Penulis: Luthfiah Jufri, S.Si, M.Pd | Aktivis Muslimah Hijrah Polewali Mandar
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Heboh, Pernyataan Presiden Prabowo Subianto tentang kesediaannya memaafkan Pelaku Korupsi dengan syarat mengembalikan Negara. Hal ini disampaikan di depan mahasiswa Indonesia di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir, Rabu (18/12/2024) lalu.
Sehari kemudian, Langkah Presiden ini pun dibenarkan oleh Menko Polhukam Yusril Ihza Mahendra. Beliau mengatakan bahwa wacana ini terkait rencana amnesti dan abolisi bagi 44 ribu narapidana, termasuk kasus korupsi. (Suara.com. 20/12/2025)
Ternyata wacana Presiden Prabowo soal ini banyak menuai Kritik dari berbagai kalangan. Diantaranya Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi UGM, Zaenur Rohman, menyebut wacana pengampunan koruptor sangat berbahaya.
Menurutnya Pasal 4 UU Nomor 31 Tahun 1999 menegaskan pengembalian kerugian negara tidak membebaskan pelaku dari hukuman pidana.
Selain itu, Pengacara publik YLBHI, Afif M Qoyyim, pemberian amnesti menjadi angin segar dan memberikan karpet merah bagi para koruptor – karena cukup mengembalikan aset Negara.
Hingga wacana ini pun dibantah langsung oleh Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas memastikan bahwa pemerintah tidak akan memberikan amnesti kepada pelaku tindak pidana korupsi. (detik.com. 25/2/2025).
Sungguh, ironi jika amnesti diberikan kepada para koruptor. Mengingat, Korupsi adalah kejahatan yang dilakukan dengan kesadaran penuh demi keuntungan pribadi. Dalam undang-undang, korupsi dianggap sebagai kejahatan luar biasa karena dampaknya langsung merugikan masyarakat dan perekonomian negara.
Lantas, bolehkah pemberian Amnesti kepada Koruptor menurut Islam? Bagaimana seharusnya hukuman bagi Koruptor?
Islam memiliki solusi yang Jelas terhadap pelaku Korupsi. Dalam bahasa Arab, Korupsi disebut Al-fasad al-maali wa al-idaari (Kejahatan terkait dengan harta dan administrasi). Korupsi adalah suatu tindakan jahat demi keuntungan pribadi atau orang lain, dengan melakukan penipuan, penggelapan uang perusahaan atau Negara, tempat seseorang bekerja, atau dengan memanfaatkan posisi dan jabatan.
Pelaku korupsi disebut Koruptor. Koruptor melakukan tindakan kejahatan yang kompleks. Tidak hanya suap-menyuap tetapi penipuan, penggelapan (khianat), mengambil hak dan harta orang lain dengan memalsukan dokumen, merampas harta dll. (Al-Muhami Syaikh Abdurrahman Al-Maliki, Kitab Nidzam al-‘uqubat, hal. 31).
Korupsi tidak dikategorikan sebagai pencurian. Maka sanksinya bukan had tetapi Ta’zir. Sebagaimana termaktub dalam Kitab Nidzam al-‘uqubat oleh Al-Muhami Syaikh Abdurrahman Al-Maliki:
“Makna mencuri adalah mengambil harta dengan cara sembunyi-sembunyi. Jika seseorang merampas, menjambret, menjarah atau melakukan pengkhianatan terhadap harta, maka dia tidak disebut pencuri dan tidak wajib dipotong tangannya”.
Ta’ziir adalah jenis sanksi hukum yang diserahkan kepada khalifah (pemimpin Negara) atau Qadhi (hakim). Bentuknya ada 14 macam : (1) Dibunuh; (2) Dicambuk maksimal 10 kali; (3)Dipenjara; (4) Dibuang; (5) Diboikot; (6) Disalib; (7) Didenda; (8) perampasan Aset; (9) Mengubah Bentuk Hartanya; (10) Ancaman yang serius; (11) Nasihat; (12) larangan melakukan Transaksi; (13) Stigmatisasi; (14) Diumukan ke Publik.
Selain sanksi Ta’ziir yang diberlakukan kepada Koruptor, sesuai dengan kejahatannya maka harta yang dikorupsi wajib dikembalikan kepada pemiliknya. Inilah secara umum tentang sanksi bagi pelaku korupsi.
Adapun boleh tidaknya memaafkan koruptor, diserahkan kepada khalifah dan Qadhi. Begitupun dengan jangka waktu hukuman dan jenis hukuman ta’ziir yang dikenakan. Khalifah dan Qadhi boleh memberikan Amnesti jika kejahatannya tidak melibatkan hak manusia lain. Namun, jika terkait dengan manusia lain, maka qadhi maupun khalifah tidak berhak menggugurkan hukuman ta’ziir tersebut.
Kesimpulannya, Korupsi adalah jenis kejahatan yang melibatkan hak orang lain, maka dalam pandangan Islam Khalifah dan Qadhi tidak berhak memberikan Amnesti. Waallahu ‘alam bisshowab.[]
Comment