Penulis: Eno Fadli | Pemerhati Kebijakan Publik
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Rencana pembangunan Rempang Eco City berujung konflik. Bentrokan terjadi pada tanggal 7 September 2023 antara warga Rempang dan aparat gabungan TNI, Polri, Ditpam BP Batam dan Satpol PP selama pengukuran lahan.
Laman padang.com menulis bahwa konflik terjadi karena warga berusaha mempertahankan lahan mereka. Konflik semakin memuncak saat gas air mata ditembakkan. Warga panik karena gas air mata tersebut masuk ke dalam sekolah-sekolah yang lokasinya berdekatan dengan lokasi konflik. Hal ini menyebabkan beberapa siswa-siswi mengalami gangguan pernapasan dan pingsan karena efek gas air mata.
Konflik serupa juga terjadi di sejumlah daerah disebabkan praktek Domein Verklaring yakni negara mengambil alih kepemilikan lahan yang tidak memiliki bukti kepemilikan, sehingga negara berwenang mengelolanya termasuk menyerahkan lahan tersebut kepada pihak lain termasuk di dalamnya adalah para investor.
Konflik agraria terjadi di berbagai sektor mulai dari pertanian, pertambangan, perkebunan, kehutanan, agribisnis, pembangunan properti sampai pada pembangunan infrastruktur.
Konflik Rempang menambah jumlah konflik agraria di tanah air yang sebelumnya juga terjadi seperti konflik penambangan di desa Wadas untuk Bendungan Bener, konflik proyek pembangunan lumbung pangan atau Food Estate di Sumatera Utara, konflik pembangunan Bandara Kayong Utara di Kalimantan Barat, konflik pembangunan sirkuit Mandalika Nusa Tenggara Barat (NTB), konflik Waduk Sepaku Semoi yang menjadi penunjang infrastruktur IKN di Kalimantan, konflik pembangunan bandara dan kilang minyak di Air Bangis Sumatera Barat dan juga proyek-proyek pembangunan tol seperti tol Serang-Panimbang, tol Balikpapan dan Samarinda, pembangunan tol Trans Sumatera di Riau, Lampung, dan lain sebagainya.
Menurut data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) semenjak tahun 2015 – 2022 terdapat 2.710 konflik agraria yang terjadi dalam kurun waktu delapan tahun belakangan. Hal ini berdampak pada 5,8 juta hektar tanah dan korban terdampak mencapai 1,7 juta keluarga di seluruh tanah air.
Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika menuturkan, dari berbagai konflik yang terjadi terdapat 1.615 rakyat yang ditangkap dan dikriminalisasi karena mempertahankan hak tanahnya, 77 orang menjadi korban penembakan yang yang disebabkan mobusasi aparat di wilayah-wilayah konflik, bahkan 69 orang harus kehilangan nyawa sebagaimana ditulis CNN.com (24/09/2023).
Selain kehilangan lahan untuk tempat tinggal, mereka juga kehilangan sumber mata pencaharian. Karena setelah relokasi mereka tidak bisa bekerja. Mereka tidak bisa bertani dan menjadi nelayan. Mereka terpaksa menjadi tenaga kerja murah atau menjadi pekerja non-formal yang bermigrasi keluar dari daerah mereka.
Kapitalisme tidak peduli dan memberi perhatian terhadap kesulitan-kesulitan rakyat seperti ini. Kapitalisme liberal hanya melihat sisi profit ekonomi semata.
Kapitalisme telah memperdaya cara berpikir dan hati nurani manusia dan mengubahnya menjadi pemangsa bagi manusia lain. Kaum kapitalis, hanya mengedepankan profit oriented tanpa mempertimbangkan nilai nilai kemanusiaan. Kebijakan yang dikeluarkan hanya didasari oleh kepentingan materi semata.
Menurut data Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) seperti ditulis databoks.com, terdapat sekitar 94,8 persen lahan yang dikuasai oleh para pemilik modal dan investor di negeri ini dan sedikit sisanya untuk rakyat. Padahal seharusnya negara wajib menjamin hak rakyat untuk memiliki tempat tinggal, mencari penghasilan, kesejahteraan, memperoleh pendidikan, kesehatan serta hidup dengan aman dan damai.
Berbeda dengan sistem Islam yang memberikan perlindungan dan berkeadilan untuk seluruh umat manusia tanpa kecuali. Syariah melindungi harta kepemilikan masyarakat secara total, termasuk kepemilikan lahan.
Islam membolehkan negara membagikan tanah kepada rakyatnya secara cuma-cuma, namun tanah yang dibagikan merupakan tanah mati yaitu lahan yang tak bertuan dan tanah yang tidak bisa dikelola atau ditelantarkan oleh pemiliknya selama tiga tahun.
Jika terdapat penelantaran tanah selama tiga tahun akan menyebabkan gugurnya hak kepemilikan lahan tersebut. Negara berwenang mengambil lahan tersebut dan diberikan kepada pihak yang sanggup mengelolanya.
Hal ini berdasarkan ijma sahabat pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khaththab, Imam Abu Yusuf dalam kitab Al-Kharaj mencantumkan perkataan Khalifah Umar ra, “Tidak ada hak bagi pematok lahan setelah tiga tahun ditelantarkan (Abu Yusuf, Al-Kharaj,1/77, Maktabah Syamilah).
Jika terjadi pengambilan lahan tanpa alasan syar’i maka hal ini merupakan bentuk perbuatan ghasab dan zalim, karena Allah mengharamkan memakan harta sesama manusia dengan cara yang batil. Ini termasuk merampas hak milik orang lain. Syariah akan menindak perilaku kezaliman yang dilakukan individu maupun penguasa.
Dicontohkan pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khaththab ra saat menegur Gubernur Mesir Amr bin Ash yang menggusur rumah seorang Yahudi untuk pembangunan masjid. Khalifah Umar ra memberikan sebuah tulang yang telah digaris dengan pedangnya kepada Yahudi tersebut untuk diberikan kepada Amr bin Ash.
Ketika Amr bin Ash menerima tulang tersebut dirinya langsung gemetar. Beliau paham apa yang dimaksud dengan garis lurus pada tulang tersebut. Garis pada tulang yang dibuat oleh khalifah itu bermakna bahwa khalifah memerintahkan agar Amr bin Ash tidak berlaku zalim karena berkuasa (abuse of power) dan jika berlaku zalim Khalifah Umar sendiri yang akan bertindak dengan pedangnya.
Demikianlah Islam mengatur dan memberikan perlindungan menyeluruh terhadap lahan, sehingga konflik agraria dapat teratasi dan rakyat pun mendapatkan hak-hak yang harus diterimanya. Negara lebih memperhatikan kepentingan rakyat bukan kepentingan para investor. Wallahu a’lam bishshawab.[]
Comment