Ainul Mizan, S.Pd*: Rekonsiliasi China Dengan Islam, Mungkinkah?

Opini552 Views

RADARINDONESIANEWS. COM, JAKARTA – Ketua ICMI, Jimly ash Shiddiqie menyatakan bahwa jika China membutuhkan teman untuk menghadapi barat, maka China harus bertenggang rasa terhadap dunia Islam (www.republika.co.id, 27/12/2019). Lebih lanjut, menurutnya, kebijakan China terhadap muslim Uighur telah menyinggung dunia Islam. Walaupun pemerintah China terus beralasan bahwa perlakuan terhadap Uighur merupakan kebijakan dalam negerinya.

Menarik untuk dicermati gagasan dari Pak Jimly tersebut. Paling tidak ada dua (2) hal dalam hal ini.

Pertama, dari sisi pihak China sendiri. Sesungguhnya platform China itu sebagai one state two system. Artinya China itu sebuah negara dengan memakai 2 sistem ideologi. Di dalam negeri, platform ideologinya adalah komunisme. Di luar negerinya, platform ideologinya adalah Kapitalisme.

Kebijakan China di dalam negeri sangatlah diktator. Semua lini kehidupan warganya harus sesuai dengan asas Komunisme. Ada gejolak – gejolak penentangan akan segera ditindak bahkan secara represif. Contoh paling nyata adalah kasus Tiananmen.

Saat ini, China menerapkan kebijakan represifnya kepada muslim Uighur di China. Untuk membenarkan kebijakannya, China beralasan bahwa muslim Uighur berafiliasi dengan kelompok radikalis teroris al Qaeda. Tragedi WTC digunakan sebagai alibi.

China ingin sekali menguasai wilayah Xinjiang yang kaya dengan sumber gas. Dan batu ganjalannya adalah keberadaan Xinjiang yang menjadi wilayah otonomi di China. Ditambah lagi, muslim Uighur yang menurut China berpotensi menjadi penghalang bagi ambisinya.

Tentunya perlu diambil langkah untuk menaklukan muslim Uighur. Pendekatan yang digunakannya dengan menampung sekitar 1 juta muslim Uighur di kamp re-edukasi. Penanaman nilai – nilai komunisme menjadi tujuannya.

Sedangkan pendekatan yang lain adalah dengan melakukan upaya merevisi kitab suci agama – agama yang ada di China agar sejalan dengan ideologi Komunisnya.

Menurut laporan Daily Mail tertanggal 24 Desember 2019, edisi baru kitab suci agama tidak boleh bertentangan dengan kepercayaan Partai Komunis China. Oleh karenanya, menurut The Sun, China akan merevisi semua kitab suci, termasuk kitab suci Al- Qur’anul Karim.

China sadar betul bahwa Islam itu selain sebagai agama ritual juga notabenenya adalah sebuah ideologi. Karakter sebuah ideologi itu memiliki seperangkat aturan kehidupan dan visi kenegaraan yang akan dibentuknya.

Tentunya keberadaan Islam sebagai ideologi jelas bertentangan dengan Komunisme. Walhasil target revisi terhadap Kitab Al – Qur’an adalah dalam rangka menghilangkan sisi – sisi ideologis dari ajaran Islam.

China masih ingat betul atas sejarah gentarnya Kekaisaran China di abad 18 M atas laju ekspansi pasukan Islam di bawah pimpinan Qutaibah bin Muslim. Kaisar China harus rela merendahkan diri dan kekuasaannya untuk berdamai dengan Islam.

Bahkan ideolog komunisme sendiri yakni Lenin juga sangat takut dengan keKhilafahan umat Islam. Gerakan pan Islamisme yang menurutnya adalah gerakan umat Islam untuk menentang imperialisme. Lenin takut bila gerakan global tersebut bisa berpotensi mengakhiri kekejamannya atas daerah – daerah kekuasaannya. Jadi memang China tidak akan berhenti menggencet Islam yang memang berpotensi menjadi rival ideologinya.

