RADARINDONESIANEWS. COM, JAKARTA – Sangat miris. Beberapa bulan terakhir di tahun 2019 ini terdapat kejadian tak beradab oleh seorang ibu kepada anaknya.
Sebagaimana berita yang dilangsir oleh detiknews.com, di bulan nopember disebutkan ada seorang ibu di Tasikmalaya yang tega mengubur bayi perempuan yang baru dilahirkannya. Di bulan Oktober, ada seorang ibu yang tega membunuh balitanya (2,5 tahun) dengan cara menggelonggongnya dengan air galon. Juga di bulan September, ada seorang ibu di Kupang yang membunuh anaknya dengan senjata tajam. Menurut pengakuannya, ia melakukan hal tersebut karena dendam kepada suaminya yang kerap menganiaya dirinya.
Dari beberapa kejadian tersebut, sudah cukup membuktikan akan tercerabutnya naluri keibuan mereka. Naluri keibuan yang seharusnya mengantarkan seorang perempuan untuk mempunyai rasa kasih sayang dan kepekaan yang tinggi kepada anak – anaknya.
Fitrah penciptaan perempuan dari segi fisik dan psikis tentunya memang mendukung fungsi dan perannya sebagai seorang ibu. Dari segi fisik termasuk fisiologis, Alloh telah memberikan kemampuan untuk mengandung, melahirkan dan menyusui bagi seorang perempuan.
Dari segi psikis, Alloh telah memberikan kelebihan kepada wanita berupa rasa empati dan kasih sayang yang tinggi dibandingkan kaum lelaki. Perempuan akan peka saat bayinya merasa lapar, dan atau saat bayinya gelisah karena sakit. Hanya dari suara tangis bayi, seorang perempuan mampu memenuhi kebutuhan bayinya dengan baik.
Kedua potensi kemampuan perempuan tersebut tercakup di dalam pesan Nabi Muhammad saw, yang menyatakan agar kaum lelaki menikahi perempuan yang penyayang dan yang subur (berpotensi mempunyai banyak anak). Secara khusus, alasan mempunyai anak adalah menjadi ladang pahala bagi kedua orang tuanya saat berjuang membentuk anak yang sholih. Di samping Nabi sendiri juga senang dengan banyaknya jumlah umatnya.
Lalu timbul sebuah tanya, bagaimanakah untuk mencetak perempuan – perempuan yang siap menjalankan fungsi dan perannya sebagai ibu yang baik? atau dengan kata lain, bagaimana agar kita bisa mencetak sosok ibu yang ramah anak?
Mengingat manusia itu selain sebagai individu, juga sebagai makhluk sosial. Tentunya mencetak ibu ramah anak mesti dilakukan pada ranah individu, bermasyarakat dan bernegara.
Dalam ranah individu. Seorang perempuan harus menyiapkan dirinya dengan bekal – bekal pengetahuan dan keterampilan sebagai seorang perempuan, khususnya sebagai bekal pra menjadi perempuan dewasa.
Pengetahuan mengenai kewajibannya mengandung, melahirkan, menyusui, haidh, nifas dan parenting. Sedangkan dari aspek keterampilan seperti mencuci, menjahit, memasak, dan merawat bayi. Kedua aspek tersebut menjadi keharusan bagi seorang perempuan untuk mempelajarinya.
Landasan keimanan mesti menjadi asas bagi perempuan dalam hal ini. Artinya, niat ibadah ingin meraih ridho Alloh yang menjadi acuannya.
Dalam ranah bermasyarakat juga mendukung terwujudnya ibu ramah anak. Masyarakat di sini adalah lingkungan sekolah, organisasi kemasyarakatan, keluarga dan lingkungan masyarakat yang ia tinggal di dalamnya. Perlakuan masyarakat memperhatikan sifat feminim yang dimiliki oleh perempuan.
Masyarakat menjaga agar perempuan tidak keluar dari rumah tanpa seijin wali atau suaminya. Begitu juga kumpulan perempuan disendirikan dari kumpulan lelaki, mencegah dari terjadinya berdua – duaan antara lelaki dengan perempuan, permainan perempuan dibedakan dengan lelaki, perempuan tidak melakukan perjalanan sehari semalam kecuali bersama mahromnya dari bapak, saudara laki – laki kandungnya dan atau dengan pamannya, serta hal – hal lainnya.
Demikianlah bentuk peran kontrol dari masyarakat.
Adapun peran negara meliputi aktivitas edukasi dan regulasi. Edukasi dari pemerintah berupa program kurikulum pendidikan yang mampu mewujudkan masyarakatnya yang bertaqwa.Pada konteks perempuan menjadi ibu ramah anak.
Penyiapan perempuan sebagai ibu terintegrasi di dalam proses kurikulum pendidikan yang berkelanjutan. Tidak cukup edukasi diberikan di saat menjelang pernikahan.
Di samping itu, pemerintah membuat regulasi yang tegas terkait relasi antara lelaki dan perempuan di dalam kehidupan bermasyarakat maupun kehidupan berkeluarga. Pembagian peran dan tugas antara lelaki dan perempuan serta sangsi atas pelanggaran terhadapnya.
Pemerintah membuka kesempatan kerja yang seluas – luasnya bagi lelaki sebagai kepala keluarganya. Bagi kepala keluarga yang memiliki keterbatasan fisik, pemerintah melalui mekanisme non ekonomi memberikan bantuan agar kebutuhan pokok dan pelengkap masyarakatnya terurus dengan baik.
Selain itu, pemerintah membuka kran sosial untuk saling membantu dari yang kaya kepada yang miskin.
Pendek kata, sistem sosial dan kemasyarakat yang mesti dibentuk adalah tidak berorientasi kepada materi kebendaan, untung rugi. Artinya, Kapitalisme telah menjadikan manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya yang lemah.
Hal demikian menjadi gap antara yang kaya dan yang miskin.
Keluarga yang miskin rentan terpapar kekufuran. Sebagai bentuk kekufurannya adalah adanya fenomena KDRT dan perceraian.
Walhasil sistem sosial dan kemasyarakatan yang menjadikan aturan dari Yang Maha Adil yakni Islam sebagai guidence tentunya menjadi sebuah kebutuhan guna terwujud keberkahan. Sebuah keberkahan yang dirasakan secara umum dalam kehidupan bernegara. Juga keberkahan yang secara khusus terwujud dalam kehidupan individu dan dalam berkeluarga.
#Penulis tinggal di Malang
Comment