Alfiyah Kharomah, STr Batra*: April MOP, Indonesia Tidak Lockdown

Opini632 Views

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – 31 Maret lalu lewat pidato yang heroik, sang presiden menyampaian bahwa negara menetapkan Darurat Kesehatan Masyarakat. Ia mengadopsi kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (Physical Distancing). Status ini merujuk ketentuan pasal 1 ayat 11 Jo. Pasal 59 dan pasal 60, UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Di dalam ketentuan pasal 1 angka 10 disebutkan bahwa Pembatasan Sosial Berskala Besar adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/ atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan pnyebaran penyakit atau kontaminasi. Sementara itu, masih pada undang-undang tersebut, tindakan yang bisa diambil adalah dengan peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan dan/ atau pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.

Masih dalam frame PSBB, Ia menyampaikan, apabila tindakan tersebut tidak efektif mencegah penyebaran Virus Corona, maka pemerintah akan menerapkan Status Darurat Sipil. Ini dilakukan agar physical distancing ini dilakukan lebih tegas, lebih disiplin dan lebih efektif lagi (Tirto, 30/3/2020). Darurat sipil diatur dalam Perppu nomor 23 tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya.

Dalam Perppu tersebut, darurat sipil merupakan keadaan bahaya yang ditetapkan oleh Presiden atau Panglima Tertinggi Angkatan Perang untuk seluruh atau sebagian wilayah negara.
Kebijakan ini menganulir permintaan publik untuk diterapkannya karantina wilayah atau lockdown. Begitu juga kebijakan-kebijakan local lockdown yang sebelumnya ditetapkan pemerintah daerah. Semisal Tegal, Papua dan tasikmalaya.

Melihat keganasan Virus Corona yang semakin buas. Tak heran jika publik menimbang kebijakan yang lebih tepat untuk mengatasi masalah ini adalah karantina wilayah atau lockdown. Ketika pemerintah tidak menerapkan ini, mereka menilai, pemerintah enggan menanggung kebutuhan pokok masyarakat selama masa karantina. Di sisi lain, proyek pembangunan ibu kota baru tetap berjalan.

Belum lagi rencana darurat sipil yang akan diberlakukan negara apabila PSBB tidak berjalan dengan baik, bukankah akan memunculkan masalah lain di tengah masyarakat. Tentu saja ini menyakiti hati rakyat. Siapa musuh sebenarnya, rakyat atau virusnya?
Segala kebijakan yang muncul dari rahim negara, ini tidak lain karena sistem yang diadopsi oleh pemerintah. Demokrasi telah memunculkan pasal-pasal karet yang bisa ditarik ulur sesuai dengan kepentingan elit.

Kebijakan penanganan Corona ini saja menunjukan ketidakberpihakan pemerintah pada rakyatnya. Padahal jelas-jelas masayarakat mayoritas mulai dari tenaga medis, para ahli, para ulama, ibu rumah tangga dan influencer menyampaikan kebijakan yang cocok untuk mencegah Virus Corona adalah diberlakukannya karantina wilayah.
Sungguh, telah nyata dan jelas di depan mata, negara ini tidak pernah akan mengakomodir urusan-urusan rakyat. Justru dengan mata telanjang ia mempertontonkan di depan mata umat etika elit pejabat yang memuakan, prioritas mana yang dikedepankan. Lagi-lagi bukan soal rakyat.

Lalu, untuk apa kita masih mempertahankan sistem yang rusak dan merusak ini. Masihkah kita rela berkali-kali di-prank, dikibuli bahkan dikhianati dengan janji-janji yang tak pernah ditepati. Bahkan di bulan April ini.

Masihkan umat muslim dikerjai dengan April MOP, sama seperti beberapa puluh tahun yang lalu ketika kaum muslimin spanyol dibantai secara kejam pada 1 April?

Telah jelas bagaimana Rasulullah SAW menentukan kebijakan saat terjadinya wabah adalah dengan tidak mendekati daerah wabah, dan yang berada di daerah wabah tidak keluar dari wilayah tersebut. Atau yang santer disebut karantina, isolasi atau lockdown.

Sebagaimana Sabda Rasulullah:
Yang artinya: “Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu.” (HR Bukhari).

Bagaimana mungkin, Indonesia yang mayoritasnya Islam tidak diperbolehkan untuk menerapkan ajaran Rasulullah tentang karantina wilayah. Hanya karena alasan perbedaan budaya dan kedisiplinan.

Bahkan di saat negara-negara lain, non muslim, telah mencoba menerapkan karantina, dan mereka berhasil menekan angka penyebaran Virus Corona, meski terlambat di awalnya. Sedang negara ini adalah negara berkumpulnya para ulama, bahkan kebijakan karantina di lindungi oleh undang-undang, mengapa muslim tidak boleh menerapkan ajaran Rasul-Nya? Bagaimana mungkin amanah jutaan warga yang menginginkan karantina justru diabaikan?

Demi 270 juta rakyat Indonesia, demi 1.528 rakyat yang positif Corona, demi 136 rakyat yang meninggal karena Corona. Maka negara, dengarlah suara rakyat anda, dengarlah tenaga medis anda, dengarlah para ahli anda, dengarlah ulama anda, lihatlah para lansia anda, tengoklah anak-anak yang stunting dan kekurangan gizi di negara anda, lihatlah orang-orang yang rentan terkena virus Corona. Segeralah menerapkan karantina wilayah.

*Penulis adalah Praktisi Kesehatan, Anggota Revowriter Jawa Tengah

Comment