RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Usai sudah menag yang baru dilantik tanggal 23 Oktober 2019. Jenderal (purn) Fahrul Rozi menggantikan menag Lukman Hakim Saifuddin. Presiden Jokowi memberikan arahan mengenai tugas Menag baru untuk mengurusi radikalisme hingga industri halal. Menanggapi hal tersebut, Prof. Din Syamsuddin menyebut bahwa Kemenag sekarang sebagai Kementerian Anti Radikalisme (www.suara-islam.id, 24 Oktober 2019).
Tidaklah berlebihan bila sebutan anti radikalisme disematkan kepada Kemenag yang baru. Istilah radikalisme saat ini lebih bernuansa politik. Narasi radikalisme sangat susah dilepaskan dari hal – hal yang berbau Islam.
Bukti di antaranya adalah Fahrul Rozi mengklaim bahwa pelaksanaan Islam yang radikal dikarenakan tafsir agamanya yang salah (www.cnnindonesia.com, 24 Oktober 2019). Menurutnya bahwa Islam itu agama rohmatan lil alamin. Islam tidak mengajak mencari musuh, apalagi mengajak membunuh banyak manusia. Ke depan ia akan mencanangkan program deradikalisasi.
Begitu pula, adanya kekecewaan dari kalangan Banser terhadap Menag baru dengan mereka menarik diri dari ikut memerangi radikalisme (www.geloranews.com, 24 Oktober 2019). Mereka beralasan bahwa radikalisme itu biar diurusi negara. Mereka akan fokus pada penguatan internal. Memangnya selama ini bukannya terorisme termasuk radikalisme telah diurusi negara? Buktinya ada BNPT dengan program deradikalisasi dan pembentukan densus 88.
Ditambah lagi fakta empiris yang ada di lapangan yang semakin menguatkan bahwa narasi radikalisme disematkan kepada islam politik. Ajaran – ajaran Islam yang dibidik tidak keluar dari seputar Khilafah, jihad dan tauhid. Berbagai macam narasi deradikalisasi dilakukan di antaranya dengan memberikan cap negatif kepada simbol – simbol islam seperti cap negatif terhadap bendera tauhid.
Dengan tetap bersikukuh dengan narasi bendera milik oraganisasi terlarang. Pertanyaannya, apakah ketika PPP menggunakan ka’bah dalam lambang partainya lantas ka’bah menjadi milik PPP?
Termasuk persekusi terhadap ulama masih terus berlangsung. Cap intoleran dan lainnya menjadi senjata mematikan. Hal itu semuanya dilakukan untuk menjauhkan umat dari Islam Islam yang berdiri dengan jati dirinya sebagai ajaran yang sempurna dan layak untuk memberikan solusi terbaik bagi kehidupan manusia.
Dengan dipilihnya menteri agama dengan latar belakang militer ini, tentunya harapan besar terhadap upaya memerangi radikalisme bisa semakin masif. Bila dibandingkan dengan sebelumnya, menag dari kalangan sipil, terkesan lambat. Bisa dimaklumi hal demikian.
Hanya saja bila pendekatan yang dipakai didominasi gaya kemiliteran, justru akan mengakibatkan keterbelahan dan rasa curiga di kalangan umat. Tidak ada lagi kedewasaan berpikir dalam beragama. Negara melalui Kemenag akan melakukan pemaksaan pemahaman agama Islam sesuai dengan kacamatanya sendiri.
Kalau sudah demikian, Kemenag tidak lebih hanya sekedar alat bagi kekuasaan dengan kepentingan politiknya. Undang – undang dan ancamannya langsung memaksa orang untuk sekedar dituduh radikal. Justru demikian ini hanya menunjukkan radikalisme negara terhadap warganya.
Efek ikutan yang berkelindan adalah berkaitan dengan hubungan warga negara non muslim. Indonesia sebagai negeri yang mayoritas muslim, tentunya menjadi tidak wajar bila warga minoritas menjelma menjadi tirani bagi mayoritas. Apakah kehidupan keber-agamaan sedemikian ini yang ingin dibentuk? Kalaupun diklaim radikalisme atas nama agama sudah demikian darurat, lantas apakah umat Islam di negeri ini tidak mengijinkan umat lainnya hidup tenang dan damai?
Sesungguhnya adanya Kementerian Agama ini tidak lantas disebut sebagai kementerian bukan hanya untuk agama Islam, tapi untuk kelima agama di Indonesia. Tidak menjadi urgen untuk diperdebatkan. Yang pasti bahwa mayoritas penduduk negeri ini muslim, konsekwensinya urusan yang paling banyak ditangani oleh Kemenag adalah berkaitan dengan agama Islam. Maka tidak salah pula bila Menag diangkat dari kalangan muslim. Sedangkan ajaran Islam itu sendiri juga mengatur hubungan antara kaum muslim dengan non muslim.
Oleh karena itu fungsi Kemenag harusnya menjadi kehidupan beragama yang positif. Membangun budaya ilmiah dalam diskusi tema – tema keagamaan yang didasari spirit keimanan dan ketaqwaan.
Yang harus dipahami dengan baik adalah kondisi negeri masih banyak PR yang harus diselesaikan. Liberalisasi politik, ekonomi, pendidikan serta kebudayaan justru menjadikan keterpurukan. Adalah hal yang rasional bila berkembang berbagai pemikiran keagamaan yang berusaha untuk memberikan penawaran solusi bagi negeri ini. Asalkan berbagai pemikiran keagamaan tersebut tidak melanggar batasan – batasan yang sudah pakem dalam khasanah hukum Islam.
Dalam ranah praktis misalnya mengenai diskursus makna Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam. Yang menjadi pakem dalam hal ini bahwa makna kerahmatan islam bukan dalam pengertian Islam bisa menerima dan berdamai dengan nilai – nilai liberalisme maupun sekulerisme. Yang menjadi batasan tentunya adalah haram mencampuradukkan antara yang haq dan batil, dan antara Islam dengan kekufuran. Berangkat dari sini, boleh beranjak kepada diskusi ilmiah ajaran Islam dengan berasaskan kepada kacamata islam sendiri, bukan memahami islam dengan kacamatan dan sudut pandang keyakinan orang lain.
Dengan demikian, fungsi Kemenag bisa diletakkan secara proporsional, tidak terjebak di dalam pusaran kepentingan politik yang ingin menidurkan umat islam. Karena umat Islam yang bangun adalah yang memahami agamanya dengan baik akan bisa melepaskan dirinya dari belenggu penjajahan baik dari barat dan timur yakni AS dan China. Umat Islam mempunyai potensi besar untuk menjadi motor penggerak kesejahteraan umat manusia pada umumnya.[]
*Penulis tinggal di Malang
Comment