Aisyah Karim, S.H*: Iran Rangkul Saudi, Episode Baru?

Opini583 Views

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – CNBCIndonesia melaporkan Kepala Staf Kepresidenan Iran Mahmoud Vaezi mengajak Arab Saudi untuk bekerja sama mengatasi berbagai masalah baik di dalam maupun luar negeri. Demikian dikatakan Mahmoud seperti dilansir Reuters, Rabu (22/1/2020).

“Hubungan antara Iran dan Arab Saudi seharusnya tidak menjadi seperti hubungan antara Teheran dan Amerika Serikat. Teheran dan Riyadh harus bekerja sama untuk menyelesaikan masalah mereka,” katanya sebagaimana dilaporkan kantor berita negara IRNA.

Pernyataan Mahmoud tergolong mengejutkan. Sebab, hubungan antara Iran dan Arab Saudi selama beberapa dekade terakhir tidak jauh berbeda dari hubungannya dengan AS.

Kedua negara teluk itu telah terlibat dalam proxy war di Timur Tengah mulai dari perang Suriah hingga Yaman. BBC News menulis perseteruan sengit untuk mendominasi kawasan di antara mereka diperburuk oleh masalah perbedaan pemahaman agama.

Meski sama-sama merupakan negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam, namun aliran yang dipeluk kedua negara berbeda. Warga Iran sebagian besar merupakan Syiah, sementara Arab Saudi adalah Muslim Sunni.

Sementara dengan AS, hubungan kedua negara yang sudah buruk selama beberapa tahun terakhir, menjadi semakin buruk pada awal tahun ini.

Itu terjadi setelah AS melakukan serangan udara yang menewaskan beberapa orang penting Iran, termasuk Jenderal Qassem Soleimani, di Bandara Internasional Baghdad pada 3 Januari lalu.

Akibat pembunuhan itu, Iran melakukan serangan balasan dengan meluncurkan belasan rudal ke pangkalan militer dan kedutaan besar AS di Irak. Situasi kedua negara pun semakin menegang.

Iran bahkan telah mengatakan akan melakukan serangan balasan yang lebih buruk pada negara yang dipimpin Presiden Donald Trump itu.

Parlemen Iran menjanjikan uang tunai bagi siapa saja yang bisa mendapatkan kepala Trump. Uang yang dijanjikan cukup besar senilai USD 3 juta atau sekitar Rp 42 miliar. Hal itu disampaikan Ahmad Hamzeh mewakili wilayah Kahnouj Rabu 21/1/2020.

AS akhirnya berkomentar tentang tawaran uang tersebut. Duta Besar AS, Robert Wood yang khusus menangani pelucutan senjata menilai langkah tersebut mendukung nilai-nilai terorisme.

Tidak hanya itu, Iran juga mengancam akan keluar dari Perjanjian Non-Proliferasi (NPT) 1970, yang mengikat negara dunia mengembangkan nuklir untuk kepentingan damai.

Manuver Iran mendekati musuh bebuyutannya ini kalah cepat dibandingkan Amerika. Trump sendiri telah menemui pejabat keamanan Saudi, yaitu Menteri Pertahanan Arab Saudi, Pangeran Khalid bin Salman pada senin 6/01/2020 ditengah meningkatnya ketegangan Timur Tengah.

Pangeran Khalid bin Salman mengungkapkan pertemuannya dengan Trump melalui akun Twitter. Menurut keterangannya pertemuan tersebut membahas “Aspek kerjasama, koordinasi, dan upaya bersama dua negara sahabat itu dalam berbagai aspek, termasuk upaya bersama untuk menghadapi tantangan regional dan internasional”.

Pertemuan tersebut tidak tercantum dalam jadwal publik Trump dan tidak diketahui publik Amerika hingga Saudi merilis pernyataan tentang pertemuan itu.

Arab Saudi adalah salah satu sekutu utama Amerika Serikat di kawasan itu dan telah kesulitan dalam membendung upaya Iran untuk mendapat pengaruh yang lebih besar di Timur Tengah melalui sengketa politik dan ekonomi, termasuk melalui perang proxy yang sedang berlangsung di Yaman. Namun pasca pembunuhan terhadap jurnalis The Washington Post, Jamal Kashoggi pada 2018 hubungan Trump dengan Saudi terlihat rumit. Sifat pertemuan tidak resmi dengan Pangeran Khalid juga menarik perhatian beberapa kritikus.

Jadi, apakah Iran telah putus asa ? Hingga kini Saudi belum mengeluarkan tanggapannya atas ajakan kerjasama tersebut. Namun dari sini kita dapat memahami beberapa hal, diantaranya ;

Pertama, sistem politik oportunis demokrasi kapitalisme meniscayakan tidak ada musuh yang abadi, yang ada hanya kepentingan yang akan senantiasa mencari jalannya.

Kaum muslimin tak perlu syok dan terkejut ketika dihadapkan pada hal-hal yang terlihat musykil hari ini namun mewujud nyata, misal esok lusa gonjang-ganjing yang sempat di prediksi perang dunia ketiga ini mereda dengan sendirinya.

Kedua, Penguasa-penguasa negeri kaum muslimin ternyata tetap berpegang erat pada trahnya, yaitu menjadi agen dari politik global yang dijalankan tuannya. Baik Iran maupun Saudi seringkali terlihat gotok-gotokkan namun setelah beberapa kunjungan diplomatik Amerika di sana-sini, akhirnya reda lagi.

Amerika memiliki dua wajah di Timur Tengah, satu sisi untuk persekutuannya dengan aliansi negara-negara Arab (NATO Arab) dan satu sisi lainnya untuk persahabatannya dengan Iran dan Israel.

Ketiga, Amerika yang menggelari dirinya sebagai pembela hak asasi manusia ternyata toh hanya isapan jempol saja. Trump berulangkali menyatakan, dia mempercayai bantahan putra mahkota atas pembunuhan Kashoggi, demi menjaga pentingnya kerjasama ekonomi antara AS dengan kerajaan. Ini sekali lagi membuktikan, HAM sebagai alat penjajahan Barat terhadap dunia Islam.

Keempat, dengan kondisi kepemimpinan Islam yang demikian lemah, umat ini tetap berada pada posisinya sebagai hidangan yang diperebutkan kaum kafir tanpa ada rasa gentar sedikitpun dihati mereka.

Untuk membalikkan kondisi ini hanya dapat ditempuh dengan memperjuangkan kembali tegaknya kehidupan Islam, menegakkan Khilafah yang akan membaiat seorang Khalifah bagi kaum muslimin. Pada saat itulah kemuliaan umat ini akan kembali diraih.[]

*Liingkar sudi perempuan dan peradaban, Aceh

Comment