RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Kementerian Perindustrian menargetkan dan memfasilitasi 500 – 2.000 pelaku industri kecil dan menengah (IKM) yang bergerak di sektor pangan dalam lima tahun ke depan untuk memiliki sertifikasi halal. Direktur Jenderal (Dirjen) Industri Kecil Menengah dan Aneka (IKMA) Kemenperin Gati Wibawaningsih mengatakan sertifikasi halal itu menjadi kewajiban pelaku usaha, khususnya di sektor pangan, baik makanan maupun minuman, sejalan dengan terbitnya Undang-undang Nomor 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal (ekonomi.bisnis.com 31/10/2019).
Mantan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menyebut 17 Oktober 2019, sebagai tanggal dimulainya ketentuan sertifikasi halal. Namun berlakunya beleid Jaminan Produk Halal itu tidak serta merta membuat sertifikasi halal langsung menjadi wajib. kewajiban itu baru berlaku setelah lima tahun dilalui masa pentahapan. Pada lima tahun pertama, pada 17 Oktober 2019 – 17 Oktober 2024, pemberlakuan sertifikasi halal itu baru dikhususkan untuk produk makanan dan minuman, serta produk dan jasa terkait keduanya. Sementara, untuk produk lainnya seperti obat dan kosmetik, belum diberlakukan. Artinya, setelah lima tahun ini berlalu, akan ada penegakan hukum bagi produk makanan dan minuman yang tidak bersertifikat halal.
Kementerian Agama akan menggantikan Majelis Ulama Indonesia atau MUI dalam menerbitkan label halal. Kemenag lewat Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal atau BPJPH akan mengambil alih kewenangan yang sebelumnya dipegang oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) MUI. Jika selama ini sertifikasi halal yang dilakukan MUI sifatnya suka rela. Namun kini bersifat mandatory karena sudah diatur oleh undang-undang, dan dilakukan oleh negara melalui BPJPH.
Namun hingga kini implementasi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) masih menimbulkan polemik. Sebab belum ada penjelasan yang jelas dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) bagi para pegiat usaha dan industri. Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch Ikhsan Abdullah menilai, masih minimnya persiapan dimulainya implementasi UU JPH tersebut.
Salah satunya, belum adanya lembaga pemeriksa halal (LPH). LPH sendiri kata Ikhsan, mendapatkan akreditasi dari MUI dan BPJPH. Selain itu, untuk menjadi LPH minimal harus mempunyai 3 orang auditor halal, dan hingga saat ini auditor halal tidak ada karena belum mempunyai sertifikasi. Siapa yang mensertifikasi ? MUI ? nah lagi-lagi belum ada satupun auditor halal yang tersertifikasi oleh MUI kecuali yang dimiliki oleh LPPOM MUI sendiri yang jumlahnya kurang lebih 1000 orang.
Dalam proses sertifikasi halal yang harus diperhatikan pertama kali adalah proses registrasi yang tidak boleh menjadi bootle neck dalam proses sertifikasi halal itu sendiri yang tentunya sudah harus terverifikasi. Proses registrasi itu bukan hanya sekedar melihat dokumennya lengkap, tetapi juga harus diverifikasi oleh SDM sehingga bisa ditentukan itu compile or not compile. Misalnya saja dari suatu minuman salah satu bahannya menggunakan gula, apakah itu compile atau tidak, untuk itu harus ada SDM food scientist yang paham.
Selain itu, standar tarif sertifikasi halal juga perlu diperjelas. Perkiraan biaya awal, paling tinggi mencapai Rp 5 juta untuk satu produk barang, dan harus diperbaharui tiap dua tahun. Seharusnya, Menteri Keuangan telah menetapkan rincian tarif namun hingga saat ini belum ada kejelasan soal itu. Standar halal juga sangat penting untuk dijelaskan kepada para pegiat usaha dan industri. Sebab standar terpengaruh oleh hukum dan hukum berpengaruh pada kaidah. Siapa yang berwenang berbicara masalah hukum? Tentu bukan BPJPH, namun ini menjadi domain MUI, sesuai dengan amanah undang-undang tersebut. Fatwa MUI-lah kuncinya, tanpa fatwa halal MUI tidak akan ada jaminan produk halal.
Menilik data makanan dan minuman yang tercatat dalam BPOM terdapat setidaknya 1,6 juta produk di Indonesia. Data Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) baru ada sekitar 500 ribu produk yang tersertifikasi halal atau hanya 30%-nya. Sehingga masih ada 1,1 juta produk yang harus disertifikasi. BPJH sendiri saat ini masih berada di Jakarta, hal itu tentu akan menyulitkan semua pihak dari daerah yang memerlukan sertifikasi karena akan membutuhkan biaya dan waktu mengingat undang-undang ini mewajibkan seluruh produk yang masuk, beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. Selain perusahaan nasional dan multinasional, usaha kecil, mikro seperti pedagang asongan, gerobak, tukang bakso, gorengan pun wajib disertifikasi halal.
