Oleh : Murni, S.E, Freelance Writer
_________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Aksi Ketua DPR RI Puan Maharani kembali mengundang kontroversi. Dia lagi-lagi mematikan mikrofon dalam sidang paripurna. Kejadian tersebut terjadi pada Selasa (24/5) siang. Saat itu, anggota DPR RI Fraksi PKS Amin Ak tengah menyampaikan interupsi dan menyinggung ihwal penting.(jatim.jpnn.com, 25/05/2022).
Ia mengutarakan bahwa ada kekosongan hukum tentang penyimpangan seksual LGBT karena tidak ada satu pun hukum positif yang melarang LGBT serta propagandanya di publik dan juga menyinggung podcast Deddy Corbuzier yang mengundang pasangan LGBT yang telah meresahkan masyarakat meski Deddy Corbuzier telah meminta maaf dan menghapus videonya, serta dikibarkannya bendera LGBT di kantor Kedubes Inggris di Jakarta. (Suara.com)
Aksi mematikan mikrofon tersebut bukan kali pertama. Pada Oktober 2020, Puan juga mematikan mikrofon saat politikus Partai Demokrat Irwan Fecho menyampaikan interupsi dalam rapat paripurna pengesahan UU Cipta Kerja pada Oktober 2021 yang lalu.
Pengamat Komunikasi Politik dari Universitas Esa Unggul Jamiluddin Ritonga menanggapi perilaku Ketua DPR Puan Maharani tersebut. Menurutnya, kebiasaan Puan tersebut sangat tidak terpuji, sebagai pemimpin rapat sidang paripurna ia tidak berhak untuk meniadakan setiap anggota DPR untuk berpendapat selama relevan dengan agenda rapat paripurna (Republika, 26/05/2022).
Nampaknya perihal kepentingan rakyat tidak terlalu diperhatikan. Bukankah ia seorang ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang notabene memperhatikan semua aspirasi rakyat.
Seyogianya yang menyangkut hak hidup rakyat harus diperjuangkan dan mau menerima pendapat, saran dan kritik dari berbagai elemen pemerintahan, ulama, tokoh maupun masyarakat biasa. Mengingat ia adalah manusia yang tak luput dari salah khilaf sebagaimana manusia pada umumnya. Bukan seolah membungkam bagi siapa saja yang memperjuangkan hak-hak rakyat.
Apalah lagi aksi matikan mikrofon tersebut di saat dari farksi sedang mengkritisi tentang penyimpangan seksual LGBT, karena tidak ada satu pun hukum positif yang melarang LGBT dan memberi panggung bagi kaum LGBT .
Dalam alam demokrasi kritik merupakan suatu keniscayaan. Indonesia sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, maka kritik pada kekuasaan merupakan hal yang lumrah. Meskipun dengan catatan penting. Kritik tersebut pun harus disampaikan dengan lemah dan lembut, tanpa caci maki. Pun tak boleh menyerang pribadi yang dikritik. Artinya, kebijakannyalah yang dikritik.
Pada masa Khulafaur Rasyidin, Abu Bakar Ash-Shiddiq ketika diangkat menjadi pemimpin kaum muslimin pasca nabi wafat, ia pun mempersilakan rakyatnya untuk mengkritik kebijakannya.
“Jika aku benar ikuti, jika aku keliru, luruskan!,” begitu pinta sang pemimpin pertama kaum muslimin itu.
Ahmad Syalabi dalam Mausuah Tarikh al-Islami wa al-Hadharah al-Islamiyyah,—sebagaimana dikutip Hamami Zada dan Fathoni— memuat isi pidato politik Abu Bakar di Tsaqafah Bani Sa’idah. Ia berpidato di hadapan kaum muslimin yang hadir;
“Wahai manusia, sesungguhnya aku telah kalian percayakan untuk memangku jabatan khalifah, padahal aku bukanlah yang paling baik di antara kalian. Sebaliknya, kalau aku salah, luruskanlah langkahku. Kebenaran adalah kepercayaan, dan dusta adalah penghianatan.”
Sementara itu, Umar bin Khattab pun melakukan hal yang sama. Saat diangkat menjadi pemimpin (khalifah) pengganti Abu Bakar, Ia meminta dikritik kaum muslimin terkait kebijakan yang akan ia ambil ke depan. Muhammad Al-Khudari Bek, dalam Nurul Yaqin, fi Shirati Sayyidil Mursalin, menyebutkan kontrol dan kritik masyarakat—menurut Umar—, untuk mengawal kinerja agar senantias the track.
Perkataan itu disampaikan oleh Umar bin Khattab di depan masyarakat umum. Umar ingin pemerintahannya senantiasa dikawal dan dipantau kaum muslimin, agar tak melenceng dari tuntunan syariat Allah. Itulah pribadi Umar, seorang sahabat yang tegas dalam bersikap. Adil dalam menegakkan hukum, dan tak anti kritik.
Seorang sahabat yang mendengar pidato Umar itu lantas berdiri dan mengacungkan pedang; “Jika Anda berada lalai dalam menjalankan tugas pemerintahan, maka kami akan mengingatkan dan memperbaiki anda dengan pedang ini,” tutur sahabat tersebut.
Dalam amanah kepemimpinan bukan sekadar hasil persidangan atau pilihan mayoritas rakyat, melainkan pula mandat dari Allah sebagai penyampai nasihat-Nya. Diriwayatkan dari Abu Ruqayyah Tamim bin Aus Ad Dariy bahwa Rasulullah saw bersabda, ”Agama itu adalah nasihat.”
Mereka (para sahabat) bertanya, ”Milik siapa, wahai Rasul Allah?” Beliau menjawab, ”Milik Allah, milik kitab-Nya, milik Rasul-Nya, milik para pemimpin kaum Muslim dan seluruh kaum Muslim.” (HR Muslim).
Hadis itu menerangkan bahwa agama adalah nasihat berbagai pihak, termasuk di dalamnya adalah nasihat para pemimpin bagi seluruh rakyatnya dan begitu pula sebaliknya, nasihat kaum Muslimin kepada pemimpin dan juga sesamanya.
“Sesungguhnya kepemimpinan merupakan sebuah amanah, di mana kelak di hari kiamat akan mengakibatkan kerugian dan penyesalan. Kecuali mereka yang melaksanakannya dengan cara baik, serta dapat menjalankan amanahnya sebagai pemimpin.” (Riwayat Muslim).
Wallahu’alam Bisshowab.[]
Comment