Aisyah, S.H: Ironi Negara Maritim dengan Tanggap Bencana Minim

Berita471 Views
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Korban jiwa akibat gempa 7,4 magnitudo disusul tsunami setinggi 2-6 meter dengan kecepatan 200-400 km/jam, yang menerjang Donggala dan Palu, Sulawesi Tengah pada Jumat (28/9) lalu, terus bertambah. Tercatat hingga Minggu (30/9) malam, data korban meninggal dunia  yang dihimpun Mabes Polri sudah mencapai 1.203 jiwa (kumparan). Di sisi yang lain, bencana alam tersebut juga sekaligus menguak kemampuan Indonesia soal mengurangi dampak bencana (mitigasi). 
Apa yang terjadi  dengan peringatan dini dan penanganan bencana gempa Palu dan Donggala? Kepala Badan Informasi Geospasial (BIG) Hasanuddin Z Abidin mengungkapkan keruwetan masalah yang dihadapi saat gempa Donggala yang diikuti tsunami Palu. Ia menjelaskan, BIG sebenarnya mengelola satu stasiun pasang surut di dermaga Kota Palu. Dalam stasiun itu terdapat alat pengukur pasang surut yang berfungsi mendeteksi tsunami. Didukung dengan daya listrik, stasiun akan meneruskan data pasang surut ke pemangku kepentingan seperti BIG dan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). 
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwonugroho menyebut Indonesia tidak lagi memiliki buoy untuk mendeteksi tsunami sejak 2012 silam (cnnindonesia). Buoy adalah pelampung berisi perangkat elektronik yang diletakkan di tengah laut untuk mendeteksi gelombang pasang dan tsunami. Buoy ini merupakan salah satu opsi teknologi pendeteksi dini tercepat atas peluang terjadinya tsunami di wilayah Indonesia. Sebab, Indonesia berada di wilayah Cincin Api, yakni zona yang rentan gempa serta kegiatan vulkanik dan dikelilingi oleh lautan. Apa yang disampaikan Sutopo dibenarkan oleh Kepala Pusat Gempa dan Tsunami Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Rahmat Triyono. Dia mengatakan pihaknya memang sudah lama tidak mendapat data yang dihasilkan dari buoy.
Buoy masuk ke dalam Sistem Peringatan Dini Tsunami Indonesia dirancang sejak tsunami Aceh 2004 silam. Buoy dipasang di beberapa titik di laut lepas, mulai Samudra Hindia sampai Sumatera, Laut Selatan Pulau Jawa dan seterusnya. Hanya saja, tidak ada yang mengawasi buoy itu. Rahmat mengatakan banyak buoy yang justru raib. Rahmat menyatakan, BMKG masih bisa melakukan fungsi peringatan dini tanpa buoy, karena sistem yang mereka miliki berdasarkan permodelan tsunami. Akan tetapi, menurutnya, data dari buoy tetap lebih akurat.
Gempa dan tsunami Palu dan Donggala menambah daftar kegagalan negara dalam mengantisipasi potensi bencana alam. Berbagai bencana alam yang dilatarbelakangi kondisi geografis dan geologis seharusnya mendorong Indonesia membangun ketangguhan teknologi dan masyarakat dalam menghadapi bencana alam. Wilayah Indonesia terletak di dalam ring of fire dengan 129 gunung api aktif pada pertemuan tiga lempeng tektonik aktif dunia : lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Seharusnya Indonesia selayaknya Jepang yang mampu menyiapkan masyarakatnya sebagai masyarakat yang memahami ancaman bencana yang senantiasa mengintai mereka karena kondisi geografis dan geologisnya.
Bencana alam, apapun jenis dan macamnya semua merupakan qadha` Allah. Namun dibalik qadha` tersebut ada fenomena alam yang dapat dibaca. Negara disini sebagai penyelenggara kehidupan rakyat memiliki peran yang sangat penting untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat. Negara harus melaksanakan segala upaya baik preventif maupun kuratif dalam upaya tanggap bencana. Peristiwa alam yang menghasilkan bencana alam memang  tidak dapat dicegah ataupun dihilangkan. Namun segala usaha menghindarkan interaksi antara peristiwa alam yang menimbulkan bencana alam dengan manusia, inilah yang termasuk ke dalam upaya manajemen dan mitigasi bencana alam. Dan ini menjadi tanggung jawab negara.
