Ainul Mizan, S.Pd: Membunuh Ego

Sastra174 Views

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Pagi telah beranjak siang. Angin berhembus kering menerpa wajah – wajah kami yang tersimpan harapan setahun ke depan. Satu per satu nama kami dipanggil untuk satu tugas tertentu. Hendra amat berharap bahwa dirinya yang menduduki posisi top manajemen di sekolah ini. Akan tetapi kenyataan jauh panggang dari api.

Dirinya kembali harus menerima tetap di posisi kurikulum. Rasa – rasanya orang – orang di sekelilingnya menertawakan obsesinya. Ingin sekali rasanya meluruskan bahwa yang seharusnya menduduki posisi kepala sekolah adalah dirinya, bukan yang lain.

Sore itu seperti biasanya, ia bersantai di teras rumahnya. Bersih diri, baik yang dhohir maupun yang batin, sudah selesai dilakukannya. Dengan memakai sarung, Hendra menikmati suasana senja di desa tempat kelahirannya.

Puas melihat pohon manga di depan rumah yang lebat daunnya. Hendra ingin masuk ke kamar tidurnya. Mengecek HP yang dichass di kamar.
“Oh ada sms masuk”, kata Hendra.
Timbul rasa penasaran akan isi sms yang masuk ke HP nya.

Terpampang sebuah tulisan di sms tersebut yang berbunyi: “Anda siapkan diri untuk menjadi kepala sekolah. Kapan anda bisa segera ke sekolah? Ada banyak hal yang saya sampaikan kepada anda”.

Isi pesan singkat ini bukan isapan jempol. Langsung yang mengirimkannya adalah salah satu jajaran pengurus sekolah. Tentunya mengambil keputusan penting seperti ini jelas melalui pertimbangan – pertimbangan yang sudah matang.

Kaget campur amazing yamg dirasakan Hendra. Terbayang di benaknya besarnya pendapatan yang akan diterimanya. Eh… jangan keliru, di benaknya juga sudah mulai pusing. Udah kebayang beratnya tugas dan amanah yang mesti dijalankannya.
“Ah, aku kok jadi kepikiran begini ya?”, ia tertegun di depan cermin.

Hendra berusaha menghibur dirinya. Memang sih harus diakui, satu sisi senang. Tapi di sisi lain, ia jadi kepikiran seperti apa sih kepala sekolah itu.
“Hendra, ayo segera makan…”, ibu berteriak sudah woro – woro dari dapur.

Kalau sudah ibu memanggil, mau nggak mau, ya harus mau. Ah lamunan di pikirannya masih malas diajak beranjak ke dapur.

Segera saja ia menekan pikirannya. Yang penting dijalani bukan hanya dipikirkan.

“Kemana saja sih kamu? Kok lama banget…”, tegur ibu dengan sedikit manyun.

“Ya bu maaf. Tadi masih ngecass HP”, Hendra segera mengambil piring, nasi dan lauknya.

Ibu menghampiri Hendra yang duduk di bangku di depan pintu dapur.

“Kamu ada apa kok kayak ada beban yang mengganggu pikiranmu?”, tanya ibu.

“Ini bu, aku dipromosikan jadi kepala sekolah”, jawab Hendra dengan lirih.

“Alhamdulillah, memang kamu pantas mendapatkannya kok. Ibu ikut senang”, ibu terus menghiburku.

“Tapi bu, aku kok jadi kepikiran, bisa nggak ya?”, jawab Hendra beralasan.

“Begini, kamu membuat catatan tentang tugas – tugas sebagai kepala sekolah, terus kamu rumuskan langkah – langkah strategis untuk mewujudkannya”, ibu memberikan pengarahan layaknya seorang motivator handal.

Di dalam kelas, Hendra mengambil buku tipis yang terlihat agak usang dari dalam tasnya. Ia duduk di mejanya sambil membuka lembaran demi lembaran kertasnya.

Tiba – tiba berhenti pada lembaran kertas buku yang ke sekian hitungan. Ia terpaku memandangi tulisan sebanyak 3 paragraf yang berjudul “Strategi Seorang Kepala Sekolah”.

Hendra membacanya dengan pelan – pelan. Meresapinya dan memvisualisasikan dirinya sebagai kepala sekolah.

Sudah berjalan hampir setahun, ia mengecap kekecewaan dan harapan kosong. Sebuah posisi yang datang tanpa diminta, lepas dari genggamannya. Memang dalam perasaannya, ia merasa dipermainkan. Diberikan janji kosong. Tidak ada angin, tidak ada hujan, ia dipaksa menerima keadaan dan minum pil pahit.

Sudah berjalan hampir setahun ini. Ia menunggu konfirmasi dan klarifikasi. Tidak ada alasan yang diterimanya. Ia dipaksa mencari alasan sendiri. Ia dipaksa bahagia dengan alasan yang ditemukannya sendiri. Hendra berusaha sekuat tenaga untuk bersikap legowo. Akan tetapi yang masih belum bisa diterimanya adalah alasan yang ditemukannya sendiri. Alasannya, Hendra akan hidup dalam prasangka dan vonis bagi orang lain, termasuk juga bagi dirinya. Padahal ia merasa tidak layak baginya menyandang alasan demikian.

*Penulis tinggal di Malang

Comment