Amir Haziq*: Kemiskinan di Alam Kapitalisme Vs Islam

Opini792 Views

RADARIMDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Penyebab kemiskinan di Indonesia begitu beragam. Kemiskinan merupakan masalah utama dan paling mendasar yang setiap harinya menjadi perhatian utama pemerintah.

Kemiskinan juga telah menjadi permasalahan global yang masih menghantui umat Islam di seluruh dunia semenjak dahulu hingga kini. Kemelut ini seringkali meletakkan umat Islam di kancah kehinaan.

Perdana Menteri Malaysia ke-5, Datuk Seri Abdullah Ahmad Badawi menegaskan, “Tidak ada cabaran yang paling hebat melanda dunia Islam hari ini selain daripada kemiskinan yang menyebabkan agama dan umatnya dipandang rendah serta diperlekehkan” (Utusan Malaysia, 18hb Februari 2005).

Secara umum, kemiskinan adalah kondisi ketika seseorang atau kelompok tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya seperti kebutuhan pangan, sandang dan kesehatan yang layak.

Menurut sistem Kapitalisme, kemiskinan biasanya ditarifkan secara relatif mengikut keadaan masyarakat di sebuah negara.

Dua konsep kemiskinan yang biasa digunakan adalah kemiskinan mutlak yaitu konsep cukup makan dan Kemiskinan relatif yaitu konsep ketidaksamaan pendapatan.

Menurut sistem kapitalis juga, kesalahan terbesar bagi orang yang menanggung kemiskinan adalah disebabkan kemalasan mereka dalam bekerja.

Namun jika diteliti secara mendalam, masalah pekerjaan ini sebenarnya berbasiskan pada tingginya biaya Pendidikan bermula dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi.

Konsekuensinya, keluarga yang mempunyai pendapatan yang rendah amat sulit menyekolahkan anak-anak mereka.

Ia akan berdampak pada kesulitan yang akan mereka hadapi untuk mendapatkan pekerjaan disebabkan tidak mempunyai kelulusan dalam bidang Pendidikan.

Inilah salah satu kenyataan yang dibuat-buat oleh sistem ini untuk menutupi segala macam kerusakan yang terbentuk dari mereka sendiri.

Belakangan ini kita lihat bagaimana kesenjangan di Indonesia semakin melebar. Data dari indeks jumlah orang miskin di Indonesia dikalkusi melonjak lebih dari 12 juta orang atau meningkat sekitar 40% menjadi 43,1 juta orang. Padahal, kemiskinan dengan ukuran tersebut sebenarnya sudah ditinggalkan karena dinilai tidak manusiawi.

Standar Kemiskinan Menurut Islam

Islam mentakrifkan kemiskinan dengan ukuran yang bersifat objektif dan konsisten. Menurut Islam, kemiskinan adalah keadaan apabila keperluan asas seseorang tidak terpenuhi secara menyeluruh.

Syariah menetapkan kebutuhan asas seseorang sebagai makanan, pakaian dan tempat tinggal.

Jadi ketidakcukupan ketiga keperluan asas tersebut akan menklasifikasikan mereka sebagai miskin.

Dalam Islam, setiap individu yang tergolong miskin maupun fakir adalah mereka yang memerlukan bantuan sara hidup, terutamanya keperluan asas sebagai individu dan hak asasi mereka sebagai warga negara.

Manakala kebutuhan-kebutuhan yang bersifat kepentingan awam seperti layanan kesehatan, Pendidikan, bekalan air bersih, elektrik, dan kemudahan awam seperti jalan akan ditanggung oleh negara.

Solusi Islam menyelaikan masalah kemiskinan.

