Dr. Imam Shamsi Ali, Lc, M.A, Ph.D | Direktur Jamaica Muslim Center & Presiden Nusantara Foundation New York
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Hari-hari ini umat Islam sangat berharap untuk mendapatkan sebuah malam, yang diyakini sebagai malam yang lebih baik dari seribu bulan. Jika dikalkulasi berarti malam itu lebih baik dan utama ketimbang lebih dari sekitar 84 tahun hidup manusia.
Hidup manusia masa kini rata-rata 70-75 tahun. Artinya melakukan amalan di malam itu seolah telah melakukan amalan yang melebihi target kehidupan manusia.
Dalam Al-Qur’an malam itu dinamai dengan dua penamaan pada dua tempat yang berbeda. Malam yang disebut “malam yang berkah” (mubarakan) di surah Ad-Dukhan. Disebut dengan “malam keputusan atau kekuatan” di surah Al-Qadar.
Kedua penamaan ini memiliki makna yang sangat penting dan mendasar. Saya tidak akan menjelaskan makna penamaan itu kali ini. InsyaAllah ketika berbicara tentang malam itu secara khusus akan saya elaborasi lebih jauh.
Kuncinya pada Al-Qur’an
Dalam menyikapi ibadah dan agama secara umum kita seringkali terobsesi oleh kalkulasi-kalkulasi amalan secara kwantitatif. Padahal nilai amalan bukan pada kwantitasnya. Tapi penilaian itu bersifat kwantitatif (ahsanu amala).
Sehingga malam yang istimewa itu juga pada galibnya disikapi dengan mindset yang kalkulatif kwantitatif. Membaca Al-Quran misalnya dengan setiap hurufnya akan diganjar 10 pahala dan dilipat gandakan menjadi 84 tahun.
Cara pandang seperti ini tidak salah. Hanya saja sempit dan terbatas. Karena sesungguhnya semua malam/waktu dalam Islam itu sama. Kemuliaan malam bukan karena malamnya itu sendiri. Tapi karena sebuah peristiwa penting yang terjadi padanya.
Jumat dan hari-hari lain dalam seminggu itu sama. Jumat menjadi mulia karena adanya ibadah yang disyariahkan secara khusus pada hari itu yang disebut Sholat Jum’at.
Malam yang dicari itu menjadi berkah (mubarakan) dan istimewa (Qadar/kuat) karena apa yang diturunkan pada malam itu. Hal ini disebutkan secara gamblang di Kedua tempat (Ad-Dukhan dan Al-Qadar):
“Sesungguhnya Kami menurunkannya”. Itulah “Al-Quran yang diturunkan untuk menjadi petunjuk bagi alam semesta (hudan linnaas) dan pembeda antara yang benar dan yang salah, antara cahaya dan kegelapan. Itu pulalah yang menjadikannya berkah dan istimewa.
Memahami keistimewaan Al-Qur’an
Di surah Ad-Dukhan Allah bersumpah dengan KitabNya: “Dan demi Kitab yang mubiin”. Mubiin dapat diartikan sebagai Kitab petunjuk yang jelas. Tidak remang-remang dan meragukan penuh tanda tanya. Mubiin juga diartikan sebagai petunjuk yang praktis dan mudah.
Mubiin bisa juga diartikan sebagai petunjuk yang Universal dan inklusif untuk semua ruang dan waktu. Tapi yang terpenting dari makna mubiin ini adalah bahwa Al-Qur’an adalah petunjuk yang sejalan dengan fitrah manusia (basic human nature).
Namun para ulama Ulumul Qur’an memberikan defenisi Al-Qur’an sebagai: “Kalam Allah yang Mu’jizat, yang diturunkan kepada Muhammad SAW, dan membacanya merupakan ibadah”. Defenisi ini saya simpulkan dari berbagai buku yang membahas ilmu-ilmu Al-Quran (Uluum al-Qur’an) seperti Al-Iman As-Suyuthi, dan lain-lain.
Pada defenisi yang singkat itu ada empat poin penting yang terangkum.
Pertama, Kalamullah atau Kalam Allah. Bagian ini menegaskan bahwa segala yang termaktubkan di Kitab Suci Al-Qur’an itu adalah Kalam Allah. Sekaligus menafikan kalam siapapun selain Allah, termasuk Rasulullah SAW.
Kedua, Al-Mu’jiz atau bersifat Mu’jizat. Bagian ini menegaskan bahwa Al-Qur’an adalah mu’jizat terpenting Rasulullah yang bersifat abadi. Segala yang terkait dengan Al-Quran, dari bahasa, konten, apalagi aspek ruhiyahnya memilki kekuatan yang mengalahkan (mu’jiz) tandingannya.
Pada aspek kontennya mungkin yang paling populer adalah kemu’jizatan ilmiah Al-Qur’an yang sering dipopulerkan oleh para ahli.
Ketiga, Al-munazzal alaa Muhammad. Bagian ini menegaskan bahwa Al-Qur’an bukan karangan Muhammad. Tapi diturunkan kepadanya. Sekaligus menegaskan bahwa Al-Qur’an itu hanya diturunkan kepada Muhammad, bukan kepada yang lain.
