Aisyah Karim, S.H*: Conflict of Interest Di balik Kegentingan RUU Minerba dan Omnibus Law

Opini676 Views

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Eksploitasi sumber daya alam (SDA) terus menerus dilakukan, khususnya pada sektor batu bara. Di mana batu bara menjadi komoditas ekspor terbesar dan pengusahanya diberikan karpet merah oleh negara karena dianggap penyelamat devisa (cnbcindonesia.com 15/4/2020).

Ekonom senior pendiri Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Faisal Basri meminta agar paradigma melihat ini dirubah. Menurutnya potensi pendapatan batu bara relatif kecil dibandingkan dengan potensi yang bisa dilakukan dengan memajukan pembangunan di dalam negeri.

Saat ini ekspor batu bara sudah tidak populer lagi di tengah massifnya dunia mengurangi efek rumah kaca. Tidak ada lagi bank luar negeri yang mau biayai batu bara. Yang perlu dilakukan adalah mentransformasikan sumber batu bara untuk tabungan generasi yang akan datang.

“Jadi misal mengolah dengan teknologi tertentu agar batu bara bisa menciptakan efek menimum terhadap pencemaran,” ujar Faisal melalui akun You Tuber INDEF 15/4/2020.

Batu bara sebaiknya dikelola untuk pembangunan dalam negeri agar daya tahan energi  kita semakin kokoh sehingga ketergantungan impor energi semakin berkurang. Melalui pengelolaan oleh negara batu bara akan berdaya untuk kemakmuran rakyat. Negara tidak butuh lagi global bond atau penerbitan surat utang.

Demi memuluskan perizinan pemerintah terus memberikan karpet merah kepada pengusaha. Karpet merah yang diberikan bahkan sampai bertumpuk dua, yakni melalui Rancangan Undang-undang Omnibus Law dan RUU Minerba.

Kedaruratan percepatan RUU ini ditenggarai oleh nasib perusahaan tambang batu bara yang akan segera habis kontraknya. Hal ini menjadi maklum karena banyak petinggi negara yang memiliki konsesi batu bara atau dekat dengan pengusahanya.

Setidaknya ada 6 kontrak karya (KK) yang akan segera berakhir, ada yang tahun ini, 2020, 2022, 2023 dan 2025. Kegentingan ini mengingat perusahaan yang akan habis masa kontraknya mencakup 70 % dari total produksi nasional.

Padahal, cadangan batu bara Indonesia akan habis dalam kurun waktu 67 tahun, di mana cadangan batu bara Indonesia hanya 3,5 % dari total dunia. Cadangan yang terbatas ini jauh jika dibandingkan dengan AS yang cadangannya 365 tahun. Namun Indonesia jor-joran mengeruk dan mengekspor cadangan yang terbatas ini.

Inilah yang menyebabkan pemerintah dan DPR bersikeras membahas Omnibus Law di tengah pandemi Covid-19. Bahkan mulanya DPR sudah mau mengetok RUU Minerba pada 8 April 2020 lalu, namun urung terlaksana karena Kementerian ESDM meminta untuk ditunda.

Sementara mengejar perampungan Omnibus Law di tengah pandemi terlihat tidak etis. Jadi RUU Minerba adalah antisipasi jika Omnibus Law gagal jalan.

Inilah realitas penerapan Kapitalisme demokrasi. Adanya jeratan pragmatisme membuat para punggawa pengelola negara melakukan semua itu. Pragmatisme sendiri adalah sebuah sikap yang meletakkan segala sesuatu di atas asas kemanfaatan. Pelakunya akan menghalakan segala cara untuk meraih tujuannya dengan mengabaikan asas kebenaran, kebaikan maupun kepantasan.

Conflict of interest atau konflik kepentingan akan selalu bermain tak dapat dihindari. Segala jalan dicari dan diadakan demi memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dari berbagai kebijakan yang digariskan.

