganya selamat dunia dan akhirat.

Dialog yang digambarkan di dalam Al-Qur’an seharusnya mendorong para ayah untuk hadir mendidik generasinya, namun dengan sistem yang rusak ini, waktu ayah banyak habis di luar rumah dengan segala problematikanya. Hingga anak-anak tumbuh dengan identitas memiliki ayah, namun ruhiyyahnya telah yatim sejak dini.

Kedua, masyarakat yang terikat dengan pemikiran, perasaan dan peraturan yang jelas dan adil, sehingga masyarakat mampu hadir sebagai bagian dari amar ma’ruf nahi munkar di lingkungan sekitarnya.

Masyarakat semacam ini hanya akan ditemukan jika Islam diterapkan di tengah masyarakat melalui loyalitas negara sebagai pelindung dan penanggung jawab urusan rakyat.

Jika bukan Islam, wajarlah bila masyarakat hadir namun terasa tiada. Masyarakat jadi enggan dalam beramar ma’ruf nahi munkar dikarenakan tidak adanya perasaan yang sama untuk menjalankan peraturan yang sama, sehingga pemikiran mereka cenderung enggan bersatu.

Apalagi ketika hukum yang diterapkan dan diterima di tengah mereka adalah hukum yang terkesan tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Hukum  cenderung ambigu dan tergantung atas kepentingan siapa hukum itu dipergunakan.

Ketiga, Negara yang mampu menghadirkan sanksi yang tegas dan berefek jera bagi pelaku kejahatan tercapai keadilan hukum yang nyata.

Negara tanpa tatanan hukum yang tegas dan jelas diibaratkan rumah tanpa atap – bila turun hujan terkena hujan dan bila panas tersengat matahari. Negara yang tidak mampu menunjukkan ketegasan hukum atau bahkan mengadopsi hukum dari akal manusia yang lemah dan terbatas, cenderung akan memicu perselisihan, pertikaian dan jauh dari fitrah manusia.

Sehingga kesan hukum bisa diperjualbelikan kian nyata saja. Terbukti pada kasus yang terjadi terhadap salah satu oknum penegak hukum –  dari sanksi hukuman mati bisa diganti dengan hukuman seumur hidup lewat banding yang tentunya ada kekuatan materi dan politik di sana.

Dengan tiga pilar ini, aturan kehidupan yang komprehensif itu akan saling bersinergi dan menjadi upaya pencegahan terhadap kekerasan seksual.

Hanya dengan Islam saja keadilan dan keamanan bisa terwujud terutama dalam upays menjamin terlaksananya perlindungan bagi semua warga negara. Wallahu a’lam bish-shawab.[]

Comment