RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Pembahasan RUU Omnibus Law sedang digodok di DPR. Namun, kalangan pengusaha nampaknya sudah tak sabar dan berharap agar Omnibus Law bisa segera disahkan.
Para pengusaha tersebut berpendapat bahwa Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) akan membawa angin segar bagi investasi dan berpotensi pula dapat membuka lapangan kerja.
Adapula yang berpandangan dibutuhkan investasi cukup besar untuk mendongkrak perekonomian Indonesia pascapandemi. Mereka beranggapan bahwa dengan Omnibus Law Ciptaker akan terjadi perubahan struktur ekonomi yang akan mampu menggerakkan semua sektor. Maka, hal itu akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Benarkah demikian?
Revisi Omnibus Law terkesan dipaksakan segera selesai dan pengesahan bisa segera dilakukan, mengingat ada kebutuhan mendesak untuk memastikan iklim kondusif investasi demi penciptaan lapangan kerja massal.
Namun masih banyak penolakan dari serikat pekerja. Karena dari mekanisme penyusunan revisi saja sudah nampak arogansi pengusaha yang tuntutannya dominan dalam revisi RUU tersebut.
Sementara serikat pekerja mengkhawatirkan makin rendahnya pembelaan terhadap pekerja saat terjadi konflik dengan pengusaha karena hak DPR dan serikat pekerja dikebiri.
Menurut mereka yang diwakili oleh Ketua Umum DPP SP PT PLN Persero M Abrar Alib mengatakan, RUU Omnibus Law Cipta Kerja berpotensi menimbulkan terjadinya liberalisasi dalam tata kelola listrik di Indonesia.
Penyebabnya adalah dihilangkannya fungsi legislasi DPR dalam melakukan pengawasan. Padahal hal ini berfungsi untuk memastikan pemerintah tidak seenaknya mengatur listrik (kumparan.com, 9 Juli 2020).
Serikat Pekerja di antaranya KSPI AGN, KSPI dan FSP Kahutindo, bahkan menyatakan keluar dan mengundurkan diri dari tim teknis yang membahas Omnibus Law RUU Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan. Padahal tim teknis ini dibentuk oleh Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) untuk mencari solusi dari polemik klaster ketenagakerjaan dalam RUU tersebut (republika.co.id, 13 Juli 2020).
Menguntungkan Korporasi, Hak Buruh Diamputasi
Muatan pasal-pasal yang penuh kontroversi menjadi polemik RUU Cipta Kerja. RUU ini disinyalir hanya akan menguntungkan pengusaha (korporasi). Sementara hak-hak buruh banyak yang diamputasi dan cenderung merugikan mereka .
Dihapuskannya Upah Minimun Kabupaten (UMK) dan diganti dengan upah perjam di bawah upah minimum adalah satu diantara hal-hal yang menuai pro kontra.
Selanjutnya mengurangi jumlah pesangon, penggunaan buruh outsourcing dan buruh kontrak seumur hidup untuk semua jenis pekerjaan. Ditambah lagi waktu kerja yang eksploitatif, menghapus cuti dan menghapus hak upah saat cuti.
Tidak hanya itu. Adanya kemudahan masuknya TKA buruh kasar ke Indonesia, mereduksi jaminan sosial, mudahnya PHK sewenang-wenang tanpa izin pengadilan perburuhan. Serta hilangnya beberapa sanksi pidana untuk pengusaha (republika.co.id, 13/7/2020).
Ada dugaan, RUU Cipta Kerja adalah untuk mengakomodir kepentingan pengusaha. Dan dalih investasi tak lain hanyalah kedok.
Investasi ini tak lebih dari upaya penguasaan korporasi terhadap perekonomian negara. Apalagi pemerintah menyediakan berbagai macam kemudahan di dalamnya, contohnya saja seperti penyederhanaan izin usaha.
Kemudian kemudahan TKA untuk masuk ke dalam negeri mengambil alih kesempatan tenaga kerja lokal untuk mendapatkan pekerjaan menjadi polemik tersendiri. Alih-alih membuka banyak lapangan pekerjaan dan bisa menyerap banyak tenaga kerja, nyatanya jauh panggang dari api. Karena yang terjadi malah pemutusan hubungan kerja besar-besaran yang berakibat semakin tingginya jumlah pengangguran.
Alhasil, RUU ini sama sekali itdak memberi manfaat bagi rakyat. Bahkan yang terjadi adalah semakin kokohnya cengkeraman sistem kapitalisme neoliberal secara legal atas negeri ini. Nampak jelas keberpihakan negara justru diserahkan pada korporasi dibandingkan memenuhi hak-hak rakyatnya. Inilah kerusakan yang menjadi alasan kuat RUU ini layak untuk ditolak.
Maka seharusnya negara bisa menciptakan situasi yang kondusif agar masyarakat dapat terlibat dalam berbagai kegiatan ekonomi. Di antaranya adalah dengan membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya untuk setiap warga negara.
Misalnya saja negara bisa melakukannya dengan menghibahkan lahan mati kepada orang yang mampu memanfaatkannya sehingga lahan tersebut produktif. Bisa juga dengan cara berupa pemberian modal usaha dan lain sebagainya.
Seharusnya negara juga dapat melakukan pengelolaan Dumber Daya Alam (SDA) yang dikuasainya secara mandiri dan tidak tergantung pada investasi asing. Nah, dengan penguasaan dan pengelolaan penuh terhadap kekayaan alam, negara akan memberikan kesempatan terbukanya banyak lapangan kerja.
Negara juga harus mendukung secara penuh pemberian pelatihan keahlian dan keterampilan untuk warga negaranya. Dengan begitu kebutuhan akan tenaga kerja yang kompeten di berbagai bidang akan bisa dipenuhi dari dalam negeri.
Dengan demikian, optimalisasi seluruh potensi yang ada berupa SDA dan SDM, akan menjadikan perekonomian negara dapat ditopang secara mandiri. Wallahua’lam bish-showab.[]
*Pemerhati Kebijakan Publik
Comment