Demikian pula yang terjadi pada RUU Minerba dan Omnibus Law, jika kedua regulasi ini tidak rampung maka naas bagi nasib pengusaha batu bara, mereka harus mengembalikan konsesi ke negara. Artinya akan ditender kembali, kalau dia menang dapat namun masalahnya adalah belum tentu menang.

Hal ini sangat berbeda dengan fakta yang ditetapkan oleh negara Khilafah di zaman keemasan Islam dahulu. Sistem Khilafah Islamiyah mengatur agar tidak terjadi conflict of interest pejabat publik yang memegang amanah kepemimpinan. Bagi pejabat negara, dalam kapasitasnya sebagai hukkam (penguasa), mereka telah mendapatkan ta`widh (kompensasi dari negara). Status ta`widh ini sebagai tafarugh atau kompensasi melepaskan seluruh pekerjaannya untuk fokus mengurus negara. Karena itu secara langsung mereka tidak boleh berbisnis.

Karena waktu mereka telah diambil oleh negara untuk mengurus urusan negara. Mereka yang termasuk golongan ini adalah Khalifah, Mu`awin Tafwidh, Wali dan Amil.

Namun jika mereka adalah pejabat negara yang statusnya sebagai pegawai biasa, meski jabatannya tinggi, statusnya adalah sebagai pegawai negara. Karena statusnya sebagai pegawai negara, berarti mereka adalah ajir khas negara. Waktu dan jasa mereka telah diambil oleh negara dengan imbalan upah (ujrah).

Mereka ini seperti Mu`awin Tanfiz, dirjen, Kepala Biro atau pegawai biasa. Bagi ajir khas, waktu dan jasa yang telah ditetapkan sebagai hak negara tidak boleh mereka gunakan untuk yang lain, termasuk bisnis. Mereka dapat berbisnis di luar waktu yang ditetapkan negara sebagai hak negara.

Sebuah negara dengan konsep Khilafah benar-benar melakukan kontrol yang ketat terhadap pejabat dan pegawai negara. Masing-masing struktur yang lebih tinggi benar-benar memastikan, bahwa pejabat dan pegawai negara di bawahnya tidak melanggar amanah, termasuk memanfaatkan jabatan dan posisinya untuk kepentingan bisnisnya, keluarga dan mitranya.

Umar bin Khattab pernah menulis surat kepada Abu Musa al-Asy`ari, saat itu jabatannya sebagai Wali, “Kamu jangan sekali-kali melakukan jual-beli.” (`Abdurrazzaq, al-Mushannaf, Juz VIII/300).  Ketika Umar mengetahui Abu Hurairah yang dikirim ke Bahrain sebagai wali sibuk berbisnis, dengan tegas Umar mengingatkannya, karena dianggap sibuk mengurus urusan yang bukan menjadi alasan dia diangkat sebagai wali ditempat tersebut. Bahkan Umar mengatakan, “Bisnis amir (penguasa) itu merupakan kerugian.” (al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra).

Jika terbukti mereka memanfaatkan jabatan dan posisinya, maka harus dihentikan. Pelakunya pun harus ditindak dengan tegas. Mulai dari peringatan, diambil tindakan, hingga pemberhentian dari pos dimana pejabat dan pegawai tersebut ditempatkan. Jika dalam praktiknya mereka mengambil hak orang lain, maka hak tersebut harus dikembalikan.

Demikianlah negara dalam bentuk dan konsep Khilafah, – dengan sistem Islam yang diterapkan secara kaffah, mempunyai aturan dan mekanisme yang jelas dalam mengatur urusan bisnis pejabat dan pegawai negaranya. Tanpa mengurangi atau menghilangkan haknya sebagai warga negara. Inilah mekanisme yang terbukti mampu melahirkan pemerintahan yang besih dan berwibawa.[]

*Lingkar Study Perempuan Dan Peradaban, Aceh

Comment