RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Tidak ada yang salah dengan kebijakan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan menarik rem darurat (emergency brake) memberlakukan kembali PSBB seperti pertama kali diterapkan. Kebijakan ini diambil lantaran jumlah kasus positif dan angka kematian semakin tinggi tidak sebanding dengan kapasitas sarana rumah sakit yang tersedia di Jakarta.
Meskipun memberlakukan PSBB bagaikan memakan buah simalakama. Disatu sisi dapat mengurangi resiko terpapar covid-19. Disisi lain juga dapat melumpuhkan pendapatan dan perekonomian masyarakat. Tetapi, pada prinsipnya mencegah itu lebih baik daripada mengobati.
Langkah antisipatif harus tetap diambil sebelum keadaan semakin tidak terkendali (uncontrol). Salus Populi Suprema Lex Esto, artinya keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi.
Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2020 dan Peraturan Menteri Kesahatan No.9 Tahun 2020 adalah dasar hukum pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSSB) sebagai upaya percepatan penanganan covid-19 di Indonesia. Namun, ada sesuatu yang luput dari perhatian kita dalam regulasi PSSB tersebut.
Pembatasan dan larangan kegiatan setiap masyarakat seperti kegiatan keagamaan, berkumpul ditempat umum, larangan mudik, bergerak, dan berdagang merupakan hak asasi manusia (HAM) setiap warga negara dan dijamin konstitusi UUD 1945.
Sungguh sangat keliru dan salah kaprah apabila pembatasan gerak setiap warga negara hanya diatur dengan rezim hukum PP No.21/2020 dan Permenkes No.9/2020.
Padahal, konsiderans huruf c UU No.6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan menyatakan upaya untuk mencegah terjadinya kedaruratan kesehatan masyarakat harus menghormati sepenuhnya martabat, hak asasi manusia, dasar-dasar kebebasan seseorang, dan penerapannya secara universal.
Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 secara jelas dan tegas menyatakan konstitusionalitas pembatasan setiap warga negara itu hanya dapat dilakukan dengan undang-undang, (dalam hal ini Perppu) dan/atau atas dasar putusan pengadilan sesuai dengan prinsip due proccess of law.
Meskipun demikian, ketiadaan peraturan perundang-undangan sekalipun tidak boleh menghentikan layanan pemerintah kepada masyarakat. Karena secara filosofi tidak semua masalah didalam masyarakat terakomodir oleh undang-undang. Banyak masalah yang timbul dalam masyarakat yang penyelesaiannya tidak terakomodir oleh undang-undang dan membuat pemerintah tidak dapat menyelesaikannya (waterleiding arrest).
Dalam hukum administrasi negara, para pejabat atau badan-badan administrasi negara diberikan suatu kemerdekaan tertentu untuk bertindak atas inisiatif sendiri menyelesaikan berbagai permasalahan pelik yang membutuhkan penanganan secara cepat, sementara terhadap permasalahan itu tidak ada atau masih belum dibentuk suatu dasar hukum penyelesaiannya, yakni kewenangan bebas atau diskresi (freies ermessen) yang melekat kepadanya.
Gouverneur c’est prevoir (menjalankan pemerintahan itu, berarti melihat kedepan dan merencanakan apa saja yang akan atau harus dilakukan).[]
*Divisi Litbang LBH Bhadrika
Comment