RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva menyebut bahwa ASEAN menjadi titik terang dalam ekonomi global. Hal itu disampaikan dalam pertemuan bilateral dengan Presiden Joko Widodo di sela pertemuan KTT ASEAN ke-35 di Impact Arena, Nonthaburi, Thailand, Ahad (3/11).
Ekonom asal Bulgaria itu juga menyoroti banyaknya ketidakpastian yang diciptakan akibat tensi ekonomi dan politik.
Menurutnya, perlambatan ekonomi tidak hanya terjadi pada sektor perdagangan tetapi juga pada investasi dan manufaktur yang selama ini menjadi mesin pertumbuhan.
Mengutip Georgiva, Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi di laman cnnindonesia (04/11/2019) menyampaikan bahwa Direktur Pelaksana IMF melihat kondisi ASEAN lebih baik dan ekonomi ASEAN masih berada di bright spot in the world economy. Benarkah demikian ?
Thailand merilis data pertumbuhan ekonomi kuartal II-2019 yang mengecewakan. National Economic and Social Development Council (NESDC) pada 19/8/2019, mengumumkan ekonomi Thailand pada kuartal II-2019 tumbuh 2,3% year-on-year (YoY). Ini adalah laju pertumbuhan terlemah sejak kuartal III-2014.
Data di Thailand melengkapi aura gloomy di Asia Tenggara. Dari negara-negara ASEAN 6 (Indonesia, Thailand, Singapura, Malaysia, Filipina, Vietnam), seluruhnya melaporkan perlambatan ekonomi. Dengan pertumbuhan 2,3%, maka ekonomi Thailand tumbuh 2,6% pada semester I-2019. Melambat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yaitu 3,95%.
Bagaimana dengan Indonesia? Sama saja. Pada semester I-2019, ekonomi Tanah Air tumbuh 5,06% (peringkat ketiga di Asia Tenggara). Pada semester I-2018, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,22%. Vietnam menjadi negara ASEAN dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi. Pada semester I-2019, ekonomi Negeri Paman Ho tumbuh 6,76%. Namun pencapaian yang cukup impresif itu pun melambat dibandingkan semester I-2019 yang mencapai 7,08%.
Filipina menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi terbaik kedua di antara ASEAN, dengan catatan 5,5% pada semester I-2019. Walau lumayan bagus, tetapi juga melambat karena pada periode yang sama tahun lalu mampu mencapai 6,5%. Kemudian Malaysia menduduki peringkat keempat negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi pada semester I-2019, yaitu 4,7%. Lagi-lagi melambat dibandingkan semester I-2018 yang sebesar 4,95%. Terakhir Singapura, yang berada di posisi juru kunci dengan laju pertumbuhan 0,6% pada semester I-2019. Jauh melambat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yaitu 4,2%.
Apa yang membuat perlambatan ekonomi menyerang seluruh negara utama Asia Tenggara? Ekspor. Ekspor menjadi ‘benalu’ yang membuat pertumbuhan ekonomi melambat drastis. Meski konsumsi rumah tangga masih tumbuh, tetapi ekspor bukannya berkontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) tetapi malah menjadi pengurang.
Pada kuartal II-2019, ekspor Indonesia terkontraksi alias negatif 1,81%. Di Singapura, kontraksi ekspor mencapai minus 14,6%. Lemahnya sektor perdagangan adalah masalah dunia, seluruh negara mengalaminya. Bank Dunia memperkirakan arus perdagangan dunia tahun ini hanya tumbuh 2,6%, laju terlemah sejak krisis keuangan global.
Saking lemahnya arus perdagangan global, sampai-sampai muncul persepsi bahwa dunia di ambang resesi. Perang dagang Amerika Serikat (AS) dan China. Itulah risiko yang bisa membuat dunia jatuh ke resesi. Sudah lebih dari setahun Washington dan Beijing terlibat perang urat syaraf di bidang perdagangan. Keduanya saling memproteksi pasar masing-masing dengan pengenaan bea masuk.
Atas nama melindungi ekonomi, industri, dan lapangan kerja domestik, Presiden AS Donald Trump sejak tahun lalu mengobarkan perang dagang melawan China. Berbagai produk China dibikin sulit menginjak tanah Negeri Adidaya. Sejauh ini, AS sudah memberlakukan bea masuk terhadap US$ 250 miliar produk made in China.
