Aisyah Karim, S.H*: Covid-19, Antara Darurat Kesehatan Dan Darurat Sipil

Opini621 Views

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Pandemi covid-19 membuat banyak negara kalang kabut termasuk Indonesia tentunya. Tiap negara menetapkan kebijakan untuk mengantisipasi sebaran virus ganas yang bersumber dari Wuhan, China itu.

Pemerintah Indonesia berencana menerapkan kebijakan darurat sipil sebagai langkah untuk mencegah penyebaran virus corona yang menyebabkan kematian kian bertambah.

Kebijakan darurat sipil akan beriringan dengan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).

Rencana kebijakan tersebut merupakan jawaban pemerintah yang tidak mengambil pilihan lockdown, yang memang tidak diatur dalam perundang-undangan manapun tapi maknanya sama dengan `karantina wilayah’ sebagaimana yang tertulis dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Rencana ini langsung mendapat penolakan yang luas dan massif dari rakyat. Jagad Twitter dimeriahkan oleh tagar  #TolakDaruratSipil dengan lebih dari 140 ribu ribu kicauan dan menjadi trending topic.

Mengapa rakyat menolak status darurat sipil?

Darurat sipil adalah serangkaian peraturan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang atau Perpu Nomor 23 Tahun 1959 tentang pencabutan Undang-undang Nomor 74 Tahun 1957 dan Menetapkan Keadaan Bahaya.

Pemerintah Indonesia diketahui akan menggunakan tiga undang-undang sebagai landasan hukum dalam melakukan pembatasan sosial skala besar yang diikuti kebijakan darurat sipil.

Adapun ketiga undang-undang yang digunakan pemerintah yakni Undang-undang Nomor 24/2007 tentang Bencana, Undang-undang Nomor 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, dan Perpu Nomor 23/1959 tentang Penetapan Keadaan Bahaya.

Status darurat sipil itu memiliki sejumlah konsekuensi, diantaranya;
Pertama adalah menambah sejumlah kewenangan kepada presiden sebagai penguasa darurat sipil pusat, dan kepala daerah sebagai penguasa darurat sipil daerah.

Kedua, Penguasa Darurat Sipil berhak mengadakan ketentuan bahwa untuk mengadakan rapat-rapat umum, pertemuan-pertemuan umum dan arak-arakan harus diminta izin terlebih dahulu. lzin ini oleh Penguasa Darurat Sipil diberikan penuh atau bersyarat. Yang dimaksud dengan rapat-rapat umum dan pertemuan-pertemuan umum adalah rapat-rapat dan pertemuan-pertemuan umum yang dapat dikunjungi oleh rakyat umum.

Ketiga, Penguasa Darurat Sipil berhak mengadakan peraturan-peraturan untuk membatasi pertunjukan-pertunjukan, percetakan, penerbitan, pengumuman, penyampaian, penyimpanan, penyebaran, perdagangan dan penempelan tulisan-tulisan berupa apapun juga, lukisan-lukisan, klise-klise dan gambar-gambar.

Keempat, Penguasa Darurat Sipil berhak atau dapat-menyuruh atas namanya pejabat-pejabat polisi atau pejabat-pejabat pengusut lainnya atau menggeledah tiap-tiap tempat, sekalipun bertentangan dengan kehendak yang mempunyai atau yang menempatinya, dengan menunjukkan surat perintah umum atau surat perintah istimewa.

Kelima, Penguasa Darurat Sipil berhak menyuruh memeriksa dan menyita semua barang yang diduga atau akan dipakai untuk mengganggu keamanan serta membatasi atau melarang pemakaian barang itu.

Keenam, mengetahui semua berita-berita serta percakapan-percakapan yanga dipercakapkan kepada kantor telepon atau kantor radio, pun melarang atau memutuskan pengiriman berita-berita atau percakapan-percakapan dengan perantaraan telepon atau radio.

Ketujuh, membatasi atau melarang pemakaian kode-kode, tulisan rahasia, percetakan rahasia, tulisan steno, gambar-gambar, tanda-tanda, juga pemakaian bahasa-bahasa lain dari pada bahasa Indonesia.

Kedelapan, menetapkan peraturan-peraturan yang membatasi atau melarang pemakaian alat-alat telekomunikasi sepertinya telepon, telegraf, pemancar radio dan alat-alat lainnya yang ada hubungannya dengan penyiaran radio dan yang dapat dipakai untuk mencapai rakyat banyak, pun juga menyita atau menghancurkan perlengkapan-perlengkapan tersebut.

Langkah presiden yang menerapkan darurat sipil daripada karantina wilayah patut dipertanyakan. Hal ini karena tahapan baru perang melawan Corona seolah hanya memunculkan dua opsi, yaitu pembatasan sosial berskala besar dan darurat sipil. Dengan hanya menyinggung kedua opsi ini presiden terkesan lari dari tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dasar warga negara.

Banyak pihak mengkhawatirkan bahaya darurat sipil sebab Perpu Nomor 23 Tahun 1959 yang mencantumkan frasa darurat sipil ini merupakan aturan lama yang sempat akan diubah setelah reformasi 1998. Isinya memungkinkan kekuasaan menafsirkan secara subyektif otoriterian dan kebebasan sipil dipastikan akan terganggu dalam skala nasional.

Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti menilai rencana penerapan darurat sipil untuk menghadapi penyebaran virus Corona sangat berlebihan. Status darurat sipil tidak diperlukan sama sekali dalam situasi saat ini.

Ketidakjelasan payung hukum atas kebijakan pembatasan sosial berskala besar ini merupakan bukti bahwa pemerintah mengenyampingkan prosedur yang diatur dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penangggulangan Bencana.

Keputusan Presiden tentang darurat bencana tersebut harus mengatur juga dampak sosial, ekonomi dan kesehatan masyarakat dari pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar.

Pemerintah harus menjamin kebutuhan pokok, kesehatan fisik, dan mental masyarakat. Dalam aturan itu, aspek kesehatan jiwa dianggap penting karena orang yang depresi, takut dan cemas dapat terdorong untuk berbuat rusuh bahkan memberontak.

Semua kebijakan seharusnya diputuskan secara benar serta berbasis fakta dan ilmu. Sudah saatnya pemerintah mempertimbangkan saran dan rekomendasi para pakar. Ahli wabah adalah ilmuwan epidemiologi atau ahli kesehatan masyarakat. Ahli di bidang penyakit adalah dokter. Merekalah yang mengetahui bagaimana tata laksana penanganannya.

Ahli epidemiologi mempunyai kompetensi untuk menentukan apakah suatu daerah tergolong rawan atau penduduknya berpotensi menularkan penyakit ke daerah lain. Pasal 18 ayat (2) Undang-undang Kekarantinaan Kesehatan mengatakan penentuan tempat kekarantinaan didasarkan pada hasil penyelidikan epidemiologi dan pemeriksaan laboratorium. Penetapan karantina wilayah hendaknya diambil bukan karena ego penguasa, desakan politikus dan atau kehendak pengusaha.[]

*Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban, Aceh

Comment