Ainul Mizan,S.Pd: Omnibus Law, Potensi Jadi Tuan di Negeri Sendiri?

Ekonomi, Opini696 Views

RADARINDONESIANEWS. COM, JAKARTA – Pemerintah telah mengajukan draft Omnibus Law. Pembahasan omnibus law ini masuk agenda prolegnas 2020. Presiden Jokowi sendiri meminta agar pembahasan draft omnibus law ini bisa diselesaikan dalam waktu 3 bulan mendatang.

Draft omnibus law ini mencakup 2 RUU besar yang digarap. Kedua RUU tersebut adalah RUU Cipta lapangan kerja dan RUU perpajakan.

Wacana omnibus law merupakan komitmen presiden untuk menghilangkan regulasi yang panjang dan berbelit – belit. Ambil contoh di sektor properti. Seorang pengusaha yang akan membangun hotel. Masalah perijinannya saja bisa memakan waktu hampir 2 tahun. Padahal proses pembangunan hotel bisa rampung dalam waktu setahun.

Presiden sendiri sempat kesal atas stagnannya investasi asing. Harapannya dengan omnibus law bisa meningkatkan investasi.

Di satu sisi, iklim investasi yang kondusif dan meningkat akan memicu pertumbuhan ekonomi bangsa. Pertumbuhan ekonomi yang ditandai dengan tingginya produksi berdampak pada besarnya penyerapan akan kebutuhan tenaga kerja.

Pertanyaannya, apakah omnibus law ini akan menjadi harapan bagi bangsa untuk mengelola kekayaannya sendiri? Pendek kata, inikah saatnya jadi tuan di negeri sendiri?

Kalau melihat nilai investasi asing di Indonesia lebih besar dibanding investasi domestik. Pada Januari – September 2019, investasi asing yang terealisasi sebesar Rp 601,3 trilyun dari targetnya sebesar Rp 792 trilyun.Sedangkan investasi domestik yang terealisir sebesar Rp 283,5 trilyun dari target Rp 308,3 trilyun.

Pola berpikir yang selalu dikembangkan adalah kemajuan pembangunan nasional membutuhkan dana yang besar. Membuka kran investasi dalam rangka mendapat dana yang besar. Sektor SDA masih menjadi primadona lahan investasi.

Investasi asing yang paling besar di sektor listrik, gas dan air. Posisi kedua di sektor perumahan, kawasan industri dan perumahan. Selanjutnya disusul oleh sektor pertambangan, transportasi, telekomunikasi dan lainnya. Artinya, keberpihakan regulasi omnibus law kepada pengusaha masih sangat besar.

Hal demikian diperkuat dengan RUU ketenagakerjaan dalam Omnibus Law. Menurut Presiden KSPI, Said Iqbal, seperti dikutip laman teropongsenayan.com, (27/12/2019),RUU ketenagakerjaan berpotensi merugikan buruh. Di antaranya terletak pada adanya pengurangan nilai pesangon, pembebasan TKA kasar, jam kerja fleksibel dan upah bulanan yang diubah menjadi upah per jam. Oleh karena itu, KSPI menolak RUU ketenagakerjaan dalam draft omnibus law.

Memang spirit dari Omnibus Law tersebut merupakan menghilangkan hambatan regulasi bagi investasi.

Sedangkan investasi asing akan mempersyaratkan hal – hal yang harus disepakati. China termasuk investor terbesar di Indonesia. China tertarik berinvestasi dalam proyek pembangkit listrik dan pembangunan smelter yang padat karya.

Konsekwensinya, tenaga kerja dari China membanjiri Indonesia. Tentunya RUU ketenagakerjaan dengan poin pembebasan TKA buruh kasar sangatlah tidak memihak rakyat yang masih terbelit kemiskinan.

Yang paling berbahaya dari investasi asing berupa bahaya secara ideologis. Asing bisa mempengaruhi kebijakan – kebijakan politik, pemerintahan dan ekonomi Indonesia.

Bukti dalam hal ini, Menkopolhukam yang menegaskan bahwa pemerintah RI tidak mau ikut campur urusan dalam negeri China. Pemerintah RI menjadi lupa akan falsafah ideologinya sendiri yang ada di dalam pembukaan UUD 1945 alinea pertama bahwa penjajahan itu tidak berperikemanusiaan dan berkeadilan.

Sedangkan dari aspek investasi domestik, draf omnibus law yang dibahas tertutup dan hanya melibatkan pengusaha dan DPR akan mudah untuk disahkan. Hal ini dimungkinkan karena anggota DPR yang notabenenya 74 persen ini berasal dari partai pendukung pemerintah.

Jadi omnibus law memberikan ruang yang luas bagi pengusaha. Sebuah ruang untuk memperkuat praktek dan cengkeraman oligarki kekuasaan. Padahal semestinya sektor – sektor vital sebagaimana amanat UUD 1945 dipergunakan sebesar – besarnya bagi kemakmuran bangsa.

Mencermati fenomena demikian, tentunya kebutuhan akan regulasi yang membebaskan bangsa ini untuk berperan menjadi tuan di negerinya sendiri. Prasyarat pertama adalah agar bangsa ini bisa melepaskan diri dari belenggu falsafah liberalisme ekonomi.

Falsafah kehidupan ekonomi bangsa yang bersumber dari keyakinan mayoritas bangsa ini adalah sebuah keniscayaan. Sebuah falsafah ekonomi yang menjadikan sektor – sektor ekonomi yang vital untuk dikelola negara bagi rakyatnya.

Perusahaan ditempatkan sebagai tenaga ekspert dengan akad ijaroh / transaksi, bukan investasi. Dengan begitu, praktek oligarki dalam kekuasaan melalui regulasi perundang – undangan bisa dicegah. []

*Penulis tinggal di Malang

Comment