Diperlakukan begitu rupa, China tentu tidak terima. Negeri Tirai Bambu balas mengenakan bea masuk untuk impor produk-produk made in the USA. Total ada US$ 110 miliar importasi produk AS yang sudah dibebani bea masuk. Lho, yang berperang kan AS dan China? Kenapa negara-negara seperti Singapura, Filipina, sampai Indonesia kena getahnya?
AS dan China adalah perekonomian terbesar di dunia. Kala keduanya itu saling hambat, maka industri dalam negeri mereka akan kesulitan mendatangkan bahan baku dan barang modal.
Produksi akan melambat karena lemahnya ekspor. Kalau dunia usaha di China dan AS menahan diri, mengurangi produksi, tentunya pengadaan bahan baku dan barang modal akan ikut dikurangi.
Padahal penyedia bahan baku dan barang modal untuk industri di China dan AS itu adalah negara-negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Itulah yang disebut dengan rantai pasok. Perang dagang AS-China akan merusak rantai pasok global dan menghambat pertumbuhan ekonomi dunia. Dalam waktu dekat mungkin yang terjadi ‘cuma’ perlambatan ekonomi.
Namun kalau AS-China tidak kunjung damai, bahkan perang dagang semakin parah, maka rantai pasok tadi akan semakin hancur. Resesi bukan sesuatu yang mustahil.
Inilah siklus sistem moneter internasional. Sistem ini terus-menerus berada di menara gading, tak tersentuh bahkan tak pernah direformasi apalagi diganti total untuk membawa angin segar bagi perekonomian dunia. Berbagai masalah berkelindan, tak kunjung tuntas, tak mampu dipahami kecuali oleh para ahli statistik.
Sistem ini seharusnya dipaparkan, dibuka kepada masyarakat umum secara global, agar masyarakat internasional bisa memahami langsung kerusakannya. Termasuk sistem ekonomi kapitalisme yang telah menciptakan jurang yang tidak manusiawi di masyarakat, yaitu kelas-kelas. Adanya kelas majikan, kelas budak, kelas tajir kaya melintir dan kelas miskin melarat. Didalamnya dipenuhi oleh ketidakadilan, kehinaan, kedzaliman, kerakusan, kebohongan, eksploitasi bahkan perbudakan modern.
Semua harus dipahamkan, agar masyarakat tahu dan memahami apa itu kebahagiaan, dimana dan dalam sistem apa bisa meraihnya ? harus digambarkan kepada manusia agar manusia bisa memilih, mau dibawa kemana planet ini.
Kini masyarakat umum melihat, bahwa tidak ada satupun sistem global yang sedang eksis di dunia saat ini yang kosong dari cacat, sistem yang ada sangat complicated, rumit dan senantiasa menciptakan permasalahan baru.
Satu-satunya sistem yang terbukti memberi keadilan dan kesejahteraan adalah sistem Islam. Dunia sudah menyaksikan dan mencatat dengan tinta emas masa itu. Sistem Islam meski kini tak lagi eksis, membuktikan bahwa kebenaran sebuah sistem dan pembenarannya datang dari kebenaran pihak yang membuatnya. Kesahihan sebuah pemikiran datang dari kesahihan sumbernya.
Hampir 95 tahun lalu, Sistem Khilafah Islamiyah warisan Rasulullah SAW diruntuhkan. Dunia dipimpin oleh satu sistem, dari aspek ekonomi dan finansialnya di sebut sebagai sistem ekonomi liberal atau liberalisme pasar. Sistem ini, dari segi formalitasnya terikat dengan lembaga dana moneter internasional (IMF). Lembaga ini bersama lembaga lain semacam WTO, APEC, ASEAN, AFTA, NAFTA, World Bank, MEE, ITO, ILO, OPEC, NATO, dan lain sebagainya diciptakan untuk mengikat semua negara-negara di dunia dibawah satu kontrol yaitu kapitalisme global.
Lembaga-lembaga tersebut adalah hasil dari praktik sistem kapitalisme dengan segala keburukan dan kerakusannya yang menyengsarakan umat manusia. Monster kapitalisme telah mengambil langkah-langkah ini agar mereka bisa mengendalikan dan mengontrol dunia. Kaidah Machiavellian dipraktikkan dengan baik oleh para kapitalis dan diaminkan oleh penguasa komprador. Lembaga-lemabaga ini hadir sebagai bentuk legalitas terhadap seluruh konspirasi negara penjajah atas hegemoni mereka terhadap dunia ketiga.
