Ananda Dzulfikar, S.Hi*: Ketika LGBT Dibela Pengusaha, Di Mana Suara Penguasa?

Opini611 Views

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Baru-baru ini masyarakat riuh dengan statemen mengejutkan perusahaan Unilever di dalam akun instagram miliknya beberapa waktu lalu.

Pasalnya salah satu cabang perusahaan terbesar yang juga ada di Indonesia tersebut secara terang-terangan mendukung kaum pelangi LGBT. Tulisan yang di unggah pada tanggal 19 Juni 2020 tersebut menyatakan bahwa mereka berkomitmen untuk membuat kolega LGBTQ+ dan membanggakan atas hal itu.

Berbagai reaksipun dikemukakan oleh masyarakat negeri yang mayoritas muslim sebagai bentuk ungkapan dan kecaman untuk menentang argument pro LGBT. Salah satunya seruan boikot oleh MUI.

Dilansir laman republika.co.id,  Ketua Komisi Ekonomi MUI Azrul Tanjung mengajak masyarakat untuk berhenti menggunakan produk Unilever.

Namun sayangnya di antara keriuhan masyarakat yang resah terhadap pernyataan perusahaan terbesar Unilever hanya ditanggapi oleh MUI saja, tidak ada tindakan ataupun langkah penguasa untuk sekedar memperingatkan atau membuat aturan pemboikotan.

Kita tahu Mui hanyalah organisasi masyarakat bukan institusi milik negara atau representasi sebuah negara sehingga fatwa mui bukanlah hukum negara yang mempunyai kedaulatan yang mengikat untuk dipaksakan kepada seluruh masyarakat.

Kedudukannya pun semi formal yaitu hanya terikat bagi siapapun yang merasa terikat dengan fatwa tersebut. Sedangkan perusahaan pro LGBT tetap eksis seperti sedia kala.

Jika pemerintah tetap saja diam dan tidak mengambil langkah apapun terhadap perusahaan asing maupun domestik yang memiliki pengaruh besar dan menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat seperti ini, maka akidah muslim sebagai mayoritas penduduk terbesar di negeri ini bisa jadi terancam. Walaupun efek negative dari LGBT tidak hanya berimbas pada kaum muslim saja. Selain itu pemerintah kurang tanggap terhadap aduan dan seruan masyarakat sebagai pemegang suara terbesar dalam sistem demokrasi negeri ini.

Di mana pemerintah sebagai pelaksana regulasi tidak mampu melaksanakan kemauan masyarakat untuk kebaikan negeri ini.

Ternyata jargon kedaulatan dari rakyat oleh rakyat hanyalah simbolis belaka untuk meneguhkan penguasa yang disokong oleh pengusaha. Realitasnya pemerintah tetap tidak mampu berbuat apa apa di hadapan pengusaha.

Kita sering ditipu dengan kejadian yang sama dan berulang kali. Sudah saatnya kita benahi negeri ini, bukan dengan peraturan dan sistem yang penuh tipu muslihat tapi dengan sistem yang benar-benar memihak rakyat.

Saatnya kembali dengan system bukan buatan manusia yang mengecewakan tapi sistem sang Maha Pencipta yang membanggakan dan menentramkan. Wallahua’lam bisshowwab.[]

 

Comment