RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Pelepasan narapidana, solusi semu untuk masalah yang dihadapi pro kontra terus berseteru, bagaimana tidak berdalih karena wabah corona sejumlah napi dibebaskan, berbeda dengan negara tetangga, yang memfasilitasi tenaga medis dengan melibatkan para napi membuat masker.
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) telah mengeluarkan dan membebaskan 30.432 Narapidana dan Anak melalui program asimilasi dan integrasi berkenaan dengan virus corona.
“Hingga saat ini yang keluar dan bebas 30.432. Melalui asimilasi 22.412 dan integrasi 8.020 Narapidana dan Anak,” ujar Kepala Bagian Humas dan Protokol Ditjen PAS, Rika Aprianti, kepada CNNIndonesia.com, Sabtu (4/4).
(https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200404203706-12-490361/kemenkumham-telah-bebaskan-30432-napi-demi-cegah-corona)
Selain berdasar masa tahanan, pertimbangan dilakukan melihat faktor usia dan kondisi kesehatan masing-masing narapidana “Napi korupsi usia 60 tahun ke atas yang telah menjalani 2/3 masa pidana sebanyak 300 orang. Napi tipidsus dengan sakit kronis yang dinyatakan RS pemerintah yang telah menjalani 2/3 masa pidana 1.457 orang dan napi asing ada 53 orang,” ujar Yasonna.
(https://www.kanalkalimantan.com/menkumham-pertimbangkan-pembebasan-300-napi-korupsi-karena-covid-19/
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenurrohman atau akrab disapa Zen menilai wacana yang dilontarkan Yasonna tidak tepat, menurutnya narapidana tindak kejahatan yang sangat serius seperti bandar narkotika, terorisme, dan korupsi narapidana yang terseret kasus itu tidak diberi prioritas untuk dibebaskan. Kecuali jika mereka memiliki kondisi kesehatan yang sangat buruk.
Korupsi bersama dengan kejahatan terorisme dan narkotika adalah kejahatan yang sangat serius. Sehingga tidak tepat jika mereka dikeluarkan dalam situasi COVID-19 ini, ucap Zen
“Sehingga atas dasar alasan kemanusiaan, mereka bisa diprioritaskan untuk dikeluarkan. Jadi bukan berdasarkan umur, kriteria lain, tapi kriteria kesehatan yang buruk yang itu bisa dibuktikan dengan tim dokter.
(https://www.merdeka.com/peristiwa/pukat-ugm-tak-setuju-tahanan-korupsi-dibebaskan-dengan-alasan-cegah-corona.html)
Berdalih karna covid napi dibebaskan, sejatinya – pencegahan penyebaran corona itu bukan dengan membebaskan napi, justru dengan tetap berada di lapas napi secara otomatis sudah dilockdown, mereka aman di dalam isolasi hanya perlu pencegahan kontak dari luar, bisa dengan upaya meniadakan kunjungan tamu dari luar.
pembebasan narapidana justru berpotensi menularkan virus karena mereka akan menjalin kontak dengan orang lain. Hal itu kian memicu persoalan di tengah upaya memerangi virus corona.
Saat para napi dibebaskan, pikiran mulai terhantui stigma kriminal ada di mana mana, belum usai virus tak terlihat ditambah pula kriminalitas yang tak tau di mana saja.
Lagi dan lagi, solusi tidak proporsional bahkan bisa jadi menambah persoalan baru yang terkait dengal kriminal.
Mengapa dengan mudah melepaskan tikus berdasi.
Geram rasanya saat panik belum usai kini ditambah rasa waswas menyangkut keamanan lingkungan yang bertambah krisis.
Saat ini telah terjadi krisis keamanan, banyak beredar fakta mengejutkan, narapidana yang baru bebas tertangkap kembali dengan kasus baru.
Saat krisis ekonomi terjadi napi yang terbebas dari sel tahanan belum punya mata pencaharian, sehingga tak menutup kemungkinan semua hal bisa dilakukan.
Tanpa memandang lagi dosa, salah dan buruk.
Sehingga pelepasan narapidana akan menambah kepanikan dan rasa waswas masyarakat.
Rasa aman makmur sentosa makin jauh dari masyarakat. Belum reda pandemi covid-19 kini ancaman kriminal menghantui masyarakat.
Kejahatan ada di mana mana, virus terlihat maupun tak terlihat sama saja.
Lantas, Bagaimana Islam memandang hal tersebut?
Solusi dalam Islam,
Hukuman dibuat berdasarkan kesalahan yang diperbuat, sehingga menambah efek jera para pelakunya, seperti pelaku zina yang dicambuk .
Selain membuat jera, hukuman yang diberikan dapat menyadarkan pelakunya dan bertaubat.
Pemberian hukuman yang tegas tanpa kompromi dapat memberikan rasa aman kepada masyarakat, terkesan prioritas sangat nyata untuk kita.
Seperti halnya pada masa keemasan Islam dahulu, Kisah heroik Al-Mu’tashim dicatat dengan tinta emas dalam kitab al-Kamil fi al-Tarikh karya Ibn Al-Athir. Peristiwa bersejarah tersebut terjadi pada tahun 223 Hijriyyah, yang disebut dengan Penaklukan kota Ammuriah.
Al-Mu’tasim Billah menyahut seruan seorang budak muslimah yang meminta pertolongan karena diganggu dan dilecehkan oleh orang Romawi. Kainnya dikaitkan ke paku sehingga ketika berdiri, terlihatlah sebagian auratnya.
Wanita itu lalu berteriak memanggil nama Khalifah Al-Mu’tashim Billah dengan lafadz yang legendaris yang terus terngiang dalam telinga seorang muslim: “waa Mu’tashimaah!” (di mana engkau wahai Mutashim… Tolonglah aku!)
Setelah mendapat laporan mengenai pelecehan ini, maka sang Khalifah pun menurunkan puluhan ribu pasukan untuk menyerbu kota Ammuriah (Turki).
Seseorang meriwayatkan bahwa panjangnya barisan tentara ini tidak putus dari gerbang istana khalifah di kota Baghdad hingga kota Ammuriah (Turki), begitu besarnya pasukan yang dikerahkan oleh khalifah.
Setelah menduduki kota tersebut, khalifah memanggil sang pelapor untuk ditunjukkan dimana rumah wanita tersebut, saat berjumpa dengannya ia mengucapkan “Wahai saudariku, apakah aku telah memenuhi seruanmu atasku?”
Sang budak wanita inipun dimerdekakan oleh khalifah serta orang romawi yang melecehkannya dijadikan budak bagi wanita tersebut.
Di manakan al-Mu’tasim di zaman ini sungguh rindu sangat rindu kepada kejayaan Islam, di mana semua aspek sangat diperhatikan oleh pemimpinnya, hukuman keadilan kesejahteraan rasa aman masyarakat menjadi prioritas utama. Wallahu a’lam.[]
*Anggota Revowtiter
Comment