Oleh: Puput Hariyani, S.Si, Pendidik Generasi
__________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Berandai-andai Uyghur bukanlah kita adalah sia-sia, tiada guna. Sampai kapan pun Uyghur adalah kita dan kita adalah Uyghur. Rasulullah bersabda, muslim satu sama lain ibarat satu tubuh. Pesan ini mengandung makna yang teramat mendalam bagi seorang muslim.
”Perumpamaan orang-orang yang beriman di dalam saling mencintai, saling menyayangi dan mengasihi adalah seperti satu tubuh, bila ada salah satu anggota tubuh mengaduh kesakitan, maka anggota-anggota tubuh yang lain ikut merasakannya, yaitu dengan tidak bisa tidur dan merasa demam.” (HR Bukhari dan Muslim).
“Janganlah kamu sekalian saling mendengki, saling menipu, saling memarahi dan saling membenci. Muslim yang satu adalah bersaudara dengan Muslim yang lain. Oleh karena itu, ia tidak boleh menganiaya, membiarkan, dan menghinanya”.
Sebagai sesama saudara muslim, ia tidak akan rela membiarkan saudaranya nestapa. Ia tidak akan rela menyaksikan saudaranya pesakitan. Tak akan mampu melihat saudaranya diembargo pihak lain sehingga menjadi sebab kurangnya pangan, tak layaknya sandang dan dirampas tempat tinggalnya. Kesadaran, perasaan, dan jiwanya akan senantiasa tersayat melihat saudaranya di negeri yang lain tengah getir menghadapi kesulitan hidup. Terlebih-lebih saat ancaman kaum kafir terus melancarkan serbuan, sebagai saudara tentu tak akan tinggal diam.
Kiranya pesan yang terekam 14 abad lalu ini, kini kembali menagih bukti dari kaum muslimin. Sebagaimana tatkala Rasul mempersaudarakan kaum Anshar dan Muhajirin yang tak saling kenal sebelumnya. Bahwa muslim itu bersaudara, tanpa memandang asal, latar belakang, suku maupun letak geografis tempat tinggalnya. Hanya satu barometer yakni keimanan sebagai pengikat satu sama lain demi menggapai Ridha Allah SWT.
Uyghur adalah salah satu saudara sesama muslim yang kini menanti bukti kesungguhan ukhuwah Islamiyyah dari saudara sesama muslim, bukan hanya Indonesia tapi seluruh negeri muslim lainnya.
Sekitar 1 juta warga dari etnis Uyghur, Kazakh dan minoritas lainnya diduga telah ditahan di Xinjiang barat laut China sejak 2017. Tindakan keras Pemerintah China terhadap etnis minoritas Muslim Uyghur ini telah membuka kepedulian dunia, kecaman intenasional mulai berdatangan. Akan tetapi, suara pembelaan dari negeri-negeri muslim justru nyaris tak terdengar.
Kebisuan sebagian besar dunia muslim mengerucut pada persamaan dalam beberapa hal, yakni pertimbangan politik, ekonomi dan kebijakan luar negeri. Sebut saja Malaysia, Pakistan, Arab Saudi dan Indonesia yang mayoritas muslim telah menghindari mengangkat masalah ini secara terbuka.
Keengganan Indonesia kecam China atas kasus Uyghur adalah karena Indonesia lebih memilih cara lain dalam membela dan ingin membalas sikap China yang tidak mencampuri urusan dalam negeri negara mitra dagang. Selain ketakutan akan dampak ekonomi.
Menurut lembaga think tank American Enterprise Institute, Investasi China di negeri muslim sangat fantastis, di Malaysia dan Indonesia, jumlahnya AU$121,6 miliar dibandingkan periode yang sama. Beijing telah banyak berinvestasi di industri minyak dan gas milik negara Arab Saudi dan Irak, serta menjanjikan investasi berkelanjutan di seluruh Asia, Afrika, dan Timur Tengah. Kondisi inilah yang menjadikan negeri-negeri muslim “mingkem” dari pembelaan saudaranya.
Sikap seperti ini jelas diharamkan syariat. Penolakan Indonesia untuk membela sesama muslim adalah sebuah pelanggaran dan ketidak-konsistenan dalam berpegang pada nilai agama. Sekaligus menelanjangi – Sikap yang lahir dari cara pandang sekuler, belenggu slogan internasional ‘non intervensi’ dan jeratan investasi asing yang menyandera kebebasan muslim untuk berdaulat.
Bagaimana sikap kita semestinya? Sebagai seorang muslim kita tidak boleh berdiam diri ketika ketidakadilan dipertontonkan. Kita harus memahamkan dan mengedukasi seluruh umat bahwa masalah Uyghur bukan semata masalah kemanusiaan. Tetapi lebih pada polarisasi ideologi besar yang tengah bertarung memperebutkan eksistensinya. Ketika kapitalisme telah menunjukkan tanda-tanda kegagalan dan keruntuhan, sosialis komunis hendak mengambil alih posisi tersebut meski tak cukup mudah menggeser hegemoni kapitalisme saat ini, disaat yang sama fajar kemenangan Islam mulai menyingsing, disitulah ideologi selain Islam semakin ingin menghambat kehadirannya. Dan penindasan kepada etnis Uighur adalah salah satu realisasi praktis kekejaman ideologi selain Islam.
Posisi dunia Islam termasuk Indonesia seharusnya lantang memberikan pembelaan kepada muslim Uyghur karena memiliki kekuatan dahsyat sebagai muslim terbesar. Bentuk pembelaan sebagai tuntunan syara dapat diwujudkan dengan memutus segala bentuk hubungan baik hubungan dagang maupun hubungan politik dengan China, mengirimkan kekuatan muslim untuk menolong muslim Uyghur yang terjajah di tanah miliknya sendiri. Mungkinkah hal ini terwujud? Sangat mungkin ketika negeri muslim berada di bawah satu komando, bersatu dalam sebuah kekuatan yang terpadu yakni berpegang pada kepemimpinan ideologi Islam sebagai kekuatan global yang akan mampu bersaing secara apple to apple. Wallahu’alam bi ash showab.[]
Comment