Dunia dibagi, dipaksa mengikuti syahwat busuk mereka. Dibentuk klasifikasi : pengikut dan yang diikuti, yaitu negara kaya atau negara industri dan negara berkembang atau negara terbelakang.
Mayoritas negara di dunia hidup dibawah belas kasihan negara adidaya. Nasib rakyat dan penghidupan di negara inipun ditentukan oleh kebijakan segelintir negara kaya tersebut. Untuk itulah IMF dan World Bank memiliki posisi yang sangat penting dari sistem ini.
John Perkins, seorang yang berprofesi sebagai `Economic Hit Man’ (bandit ekonomi) menuturkan : “Utang Luar Negeri akan memastikan anak–anak hari ini dan cucu mereka di masa depan menjadi sandera (dengan utang).
Mereka harus membiarkan korporasi kami menjarah sumber daya alam mereka, dan harus mengorbankan pendidikan, jaminan sosial hanya untuk membayar kami kembali”.
Dalam bukunya tahun 2004 berjudul “Confessions of an economic Hit Man”, Perkins bercerita bahwa pada 1970-an ditugaskan ke Indonesia untuk menyusun data-data (yang direkayasa) rancangan proyek pembangunan listrik di Indonesia, memberikan rekomendasi kepada pemerintah Indonesia tentang berapa banyak hutang yang harus diambil, dan memberikan angan-angan kosong kepada pemerintah bahwa proyek berbasis hutang ini sangat menguntungkan dan akan memakmurkan rakyat.
Utang Luar Negeri tidak dapat begitu saja dipandang dengan pendekatan ekonomi (murni) neoklasik yang umum dipakai sekarang. Pendekataan ini memiliki keterbatasan sehingga mengaburkan sifat asli utang luar negeri. Pendekatan tersebut mengajarkan pandangan bahwa utang luar negeri merupakan bantuan dari negara-negara yang telah maju untuk negara berkembang. Apabila terus diproduksi pandangan tersebut sungguh memiliki implikasi yang mengerikan.
Utang luar negeri memilki sifat asli sebagai kunci pembuka bagi agenda Neo-Kolonialisme. Jangankan membawa perbaikan kondisi ekonomi, apa yang disebut sebagai “bantuan” tersebut justru secara sistematis membukakan jalan untuk menghisap negara penghutang hingga bangkrut. Sehingga lebih tepat kiranya untuk mengganti sebutan “lembaga donor pemberi bantuan” menjadi “rentenir”.
Perkins di dalam bukunya menuliskan sebuah pengakuan, “Semua orang lainnya di negara tersebut akan menderita karena dana untuk pendidikan, kesehatan dan layanan sosial lainnya akan digunakan untuk membayar bunga pinjaman.
Pada akhirnya, ketika negara tersebut tidak mampu melakukan buy down (menurunkan suku bunga pinjaman pada beberapa tahun awal masa pinjaman), pokok (pinjaman), kami akan kembali dan, dengan bantuan dana moneter internasional (IMF), `merestruktur’ pinjaman. Juga, meminta negara tersebut menjual murah sumber dayanya kepada perusahaan kami dengan regulasi lingkungan dan sosial minimal dan memprivatisasi perusahaan utilitas dan layanan publik lainnya dan menawarkannya kepada perusahaan kami dengan potongan harga”.
Diskursus ilmu pengetahuan yang bergulir dalam masyarakat liberal di negara berkembang saat ini, masih meletakan definisi utang sebagai bantuan. Dalam rangka mewujudkan cita-cita agar setara dengan negara maju, cara berpikir kaum liberal menilai negara berkembang tentu memerlukan pembangunan dan itu membutuhkan banyak biaya. Terlebih dengan kemandirian ekonomi rapuh pasca imperialisme yang mereka terima sebelumnya. Tentu negara berkembang tidak dapat berbuat banyak dalam bidang ekonomi.
Pada kondisi yang terpuruk demikian, utang ditawarkan berbagai pakar sebagai jalan yang tepat untuk diambil. Mereka membenarkan tentang adanya manfaat positif dari utang. Ekonom Neoklasik seperti Todaro menyatakan bahwa utang luar negeri dipandang memiliki manfaat positif.