Saling Lempar Tanggung Jawab
Anggota Komisi VIII DPR Fraksi PDI Perjuangan Budiman Sudjatmiko mengaku tidak tahu seluruh buoy sudah tidak beroperasi sejak enam tahun lalu. Karenanya, dia mengatakan bakal meminta pemerintah khususnya lembaga-lembaga terkait agar kembali meletakkan buoy di perairan Indonesia.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR Fraksi Gerindra Sodik Mudjahid mengatakan hal serupa. Dia mengklaim DPR baru mengetahui saat ini sudah tidak ada lagi buoy yang beroperasi. Sodik mengatakan dirinya hanya mengetahui kondisi sistem itu secara umum. Menurutnya, memang banyak peralatan mitigasi yang rusak. Namun, itu pun yang berada di daratan. Perihal peralatan yang diletakkan di perairan, dia mengklaim tidak mengetahui kondisinya.
Sodik menduga peralatan mitigasi yang bermanfaat untuk siaga bencana menjadi terabaikan karena alokasi anggaran yang kurang berimbang. Menurutnya, selama ini BNPB cenderung memprioritaskan anggaran untuk dialokasikan ke aspek tanggap darurat atau yang digunakan setelah bencana terjadi. Sodik mengklaim selama ini DPR sering meminta kepada pemerintah dan BNPB agar mengoptimalkan kemajuan teknologi dalam hal kesiapsiagaan terhadap bencana alam. Dia mengatakan DPR kerap mengingatkan bahwa aspek siaga bencana juga tidak kalah penting dibanding tanggap darurat setelah bencana terjadi.
Sungguh rakyat yang saat ini menjadi korban bencana tidak mengharapakan saling lempar tanggung jawab, yang mereka butuhkan adalah kehadiran negara untuk bertanggung jawab terhadap mereka. Lombok yang luluh lantak beberapa waktu lalu belum pulih, kini Palu dan Donggala berduka. Jika sebelumnya pemerintah lebih memprioritaskan perlindungan wisatawan asing, kini di Palu penanganan bencana semakin semrawut. Banyak lokasi yang belum terjamah karena kekurangan sumber daya manusia dan alat berat. Inilah gambaran tanggap bencana di negera ini, terus berulang dari waktu-kewaktu.
Manajemen Bencana dalam Islam
Manajemen bencana alam bertujuan untuk mengurangi atau menghindari potensi kerugian dari bahaya yang ditimbulkan oleh bencana alam, memastikan bantuan yang cepat dan tepat untuk korban bencana alam, dan melakukan proses pemulihan yang cepat dan efektif. Siklus manajemen bencana alam menggambarkan proses berkelanjutan dimana khilafah dan masyarakat sipil berencana untuk mengurangi dampak bencana alam, bereaksi ketika dan setelah bencana alam, dan mengambil langkah-langkah untuk pemulihan setelah bencana alam terjadi. 
Tindakan yang tepat pada semua tahapan dalam siklus ini menghasilkan sebuah kesiapan yang lebih baik, kesadaran yang lebih baik, dan akan mengurangi tingkat kerentanan terhadap bencana alam pada periode pengulangan berikutnya dari siklus ini. Siklus manajemen bencana alam yang lengkap mencakup aspek penyusunan kebijakan publik dan perencanaan yang baik dalam memodifikasi faktor penyebab bencana alam atau mengurangi dampak bencana alam pada manusia, properti, dan infrastruktur (kampusislami).
Secara teknis, upaya manajemen bencana alam dalam Islam tidaklah banyak berbeda dengan banyak metode yang telah diterapkan saat ini di seluruh dunia. Namun perbedaan dalam memandang sumber pencipta bencana alam, yaitu dengan adanya ketetapan Allah azza wa jalla, mengakibatkan ada sedikit perbedaan dalam langkah awal ketika terjadi suatu kejadian bencana alam, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan khalifah setelahnya, Umar bin Khattab RA.
Suatu kali di Madinah terjadi gempa bumi. Rasulullah SAW lalu meletakkan kedua tangannya di atas tanah dan berkata, “Tenanglah … belum datang saatnya bagimu.” Lalu, Nabi SAW menoleh ke arah para sahabat dan berkata, “Sesungguhnya Rabb kalian menegur kalian … maka jawablah (buatlah Allah ridha kepada kalian)!”
Sepertinya, Umar bin Khattab RA mengingat kejadian itu. Ketika terjadi gempa pada masa kekhalifahannya, ia berkata kepada penduduk Madinah, “Wahai Manusia, apa ini? Alangkah cepatnya apa yang kalian kerjakan (dari maksiat kepada Allah)? Andai kata gempa ini kembali terjadi, aku tak akan bersama kalian lagi!”
