 |
Alfy Inayati |
RADARINDONESIANEWSCOM, JAKARTA – Berbicara mengenai pelajar, maka kita akan mengartikan perlajar sebagai siapapun yang sedang belajar, tidak hanya pelajar yang sedang duduk di bangku sekolah maupun kuliah saat ini, melainkan semua lapisan masyarakat, tidak memandang usia, jenis kelamin, ras, agama dan lain sebagainya yang mau dan siap menerima apa yang diajarkan, bahkan oleh alam sekalipun. Pun, tak dapat dielakkan lagi bahwa pendidikan yang sesungguhnya dimulai dari keluarga yang kemudian masuk ke tatanan masyarakat, termasuk pula organisasi-organisasi kepelajaran. Menuntut ilmu itu dari buaian sampai liang lahad. Kurang lebih seperti itu islam menjelaskan tentang kewajiban menuntut ilmu, yaitu dengan belajar.
Harapan yang dijatuhkan kepada pelajar saat ini untuk menjadi pemimpin di hari esok terkadang menjadi tanda tanya besar, sebab kondisi pelajar saat ini masih sulit diprediksikan seperti apa pemimpin di hari esok. Bahkan terkadang kita cenderung melihat hasil dan sungkan untuk melihat proses yang dibentuk pelajar-pelajar saat ini, tak perlu melihat kasus-kasus pelajar yang menjadi fenomena yang sudah biasa terjadi sejak dulu (tawuran, seks bebas, narkoba, dll), tapi dengan melihat bagaimana pendidikan keluarga yang disematkan ke otak pelajar saat ini. Berangkat dari pendidikan keluarga inilah akan terbentuknya moral sebagai akibat atau hasil dari pendidikan itu sendiri, baik itu moral yang positif maupun negatif.
Melihat apa yang terjadi pada pelajar di pedesaan yang sangat kental dengan adat dan budaya lokal, seringkali pernikahan dini menjadi permasalahan utama. Sebab, bagaimana mungkin pelajar akan dapat belajar dengan sungguh-sungguh jika diusia sedini itu sudah dibebankan dengan permasalahan rumah tangga atau dengan kata lain menghentikan daya pikir pelajar untuk belajar. Maka di sini perlu adanya sebuah peninjauan oleh aktivis pelajar ataupun pemerintahan agar lebih menekankan pentingnya belajar untuk setiap lapisan masyarakat, karna belajar bukan masalah mampu atau tidak, tapi mengenai mau atau tidak. Jika fenomena yang terjadi menjadi fakta yang tak bisa dipungkiri keberadannya, siapa yang akan bertanggung jawab atas kenyataan yang mungkin tidak sesuai dengan harapan?.
Jika pelajar adalah setiap orang yang mau belajar dan tidak dilihat berdasarkan formalitas dalam belajar (mis. Sekolah, kuliah), lalu bagaimana nasib pelajar yang tidak memiliki ijazah?.Sedangkan Indonesia lebih mengapresiasi pelajar yang memiliki sertifikat yang membuktikan bahwa ia adalah pelajar, dalam artian masyarakat pelajar lebih diperbudak oleh sistem yang disusun oleh pemerintahan.
Maka di sinilah peran organisasi kepelajaran untuk memberikan apresiasi setinggi-tingginya bagi pelajar non-formal atau pelajar yang tidak memiliki sertifikat sebagai identitas kepelajaran. Pelajarpun tidak hanya butuh belajar sebagai asupan untuk otaknya, tapi perlu juga diselipkan unsur 3F-Food, Fun, Fashion yang sifatnya mendidik, semisal makanan, pelajar harus mengonsumsi nutrisi yang tepat untuk mempermudah penyerapan otaknya sebab jika di dalam tubuh saja sudah tidak sehat, bagaimana pelajar bisa menangkap pelajaran?
Namun jika dilihat dari fenomena saat ini, anak-anak yang nantinya akan menjadi pelajar untuk kemudian menjadi pemimpin dimasa mendatang saja sudah dihajar oleh media untuk mengonsumsi isi media yang tidak memiliki kebermanfaatan bagi anak-anak. Nah, jika di usia dini saja otak sudah diisi dengan hal-hal negatif, akan seperti apa dewasanya nanti?
Melalui ini muncullah sebuah inovasi untuk dihadirkannya program yang bisa memancing rasa keingintahuan anak-anak, terutama anak-anak di pedesaan. Semisal mikroskop dan teleskop masuk desa, membayangkan hal tersebut, tentu anak-anak bisa melihat dan mengidentifikasi hal terkecil dari apa yang digenggamnya.
Program-program seperti itu perlu dicanangkan dan ditindak-lanjuti untuk memperbaiki setiap degradasi moral yang terjadi di masyarakat. Dengan begitu setiap kenyataan yang ada akan menyertai setiap harapan, tentunya dalam ranah pelajar yang berkualitas, bukan berkuantitas.[]
Penulis: Alfy Inayati
Mahasiswi KPI, UIN Sunan Kalijaga 2014
Post Views: 557
Comment