RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Hijab dan jilbab terus menjadi duakursus dan perbincangan hangat di Indonesia bahkan dunia. Belum basi, topik satu ini memang selalu disasar setiap kali propaganda feminisme digaungkan. Seolah jilbab dianggap sebagai penyakit dan virus yang membuat perempuan sengsara.
Syariah menutup aurat hanya mengekang kaum perempuan, kata feminis radikal. Namun pada saat yang sama, aktivis muslimah tak kalah gencar mengopinikan tentang kewajiban berjilbab yang agung ini dan letak kesalahan ide feminisme.
Gerakan hashtag #NoHijabDay pada awalnya digagas sebagai bentuk perlawanan terhadap kebijakan penguasa Iran, Ayatollah Khomeini, yang mewajibkan seluruh perempuan Iran memakai hijab. Yasmine Mohammed merupakan salah satu aktivis dari kalangan feminis yang memviralkan #NoHijabDay.
Dalam akun twitternya pada 2018 silam, Yasmine menulis, “In solidarity with woman who are forced to wear the hijab” dan menambahkan #MyStealthyFreedom serta video melepas kerudung kemudian membakarnya.
Sejak kebijakan wajib berhijab tersebut keluar pada 1979, aksi protes dilakukan oleh sejumlah warga perempuan dengan turun ke jalan, ramai-ramai melepas kerudung dan membuangnya.
Mereka menentang kebijakan Khomeini bahwa itu tak ubahnya seperti kebijakan rezim monarki Pahlavi yang runtuh sebelumnya, yaitu melarang pemakaian hijab, sama-sama pemaksaan. Aksi tersebut kemudian diperingati setiap tanggal 1 Februari.
Propaganda #NoHijabDay oleh feminis ini sangat berbeda dengan gerakan #WorldHijabDay yang juga telah eksis. Kampanye tanpa hijab sehari mengajak perempuan memiliki pemahaman bahwa menutup aurat tidaklah wajib, tubuhnya adalah otoritas pemiliknya.
Sedangkan WorldHijabDay menyerukan penghapusan diskriminasi bagi minoritas muslimah yang memakai hijab, baik dalam pekerjaan, sosial, maupun aktivitas kemasyarakatan lainnya. Sebab, muslimah berhijab dipandang sebelah mata oleh kalangan mayoritas di negara-negara barat.
Mengenai hijab, jilbab, dan kerudung sebenarnya ketiganya memiliki makna yang berbeda. Hijab merupakan pembatas atau penghalang antara pandangan muslimah dan laki-laki, dapat berupa kain, kayu, atau apapun yang bisa digunakan. Definisi jilbab telah dijelaskan dalam al-Qur’an dan kitab tafsir. Sebagaimana firman Allah:
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin agar hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal, sehingga mereka tidak mudah diganggu. Allah Maha Pengampun Maha Penyayang.” (TQS. Al-Ahzab:59). Jadi, jilbab merupakan baju yang lapang yang diulurkan ke seluruh tubuh seperti baju kurung, atau saat ini dikenal dengan istilah gamis. Adapun kerudung atau kain penutup kepala hingga ke dada disebut khimar.
“Dan katakanlah kepada perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang terbiasa terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya…” (TQS. An-Nur:31).
Kita dapat menemukan banyak dalil, nash, dan periwayatan mengenai kewajiban menutup aurat dengan jilbab dan khimar. Tidak ada ikhtilaf atau perbedaan pendapat tentang kewajiban ini di kalangan ulama salaf.
Jumhur ulama telah sepakat bahwa batasan aurat bagi perempuan adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Jilbab adalah syariah atau perintah yang diturunkan Allah SWT kepada hamba-Nya.
Oleh karena itu, jilbab bukanlah budaya suatu masyarakat. Juga tidak dapat berubah hukumnya dari wajib menjadi tidak wajib dikarenakan adanya tradisi atau budaya yang berkembang di suatu wilayah.
Tidak mengherankan jika syariah menutup aurat dan berjilbab dipandang sebagai hal yang mengekang bagi feminis. Sebab, ide feminisme lahir dari asas liberalisme atau kebebasan.
Ia mengangkat gender equality sebagai solusi atas kekacauan akibat paham patriarki di Eropa pada masa lalu. Padahal perempuan tidak akan pernah setara dengan laki-laki, masing-masing diciptakan memiliki fitrah dan potensi yang berbeda.
Allah SWT menciptakan perempuan dan laki-laki bukan untuk bersaing, tetapi saling melengkapi satu sama lain.
Sungguh perempuan sangat dimuliakan oleh Allah dengan Islam dan syariah. Seharusnya Islamlah yang diambil sebagai solusi, bukan gender equality.
Perempuan sama-sama bisa berlomba meraih surga dengan taat dan tunduk pada-Nya. Kampanye #NoHijabDay merupakan pemaksaan untuk melakukan kemaksiatan.
Katakan tidak kepada #NoHijabDay, tapi katakan #BackToMuslimIdentity.[]
*Mahasiswi S1 Pendidikan Matematika, Universitas Negeri Malang.
Comment