Pertama, sebagai penutup kesenjangan antara tabungan masyarakat dengan kebutuhan investasi (Investmen Gap).
Kedua, langkah untuk memanfaatkan peluang tersedianya suku bunga murah dalam paket pinjaman yang ditawarkan negara peminjam.
Sejatinya pujian-pujian dan arahan IMF tak perlu membuat pejabat negara ini tersipu malu dan kembali menabur harapan semu perubahan menuju Indonesia yang lebih baik.
Karena keberadaan IMF, ASEAN, WTO dan sejenisnya hanyalah pelaku agenda neo kapitalisme. Serigala berbulu domba dengan 3 agenda utamanya;
Pertama, untuk memperoleh keuntungan finansial, yang diperoleh lewat dua sumber yakni bunga utang dan hasil penjualan proyek yang dibiayai dari utang. Utang berbentuk proyek memberikan dua keuntungan bagi rentenirnya. Menurut bentuknya utang luar negeri terbagi menjadi tiga, yakni : uang, program dan proyek. Proyek ini lah yang sebelumnya dipaksakan oleh Perkins dan Preman Ekonomi yang lain agar diterima khususnya negara berkembang.
Revrisond Baswir dalam diskusi Ekonomi Politik Utang Luar Negeri yang diselenggarakan Map Corner – Klub MKP UGM, Selasa 5 september 2017 lalu menunjukan data bahwa 90% utang luar negeri Indonesia ternyata berbentuk proyek.
Kedua, menjadikan negara penghutang sebagai pasar maupun penyangga sumber daya. Seperti yang dijelaskan Toussaint dan Millet, jebakan hutang merupakan agenda sistematis yang dilakukan negara atau lembaga multilateral rentenir untuk mengeksploitasi perekonomian negara lain.
Utang digunakan sebagai instrument awal untuk menjalankan strategi sistematis tersebut. Guna memperlancar upaya eksploitasi, negara atau lembaga rentenir memaksa pemerintah negara berkembang menjalankan agenda liberalisasi.
Ketiga, untuk tujuan penyebaran Ideologi. Proses penetrasi liberalisasi yang dilakukan turut serta menanamkan nilai-nilai kapitalisme dan liberalisme. Paham tentang efektifitas dan efisiensi ekonomi pasar digunakan sebagai argument yang membenarkan perlunya liberalisasi. Diskursus ilmu pengetahuan lagi-lagi juga memberikan sumbangsihnya dalam hal ini.
Dijejalilah kepada negara penerima utang dengan berbagai pengetahuan yang memihak pada kepentingan kapital. Alhasil terbangun sebuah paradigma yang mengakar kokoh dalam pandangan birokrat-birokrat negara. Menurut Erler, Utang luar negeri diyakini telah dipakai oleh negara pemberi hutang sebagai sarana untuk menyebarluaskan kapitalisme-neoliberal ke seluruh penjuru dunia.
Untuk menutup tulisan ini mari menyimak pengakuan Perkins berikutnya ;
“Tindakan tersebut merupakan strategi menggunakan realitas perseptif untuk mengubah kenyataan objektif. Dalam kasus ini kenyataan objektif 1 adalah negara tersebut memiliki sumber daya. Kenyataan persektifnya adalah menggunakan sumber daya sebagai jaminan pinjaman untuk membiayai proyek pembangunan infrastruktur yang akan menciptakan pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran bagi semua rakyatnya.
Namun kenyataan objektif 2 adalah pertumbuhan ekonomi terjadi hanya di kalangan super kaya. Karena statistik ekonomi (Produk Domestik Bruto, PDB) di negara-negara seperti itu cenderung menguntungkan masyarakat kaya, kenyataannya hanya perusahaan kami dan keluarga-keluarga kaya yang diuntungkan. Populasi sisanya dirugikan.
Dalam banyak hal kasus ini mengarah kepada kekacauan politik, kebencian, dan timbulnya berbagai bentuk radikalisme dan terorisme”.
Andai saja para pemuka negara ini mengetahuinya, mereka akan malu karena telah mengalamatkan radikalisme dan terorisme kepada umat Islam.[]
*Penulis adalah aktivis dakwah, tinggal di Aceh
Comment