Ammy Amelia*: Rapid Test Tidak Efektif Batasi Sebaran Covid-19

Berita292 Views

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Sebagai upaya menekan penyebaran Virus Corona, pemerintah mulai melakukan Rapid Test atau tes cepat di beberapa wilayah di Indonesia.

Apa yang dimaksud dengan Rapid Test itu? Bisakah semua orang menjalani prosedur ini?

Dikutip dari laman alodokter bekerjasama dengan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Dalam Penanganan Covid-19, pada tanggal 27 Maret 2020, yang ditinjau oleh dr. Meva Nareza, disebutkan bahwa Rapid Test adalah metode skrining awal untuk mendeteksi antibodi yang diproduksi oleh tubuh untuk melawan virus Corona. Antibodi ini akan dibentuk oleh tubuh bila ada paparan virus Corona.

Dengan kata lain, bila antibodi ini terdeteksi di dalam tubuh, artinya orang tersebut pernah terpapar atau dimasuki oleh virus Corona. Jadi, Rapid Test hanyalah sebagai pemeriksaan skrining atau pemeriksaan penyaring dan bukan pemeriksaan untuk mendiagnosa infeksi virus Corona atau Covid-19.

Berdasarkan hal tersebut, Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah menunjuk Stadion Si Jalak Harupat (SJH) Kabupaten Bandung untuk dijadikan lokasi Rapid Test Massal Corona Virus Disease-19, untuk area Bandung Raya.

Dikutip laman Times Indonesia (22/3/2020), Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil menyatakan bahwa pihaknya akan terus melakukan sosialisasi dan imbauan kepada masyarakat untuk mencegah penyebaran wabah yang sudah mengglobal itu.

Rapid Test Massal sejatinya adalah salah satu upaya pemerintah, mencegah penyebaran virus Corona agar tidak meningkat lebih luas lagi. Namun pada faktanya, Rapid Test yang menurut rencana dapat dilaksanakan di Stadion Si Jalak Harupat Kabupaten Bandung, pada Rabu (25/03/2020) itu, terpaksa harus ditunda.

Penundaan karena terkendala penyediaan alat tes yang belum siap. Sejak Rabu pagi (25/03/2020), sejumlah warga datang ke Stadion Si Jalak Harupat, Kabupaten Bandung. Mereka ingin ikut tes cepat Covid-19 yang digelar Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Namun, menurut Petugas Penjaga Stadion belum ada tanda-tanda dari kedatangan petugas medis di Stadion, termasuk peralatan tes.

Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil melalui akun sosial media pribadinya menyampaikan pemberitahuan dan koreksi bahwa penyelenggaraan Tes Massal Covid-19 diubah menjadi Tes Masif Covid-19 tanpa kata massal.

Perubahan ini dimaksudkan terhadap jumlah peserta tetap banyak tapi dibatasi kepada peserta yang lebih diprioritaskan.

Tes Massif Covid-19 ini seperti dikatakan Kang Emil di laman pikiran rakyat.com, tujuannya bukan untuk ngetes semua orang, sekali lagi bukan untuk ngetes semua warga. Tujuannya adalah, mencari peta sebaran Covid-19 dari mereka-mereka yang dicurigai, dan radius mereka di mana. Kedua, memutus mata rantai sebaran yang kita duga ada di Jawa Barat. Tiga, tidak untuk semua orang. Keempatnya adalah, setelah ketahuan maka ada tindakan lanjutan medis.

Berdalih mengikuti metode Korea Selatan, Emil menjelaskan bahwa yang dilakukan Pemerintah Indonesia adalah pilihan Presiden Jokowi yang dianggap paling baik. “Tidak ada lock down, tapi dimassifkan tes nya, itu Korea Selatan” katanya lagi.

Sementara itu, dilansir dari detiknews (26/03/2020), Ahmad Utomo, Pakar Biologi Molekuler dari Stemcell and Cancer Institute, mengkritisi pengandalan metode Rapid Test yang dinilai kurang efektif untuk membatasi penyebaran Covid-19.

Utomo menjelaskan bahwa tes itu merupakan metode yang sangat sederhana sehingga dapat menghasilkan “negatif palsu”. Ia menjelaskan bahwa kelemahan terletak pada masalah waktu yang dibutuhkan untuk mendeteksi antibodi. Utomo mengatakan bahwa Rapid Test kalah cepat dalam mencegah penularan virus.

Dengan dipertahankannya kebijakan Pemerintah untuk tidak menjalankan Lock Down dan memasifkan Rapid Test, merupakan bukti lambannya pemerintah menangani penyebaran virus corona yang semakin luas.

Sebagai upaya pencegahan sebaran virus corona, covid-19 ini sebaiknya pemerintah pusat dan atau daerah bisa mengadopsi cara yang ditempuh Rasulullah saat menghadapi wabah penyakit menular (Thaun).

Dalam sejarah peradaban Islam, wabah penyakit menular pernah terjadi pada masa Rasulullah SAW. Wabah itu ialah kusta yang menular dan mematikan sebelum diketahui obatnya.

Untuk mengatasi wabah tersebut, salah satu upaya Rasulullah SAW adalah menerapkan karantina atau isolasi terhadap penderita.

“Jika kalian mendengar tentang wabah-wabah di suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Tetapi jika terjadi wabah di suatu tempat kalian berada, maka janganlah kalian meninggalkan tempat itu.”
(Hadist Riwayat Bukhari dan Muslim).

Di dalam Islam, mengatasi wabah penyakit yang sudah menjadi epidemi bahkan pandemi, tidak cukup dilakukan oleh kelompok atau komunitas. Negara harus berada di garda terdepan dalam menangani bencana seperti ini. Seperti, mengisolasi di kapal perang di lepas pantai, penanganan korban dan wilayah yang terkena wabah secara sigap dan cepat, serta melakukan berbagai upaya antisipatif agar wilayah atau warga negara yang lain tidak ikut terkena dampaknya.

Begitulah seharusnya peran negara sebagai pemimpin yang bertanggung jawab atas segala persolan yang mendera rakyatnya. Negara harus lebih berperan dalam mengurusi rakyat dan lebih optimal dari segi perlindungan dan kebutuhan.

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW.
“Siapa yang diserahi oleh Allah untuk mengatur urusan kaum Muslim, lalu dia tidak memperdulikan kebutuhan dan kepentingan mereka, maka Allah tidak akan memperdulikan kebutuhan dan kepentingannya (pada hari kiamat).
[H.R. Abu Dawud dan at-Tirmidzi]. Wallahu a’lam bishshawab.[]

*Ibu Rumah Tangga, tinggal di Bandung

Comment