Karenanya jika ada yang mengaku menerima wahyu (Al-Qur’an) atau diyakini oleh orang lain menerima wahyu (Al-Quran) maka itu adalah kebohongan.
Keempat, Al-muta’abbad bitilawatih. Bagian ini menegaskan bahwa membaca Al-Qur’an itu unik dan berbeda dari bacaan apapun. Tidak ada buku apapun yang dibaca dan bernilai pahala ritual kecuali Al-Qur’an. Menunjukkan kemuliaan dan keberkahan yang ada pada Al-Qur’an.
Petunjuk untuk dan menang
Namun saya ingin mengingatkan bahwa pada momen-momen kita semua menanti malam yang Istimewa dan penuh keberkahan itu ada baiknya kita menata mindset kita dalam memandang Al-Qur’an.
Bahwa Al-Qur’an jangan dibatasi sebagai sekedar jalan untuk mengumpulkan pahala-pahala ritual semata. Tapi hendaknya Al-Qur’an mesti dipandang sebagai jalan menuju kepada kebangkitan dan kemenangan hidup. Baik kemenangan individu dan kolektif, maupun menang dunia dan akhirat.
Dari sejak awal Al-Qur’an Allah telah menegaskan bahwa tujuan dari Al-Qur’an sebagai petunjuk adalah “ulaaik hum al-Muflihuun”. Bahwa hidup dengan petunjuk Al-Qur’an pastinya berakhir dengan kemenangan yang dijanjikan.
Permasalahannya adalah cara pandang dan prilaku kita kepada Al-Qur’an yang seringkali tidak sejalan dengan harapan itu (kemenangan). Padahal sekali lagi, kemenangan hanya akan tercapai jika hidup kita dijalani dengan petunjuk Al-Qur’an (ulaaika alaa hudan min Rabbihim).
Interaksi manusia dengan Al-Qur’an akan membawa kepada dua kemungkinan; termuliakan atau terhinakan. Maka Al-Qur’an itu mengangkat derajat sebagain orang. Tapi menjatuhkan derajat sebagian yang lain (hadits).
Tiga ilustrasi sikap manusia dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an
Dalam dunia yang penuh godaan ini manusia terbagi-bagi dalam menyikapi Al-Qur’an. Saya tidak berbicara tentang mereka yang mengikutinya secara sungguh-sungguh. Tapi mereka yang menolak dan mengabaikannya karena satu dan lain hal. Ada yang karena bodoh, berpikiran sempit, bahkan karena kesombongan.
Ada tiga ilustrasi yang menggambarkan prilaku manusia, termasuk sebagian umat Islam, dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an.
Pertama, bagaimakan orang kampung yang pertama kali datang ke kota. Lalu diajak oleh temannya berjalan-jalan ke pinggir pantai. Hanya karena sampah atau kotoran yang dia saksikan di pinggir pantai dia berkesimpulan bahwa lautan itu kotor dan tidak berharga.
Dia gagal memahami bahwa di kedalaman lautan itu tersimpan mutiara-mutiara, berlian yang mahal, gas dan minyak, termasuk ikan-ikan yang memberikan manfaat besar bagi kehidupan. Inilah contoh mereka yang memiliki akal sempit dalam memahami Al-Qur’an.
Kedua, bagaikan turis kampung yang datang ke kota besar yang jalan-jalannya ruwet dan membingungkan seperti kota New York. Dia menyewa kendaraan. Di kendaraan itu ada GPS. Sayangnya dia tidak pernah menghidupkan GPS itu.
Kalaupun dia hidupkan dia tidak paham karena tidak pernah mempelajarinya. Dia mengendarai mobil melalui jalan-jalan yang dia tidak tahu destinasinya. Maka diapun tersesat.
Itulah gambaran orang-orang yang tidak pernah membuka dan memahami Al-Quran. Dia berjalan dalam hidup ini tanpa destinasi yang jelas dan tersesat dalam kehidupan.
Ketiga, laksana seorang turis dari negara terbelakang datang ke Amerika. Setiba di imigrasi dia diingatkan agar selama di Amerika dia diharuskan mentaati aturan-aturan yang ada. Dia menolak karena merasa aturan di negaranya lebih baik dan nyaman.
Akhirnya dia melanggar banyak aturan, tertangkap dan dipenjara. Begitulah gambaran mereka yang hadir di atas bumi Allah ini. Mereka diingatkan untuk mengikuti aturan-aturan penguasa bumi. Mereka menolak. Akhirnya mereka harus menanggung akibatnya, dunia dan akhirat.
Karenanya dalam upaya menyambut malam yang mulia itu, malam yang penuh kebaikan dan keberkahan, malam yang istimewa dan bernilai tinggi, kita jangan salah kaprah.
Semua keberkahan, kebaikan dan nilai dari malam itu terikat dengan komitmen kita menjadikan Al-Qur’an sebagai petunjuk (hudan) hidup. Sholat di malam laelatul Qadar, namun di keesokan harinya Al-Qur’an diabaikan, tidak akan mengantar kepada kemenangan yang dijanjikan.[]
Comment