Aisyah, S.H |
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Minggu Pertama Ramadhan saya melakukan aktivitas rutin berbelanja grosir ke Tanah Abang. Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, tiap kali Ramadhan datang pasar Tanah Abang menjadi lautan manusia. Apalagi jika hendak mendekati hari H Lebaran, biasanya untuk jalan saja sulit karena harus berdesak-desakan dengan pengunjung lain yang tidak hanya terdiri dari pedagang daerah namun bahkan para pebisnis manca negara baik dari Malaysia, Singapura, bahkan Afrika.
Namun ditengah keramaian Pasar Tanah Abang, ada sedikit catatan yang ingin saya bagi. Sejatinya apa yang akan saya sampaikan ini adalah sebuah bentuk keprihatinan yang mendalam. Fakta ini ternyata tidak hanya terjadi di Tanah Abang namun merata hampir di semua sentral pusat pasar di tanah air. Suasana Tanah Abang tak ada bedanya baik dikala Ramadhan maupun di bulan-bulan yang lain. Bukan soal ramai tidaknya manusia disana, tetapi ini tentang ruh dan atmosfir puasa Ramadhan. Suasana pagi masih remang namun para pedagang makanan telah bersiap menjajakan aneka macam sarapan dan panganan yang dipadati oleh pengunjung. Tak ada sungkan, tak ada malu, tak ada himbauan untuk menghagai mereka yang puasa. Biasa saja.
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
Para pedagang, kuli, pengunjung, melaksanakan aktivitas seperti biasa. Kantin-kantin buka dan pengunjung bersantap seperti hari biasa. Saya bahkan tak habis pikir dengan kaum muslim yang menikmati hidangan seolah ini bukan Ramadhan yang mulia. Jikalah mereka muslimah berhadas, tentu tak sebanyak itu. Jikalau pun ada rukshah bagi mereka yang dalam perjalanan, jika mereka lelah mengais rizki, letih bekerja dan beraktivitas, mengapa pula begitu rupa ? Apakah Ramadhan ini telah demikian tak berarti untuk dijaga?
Ini tidak terkait dengan pluralitas masyarakat, bukan pula tentang penghargaan dari non muslim. Ini soal kita, kaum muslimin ditengah suasana Ramadhan yang agung. Antuisme kita pada Ramadhan telah bergeser. Dahulu, Ramadhan ini dirindu dan ditunggu layaknya kekasih yang telah pergi jauh. Kita menyiapkan diri untuk bertemu dengannya. Membuka kembali kajian ilmu sebagai bekal melaluinya hingga mampu mengisi Ramadhan dengan optimal. Ruh Ramadhan hidup di tengah masyarakat dengan berbagai tradisi positif yang mensuasanakan kemuliaan Ramadhan.
Dahulu inilah bulan yang kehidupan berjalan seakan tiada jeda, siangnya dipenuhi dengan kerja keras dan malamnya diisi dengan kesyahduan. Lantunan ayat-ayat Allah mengalun sepanjang malam baik di kota maupun di pelosok desa, bedug bertalu, ramainya masjid dan surau yang terus berdenyut tak kenal waktu. Ini bukan soal Ramadhan di Ibukota atau suasana puasa di kampung. Ada kepingan yang telah hilang pada diri kaum muslimin, yang menyebabkan Ramadhan menjadi demikian gersang.
Kini antusiasme Ramadhan telah beralih pada materi. Ramadhan menjadi momentum untuk mengumpulkan rupiah, meraih omset setinggi mungkin, menaikkan gengsi dan entah apalagi. Maka inilah yang disebut jebakan kapitalisme yang tegak di atas pemisahan agama dari kehidupan. Hari-hari berlalu dengan aktivitas utama hunting barang baru, berburu kuliner, bersafari ke masjid-masjid keren untuk kebutuhan sediaan up date status media sosial. Sedangkan Amal shalih telah menjadi cita-cita semata. Bagaimana hendak menegakkannya jika menahan lapar dan haus saja kita tak mampu memperjuangkannya.