Khalifah Umar bin Abdul Aziz juga tak tinggal diam saat terjadi gempa bumi pada masa kepemimpinannya. Ia segera mengirim surat kepada seluruh wali negeri, Amma ba’du, sesungguhnya gempa ini adalah teguran Allah kepada hamba-hamba-Nya, dan saya telah memerintahkan kepada seluruh negeri untuk keluar pada hari tertentu, maka barangsiapa yang memiliki harta hendaklah bersedekah dengannya.”
Langkah awal yang dilakukan ketika terjadi bencana alam ialah bertaubat sambil mengingat kemaksiatan apa yang dilakukan sehingga Allah menurunkan bencana alam tersebut kepada suatu kaum. Hal ini juga menjadi penjaga kesadaran dan kondisi ruhiyah masyarakat, khususnya yang berada pada daerah rawan bencana alam untuk senantiasa menjaga ketaatan pada syariah dalam lingkup individu dan masyarakat, karena bencana alam dapat datang sewaktu-waktu dan memusnahkan setiap orang yang berada di daerah tersebut baik yang taat pada syariah maupun ahli maksiat.
Khilafah  mengambil peran sentral dalam upaya menghindarkan masyarakat dari dampak bencana alam atau meminimalisirnya. Sejak sebelum terjadinya bencana alam, ketika masa tanggap darurat, hingga masa pemulihan dan kehidupan kembali normal. Sebagaimana yang dicontohkan oleh khalifah Umar bin Khattab RA pada saat daerah Hijaz benar-benar kering kerontang akibat musibah paceklik pada akhir tahun ke 18 H, tepatnya pada bulan Dzulhijjah, dan berlangsung selama 9 bulan yang diceritakan dalam At-Thabaqâtul-Kubra karya Ibnu Sa’ad. 
Penduduk-penduduk pedesaan banyak yang mengungsi ke Madinah dan mereka tidak lagi memiliki bahan makanan sedikitpun. Mereka segera melaporkan nasib mereka kepada Amîrul Mukminîn Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu.
Umar Radhiyallahu ‘anhu cepat tanggap dan menindaklanjuti laporan ini. Dia segera membagi-bagikan makanan dan uang dari baitul mâl hingga gudang makanan dan baitul mâl kosong total. Dia juga memaksakan dirinya untuk tidak makan lemak, susu maupun makanan yang dapat membuat gemuk hingga musim paceklik ini berlalu. Jika sebelumnya selalu dihidangkan roti dan lemak susu, maka pada masa ini ia hanya makan minyak dan cuka. 
Dia hanya mengisap-isap minyak, dan tidak pernah kenyang dengan makanan tersebut. Hingga warna kulit Umar Radhiyallahu ‘anhu menjadi hitam dan tubuhnya kurus dan dikhawatirkan dia akan jatuh sakit dan lemah. Kondisi ini berlangsung selama 9 bulan. Setelah itu keadaan berubah kembali menjadi normal sebagaimana biasanya. Akhirnya para penduduk yang mengungsi tadi, bisa pulang kembali ke rumah mereka.
Adanya potensi bencana alam pada suatu tempat adalah ketetapan dari Allah yang tidak bisa dihindari. Namun ada ikhtiar yang dapat dilakukan untuk menghindar dari keburukan yang dapat ditimbulkan, dan upaya-upaya tersebut sudah dicontohkan sebelumnya oleh Rasulullah dan para sahabat ridwanullah alaihim. Sehingga potensi bencana alam dapat dihindari dengan kebijakan Negara khilafah yang tidak saja didasarkan pada pertimbangan rasional, tetapi juga oleh nash syariah.
Manajemen penanganan bencana alam disusun dan dijalankan dengan berpegang teguh pada prinsip “wajibnya seorang Khalifah melakukan ri’ayah (pelayanan) terhadap urusan-urusan rakyatnya”. Khalifah adalah seorang pelayan rakyat yang akan dimintai pertanggungjawaban atas pelayanan yang ia lakukan, keimanannya mendorongnya untuk mengupayakan segala cara untuk melindungi rakyatnya.
Inilah pembeda, lalu bagaimana mereka yang memimpin kini mengulang peradaban itu ? hanya dengan mencampakkan sistem kapitalis ini dan beralih ke sistem Islam kita layak dilindungi oleh pemimpin yang mengundang rahmat tercurah dari langit dan bumi.[]

Penulis adalah seorang PNS di Langsa, Aceh

Comment