Islam mewajibkan seseorang untuk berusaha memenuhi kebutuhan asasnya serta membantu mereka yang tidak dapat memenuhinya. Namun, jika kebutuhan asasnya tidak dapat dipenuhi mungkin disebabkan ketiadaan atau ketidakcukupan harta, maka syari’ah mewajibkan pihak lain untuk membantunya. Antara mekanisme yang diwajibkan memenuhi kebutuhan asas golongan miskin adalah seperti berikut:

1. Bantuan kerabat. Kerabat ini mestilah yang mempunyai hubungan waris kepada individu yang berstatus miskin tersebut. Firman Allah SWT :

“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf.

Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. “ (Al-Baqaroh: 233)

Oleh karena itu, waris adalah orang yang berhak untuk menuntut atau mendapatkan harta.

2. Sekiranya tiada waris yang berkemampuan menanggung nafkahnya, maka kewajiban itu berpindah kepada Baitul Mal (perbendaharaan negara). Baitul Mal akan mengagihkan kekayaannya kepada golongan miskin melalui bahagian agihan zakat. Ahli zimmah yang miskin akan memperoleh harta daripada sumber selain zakat. Sabda Rasulullah SAW :

“ Siapa saja yang meninggalkan harta, maka harta itu menjadi hak para ahli warisnya. Siapa saja yang meninggalkan kalla’; makai a menjadi kewajiban kami.” (HR Muslim)

Kalla’ itu adalah orang yang lemah yang tidak mempunyai anak mahupun orang tua.

3. JIka harta zakat di Baitul Mal tidak mencukupi, negara perlu menanggung mereka melalui dana selain zakat sehinggalah kehabisan harta di Baitul Mal.

4. Selanjutnya, jika Baitul Mal kehabisan atau ketiadaan harta, semua kewajiban dalam membantu fakir dan miskin adalah merupakan tanggugjawab semua ummat islam. Sabda Rasulullah SAW,

“Tidak beriman kepada-Ku sesiapa saja yang tidur kekenyangan, sedangkan tetangga di sampingnya kelaparan, sementara dia mengetahuinya” (HR Al-Bazzar)

Untuk melancarkan urusan ini, dharibah (cukai sementara yang dikenakan atas lebihan harta) akan dikutip dari orang kaya sebagai tanggung jawabnya terhadap golongan miskin.

Selain empat kewajiban di atas, negara juga bertanggung jawab memberikan peluang kerja yang cukup kepada rakyat agar bisa memperoleh rezeki. Justeru, negara juga berhak memberikan harta milik negara untuk dimanfaatkan oleh warganya.

Misalnya melalui pemberian tanah kepada rakyat agar bisa dikelola untuk mendapatkan penghasilan. Namun, jika tanah tersebut tidak dikelola selama 3 hari, negara juga berhak mengambilnya kembali dan menyerahkan kepada sesiapa yang mampu mengelolanya.

Selain itu, Islam juga mengharamkan segala bentuk transaksi yang mengandungi riba. Ini karena, riba akan menyebabkan penindasan keatas golongan peminjam sekaligus bisa mengakibatkan kemiskinan yang melanda. Misalnya, Kreditor yang meberi pinjam uang kepada debitor telah meletakkan senggat waktu untuk pembayaran hutangnya.

Namun jika debitor( orang yang meminjam) telat membayarnya, cas tambahan akan dikenakan. Hal sebegini akan membebankan si peminjam sehingga bebanan hutangnya akan bertambah. Bahkan akhirnya akan menyebabkan si peminjam menjadi miskin.

Akhirnya, tidakkah kita rindu akan keberhasilan sistem Islam yang dapat memberikan solusi seperti ini? Dengan izin sang pencipta, segala permasalahan ini hanya bisa diselesaikan dengan mengamal dan menerapkan AL-Quran dan As-Sunnah di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian, kita perlukan keberadaan sosok pemimpin Islam yang sejatinya ingin menerapkan syariat Islam dengan menggunakan sistem kepemimpinan Islam yang agung bagi memberikan solusi terbaik dalam mengurangkan krisis kemiskinan yang menindas rakyat. Wallahu alam.[]

*Mahasiswa STEI Yogyakarta

Comment