Adapun penggunaan Kapitalisme untuk kebijakan China keluar guna memuluskan ambisinya sebagai raksasa ekonomi global khususnya di kawasan Laut China Selatan. Dengan demikian invasi Kapitalisme global bisa diredamnya.

Artinya tidak sampai menjadi tren di dalam negeri. Di samping itu, China ingin menyediakan tempat baru bagi eksodus penduduknya keluar negeri. Tentunya setelah China mampu menaklukan negeri yang jadi sasarannya.

Mega proyek OBOR memegang peranan penting di sini. China ingin memegang kendali di kawasan untuk memenangkan perang dagang dengan AS.

Maka paket OBOR yakni Turnkey Project Manajemen menjadi garansi kuatnya penjajahan China di negeri kawasan, termasuk di Indonesia. Investasi besar China dalam proyek dalam negeri Indonesia menghasilkan utang luar negeri yang membengkak dan serbuan TKA dari China.

Sementara itu, guna mengendalikan berbagai gejolak di Indonesia, tentunya China harus bisa merangkul ormas – ormas Islam yang dominan. Program beasiswa bagi santri Indonesia sejatinya merupakan strategi China untuk meraih dukungan dari kaum milenial khususnya kalangan santri. Mereka menjadi lunak terhadap China atas kebijakannya, khususnya terhadap muslim Uighur.

Kedua, dari sisi dunia Islam. Sesungguhnya dunia Islam memiliki 3 potensi besar yakni potensi jumlah penduduk yang besar, potensi kekayaan alam yang besar dan potensi ideologi.

Jumlah penduduk muslim dunia yang cukup besar sangat potensial menjadi kekuatan militer yang terkuat. Perkirakan saja misal 1 milyar, diambil 1 persennya sebagai militer. Tentu akan didapatkan jumlah militer dunia Islam sekitar 10 juta pasukan. AS sendiri pun akan kewalahan menghadapi militer Islam sedemikian. Ditambah lagi dengan potensi SDA yang besar. Jika dunia Islam mengembargo China, tentunya industri China akan lumpuh.

Oleh karena potensi Islam sebagai ideologi yang dimiliki dunia Islam itulah faktor kuncinya. Maka bisa dipahami jika China berambisi untuk melakukan program merevisi kitab suci agama, terkhusus kitab al – Qur’an.

Lantas terbersit satu pertanyaan, apakah model tenggang rasanya China terhadap dunia Islam itu berupa menghentikan kebijakannya yang represif terhadap Uighur tapi China tetap dengan ambisinya menjajah negeri – negeri Islam termasuk Indonesia dengan segenap proyek ambisinya? Justeru China ingin dunia Islam itu dipihaknya dalam menghadapi invasi Kapitalisme global. Akan tetapi agar dunia Islam mau memihak dirinya, China berusaha untuk menjajahnya baik dari segi ekonomi maupun ideologis.

Jadi rekonsiliasi yang mestinya diwujudkan antara China dengan dunia Islam adalah dengan menghentikan kekejamannya kepada muslim Uighur dan menghentikan semua bentuk penjajahan ekonomi, politik dan ideologinya terhadap dunia Islam. Dunia Islam harus bebas dari semua bentuk investasi China yang sejatinya adalah penjajahan.

Bentuk rekonsiliasi demikian hanya bisa diwujudkan tatkala dunia Islam memiliki kemandirian dan keberanian bersatu dalam konsepsi ideologi Islam yang sudah menjadi takdirnya di dunia. Dunia Islam diharapkan lahir sebagai pembebas dunia dari penjajahan Kapitalisme dan Komunisme yang rakus. Dunia Islam mempunyai potensi besar menjadi adidaya dunia dengan bentuk keKhilafahannya.

Ataukah China perlu merasakan semangat juang pasukan Islam untuk kedua kalinya, sebagaimana China harus merasakan kehinaan di hadapan pasukan keKhilafahan Islam di abad 18 Masehi?

*Pemerhati politik, tinggal di Malang

Comment