Sejatinya Ramadhan adalah bulan perjuangan, minimal perjuangan melawan hawa nafsu. Yang bukan hanya sekadar menahan lapar dan haus, namun berjuang untuk mencegah diri dari berbuat dosa dan maksiat. Ramadhan adalah bulan perubahan, masa untuk menghijrahkan diri menjadi manusia yang lebih baik. Inilah masa menuju ketaatan yang total kepada Allah.
Namun kini perjuangan itu telah tergadai, ditukar dengan murah oleh materi dan kesenangan jasadiyah. Para pemuda muslim telah mengganti kebahagiaan hakiki Ramadhan dengan mendekat kepada Allah, berserah diri dan tunduk menjadi hiburan sekadar ngabuburit dan asmara shubuh. Para Ibu mungkin lebih asyik dengan uji coba resep aneka hidangan berbuka dan sahur, mendekor ulang interior rumah serta tak ketinggalan berburu pakaian hari raya untuk seluruh keluarga. Ramadhan hanya menjadi ritual tahunan, semusim lalu semua kembali sebagaimana asalnya. Tempat hiburan malam akan kembali buka, acara bertema religi ikut menghilang dari TV, masjid-masjid akan kembali sepi.
Bagaimana Ramadhan di masa Rasulullullah ? Pada masa itu kaum muslim tidak hanya berjuang meraih taqwa, menyucikan diri dan berlomba dalam kebaikan. Namun mereka berjuang menegakkan dan menjaga kekuasaan Islam dengan sebaik-baik perjuangan. Telah kita pahami secara luas bahwa perang Badar terjadi pada bulan Ramadhan, demikian pula Futuh Makkah. Tak hanya itu, perang Tabukpun di dilalui ditengah berbagai kesempitan yang menimpa kaum muslimin dalam keadaan berpuasa.
Kini saudara muslim diberbagai belahan dunia melalui Ramadhan dengan ketakutan, kelaparan dan pembantaian. Awal Ramadhan Palestina kembali membara, Mali masih berduka, Xinjiang masih terpenjara, bom-bom Assad masih menghujani Syria, muslim di Barat dihantui Islamophobia yang luar biasa, Yaman menjerit dalam diam, Rohingya bungkam dalam kehancuran, demikian pula Kashmir tercekat tak bersuara. Umat ini tak berdaya. Sementara para penguasa negeri-negeri itu diam saling mengedip mata dengan teks-teks perjanjian dibawah meja.
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
Ternyata kondisi di negeri kita pun tak lebih elok dari mereka. Baru saja kita melalui pemilu berdarah dengan lebih dari 554 orang KPPS meninggal dunia. Kecurangan dan ketidakadilan diperlihatkan dengan mata telanjang. Siapa saja yang menyuarakan kebenaran di anggap menyebar hoax dan bisa dipidana kapan saja dengan delik apa saja.
Hendaknya kita tidak mengabaikan Ramadhan. Bulan dimana pintu-pintu langit terbuka dan diijabahnya doa-doa. Kita wajib memohon, mengetuk bahkan mendobrak pintu langit agar Allah berkenan menggulung sekulerisme ini. Dakwah mencerahkan umat harus semakin kuat dideraskan. Umat harus memahami bahwa kehidupan yang demikian payah ini tidak terjadi begitu saja, bahwa ada upaya yang massif, terstruktur dan sistematis untuk memisahkan Islam dari kaum muslimin. Kita harus terus berjuang agar mereka memahami bahwa pangkal dari segala problematika yang menimpa umat adalah karena tidak diterapkannya aturan Islam.
Dengan memahami indahnya kehidupan Islam, umat akan menuntut agar diterapkannya Islam atas mereka. Kerinduan pada ridha Allah akan mendorong mereka berjuang membumikan Islam sebagai jalan hidup. Perjuangan ini tidak boleh digadai, kemuliaan Ramadhan harus kembali diraih. Umat harus bersatu mengembalikan kedudukannya sebagai khairu ummah, umat terbaik. Semoga Ramadhan ini menjadi Ramadhan terakhir dalam sistem sekulerisme Kapitalis. Semoga Allah menyegerakan tegaknya kekuasaan kaum muslimin dan memenangkan Islam untuk mereka. Wallahu`alam bisshawab.[]
Penulis adalah ASN Aceh
Comment