Ketidaksiapan penerapan UU JPH itu sendiri sebetulnya sudah terlihat dengan lambatnya proses persiapan untuk penerapan UU tersebut. Bagaimana tidak, meski sudah disahkan pada 2014 dan diberikan batas waktu untuk edukasi dan sosialisasi serta penyiapan infrastruktur, supra struktur maupun sumber daya manusianya namun tak jua segera disiapkan.
Hingga saat ini pelaku industri kesulitan mendapatkan sertifikasi halal karena BPJH masih melayani secara manual, urusannya semakin panjang dan rumit. Padahal sebelumnya masyarakat sudah sangat dimudahkan dengan layanan sertifikasi daring (certification online service system) yang dilakukan LPPOM MUI melalui cerol SS23000, sehingga masyarakat dapat melakukan registrasi dimanapun.
Mengapa pemerintah memaksakan pelaksanaan registrasi sertifikasi halal ? Jikapun mewajibkannya mengapa tidak mempercayakannya kepada MUI saja ? Toh, LPPOM MUI sudah berpengalaman selama 30 tahun dengan kesiapan infrastruktur, jaringan di semua daerah hingga sediaan SDM termasuk auditor. Jika ingin memberikan kenyamanan kepada rakyat mengapa ini malah menyulitkan ?
Pengamat ekonomi syariah dari Sekolah Tinggi Ekonomi Islam SEBI, Azis Budi Setiawan menyampaikan, sertifikasi halal yang saat ini dikelola BPJPH Kemenag merupakan upaya agar produk Indonesia dapat berkompetisi di pasar halal global. Azis menuturkan, pesatnya sertifikasi halal akan berimplikasi dengan meningkatnya keuangan syariah. Perkembangan keuangan syariah, menurutnya, kerap didukung ekosistem keseluruhan di sektor lain, termasuk sertifikasi halal.
Industri keuangan syariah sudah bekerja sama dengan BPJPH dalam menangkap berbagai peluang terkait kewajiban sertifikasi halal. Menurutnya, pasar halal global sangat besar. Ia menyebut, dalam perspektif ekonomi sertifikasi halal tidak hanya sebatas untuk kenyamanan dan jaminan halal suatu produk. Namun, dengan memenuhi standar halal internasional, maka Indonesia dapat menikmati surplus ekonomi dari pasar halal global. Azis mengatakan, Thailand punya perhatian yang luar biasa soal industri halal. Australia pun serius menggarap sertifikasi dan produk halal karena mereka tahu bahwa ini pasarnya besar. Siapapun bisa membaca bahwa motif kapitalisasi sangat kental disini.
Perspektif ekonomi yang dimaksud disini tentu bukanlah perspektif ekonomi Islam, melainkan perspektif ekonomi kapitalisme. Tabiat kapitalisme demikian buruk, rakus dan berkonsentrasi penuh pada supply dan demand. Meningkatnya kesadaran umat Islam secara global terhadap komitmen aqidahnya berbanding lurus dengan gerakan melek halal di seluruh dunia. Kini bukan hal yang sulit menemukan produk halal bahkan di negeri-negeri minoritas muslim seperti Eropa misalnya. Dan para kapitalis membaca ini sebagai peluang besar untuk meraup keuntungan.
Aneh jika dinegeri yang digelari sebagai negara muslim terbesar dunia, justru label halal menjadi ladang bisnis. Seharusnya pemerintah memberikan jaminan bahwa produk yang beredar wajib halal bukan wajib bersertifikasi halal. Tapi, ah sudahlah, saat ini Permendag 29/2019 saja masih harus direvisi karena tidak mencantumkan pasal soal wajib ketetentuan dan label halal untuk pemasukan hewan dan produk hewan ke Indonesia. Kapan selesainya, entahlah. Fakta `hilang’ nya ketentuan halal ini sempat menjadi polemik dan keresahan ditengah-tengah masyarakat.
Sebaliknya, terdapat fakta yang mencengangkan soal label halal untuk produk obat. Justru sebagian besar obat yang beredar di Indonesia tidak memiliki sertifikat halal. Hingga 2010 belum ada satupun perusahaan obat yang mengajukan permohonan sertifikasi halal ke LPPOM MUI.
Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Jaminan Produk Halal sempat tidak disetujui oleh Kementerian Kesehatan pada 2018 lalu. Alasan penolakan dimasukkannya obat dalam klausul halal karena akan berdampak pada kekosongan obat. Lebih dari 95% bahan baku obat masih impor tanpa diketahui kehalalannya. Jika dilakukan sertifikasi maka pasien akan memilih obat yang akan dikonsumsi. Sertifikasi obat juga akan berdampak terhadap tingginya biaya produksi obat.
Kapitalisasi halal ini semakin jelas jika menyimak pernyataan Wakil Presiden Ma’ruf Amin yang akan menitikberatkan rencana kerja dalam mendorong Indonesia menjadi pengekspor produk halal. Ma’ruf menuturkan dengan Undang-undang Jaminan Produk Halal yang telah disahkan maka negeri ini memiliki peluang menjadi negara produsen produk halal meski saat ini Indonesia baru sebatas pemberi sertifikat produk halal.
Pengamat Neng Dara Affiah, dosen Sosiologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, mengkritik sertifikasi halal untuk produk-produk non makanan dan minuman. Percaya tidak percaya, saat ini produk bersertifikat halal semakin marak, merambah hingga ke produk kerudung, tisu toilet, microwave oven, wajan penggorengan bahkan kulkas.
Menurut Neng, sertifikasi halal kini menjadi kapitalisasi agama. Menurut hematnya sertifikasi justru tidak dibutuhkan, setiap perusahaan hanya perlu memberi informasi terkait apa yang terkandung dalam makanan juga tanggal kadaluarsanya.
“Pelabelan seperti ini kadang-kadang dimanfaatkan sekelompok orang, terutama para elit untuk `proyekan’,” ujarnya.
Bagaimana dengan barang tidak halal ? ini menarik. Kantor Wakil Presiden, yang terlibat dalam pembuatan PP JPH, menjamin produk yang tidak halal dan tidak lolos sertifikasi halal tetap bisa dipasarkan. Nah lho ??? Pemasaran dengan mencantumkan logo atau simbol tertentu, namun mereka menghindari terminologi `haram’ dan `tidak halal’. Staf Khusus Wakil Presiden ketika itu, Wijayanto Samirin, menyampaikan bahwa pemerintah akan menyiapkan antisipasi terhadap aksi-aksi sweeping produk tidak halal (bbc.com). Membingungkan bukan ? Finally, ngapain repot-repot sertifikasi ?
Inilah sederet fakta yang membelit umat. Pemerintah begitu mengejar dan menggenjot syariah jika itu berpeluang menopang ekonomi. Sebelumnya dana haji digunakan untuk infrastruktur, kemudian zakat untuk mendanai program SDGs, kini sertifikasi halal. Pemerintah hanya akan welcome terhadap syariah yang masuk katagori `basah’, selebihnya Islam dicampakkan, dikelupas, dituduh, dikrimimalisasi. Islam hanya dilirik untuk diambil kemashalahatannya demi kepentingan-kepentingan duniawi.
“Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi; maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia kebelakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata”. (QS. Al-Hajj ayat 11).
Islam mewajibkan kepada menguasa untuk menjamin kehalalan setiap produk yang beredar ditengah-tengah masyarakat. Semua komoditas ekonomi harus halal dan tidak mengandung zat-zat yang berbahaya. Sistem Islam dilandasi oleh aqidah Islam, sehingga semua aktivitasnya terikat dengan hukum syara`. Allah SWT berfirman;
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi’ (QS. Al-Baqarah ayat 168).
Maka hanya sistem Islam yang mampu menjamin keberadaan produk halal di tengah-tengah masyarakat. Inilah salah satu urgensitas penerapan Islam kaffah. Di dalam Islam makanan menjadi bagian penting karena mempengaruhi fisik dan perilaku manusia. Aturan dasar mengenai makanan bukan hanya sekedar ajaran agama namun menjadi aturan negara, dan ini telah berlangsung selama lebih dari 13 abad.
Dalam Islam penyembelihan hewan misalnya senantiasa didahului oleh penyebutan nama Allah SWT, ini menunjukkan seriusnya urusan menghilangkan nyawa meski tak membawa untung secara ekonomi. Ini juga menjadi semacam permohonan izin kepada Allah untuk mengkonsumsi makhluk hidup ciptaan-Nya yang menumbuhkan kesadaran eksistensi Ketuhanan. Terikatnya umat Islam dengan halal haram adalah komitmen aqidahnya bukan soalan kemashlahatan duniawi semata.
Ini tentu berbeda dengan pandangan sekuler yang tak ambil pusing soal halal haram. Maka ketika sistem sekuler memaksa masuk ke ruang yang bukan otoritasnya, patut di kritisi, untuk kepentingan siapa ?
*Ibu Rumah Tangga, tinggal di Aceh
Comment