RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Wabah pandemi covid-19 kian mengganas. Tak hanya dari kalangan masyarakat umum, tetapi dari kalangan birokrat bahkan garda terdepan tim kesehatan telah berguguran satu persatu.
Lonjakan jumlah pasien terus meningkat dan belum menunjukkan indikasi akan mereda dalam waktu dekat. Worldmeters per 23 September 2020 mencatat, setidaknya sudah ada 31.783.676 orang di seluruh dunia yang terinfeksi covid-19.
Dalam kondisi yang sangat mengkhawatirkan ini, pemerintah tetap bersikukuh untuk menjalankan Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah). Padahal, 48 negara lain di dunia masih menunda pilkada karena Covid-19. Segala kegiatan yang melibatkan masyarakat seharusnya dipikirkan secara matang, sebab terabaikannya protokol kesehatan akan berdampak lansung pada keselamatan rakyat.
Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemasyarakatan LIPI, Tri Nuke Puji Astuti mengungkapkan, keputusan tentang jadwal pilkada memerlukan pertimbangan keselamatan masyarakat yang harus diutamakan (Lipi.go.id, 10/6/2020).
Meskipun banyak pihak meminta penundaan pilkada, Presiden Joko Widodo menegaskan tidak akan menunda penyelenggaraan pilkada 2020 secara serentak di 270 daerah, pada tanggal 9 Desember (KompasTV, 22/9/2020).
Fokus Keselamatan Rakyat
Keselamatan masyarakat menjadi hal yang terpenting di saat seluruh bangsa di dunia diuji dengan wabah. Apalagi, pandemi berkepanjangan ini telah memukul berbagai sektor perekonomian masyarakat hingga luluh lantah. Pemerintah sebagai pelayan dan pengurus rakyat harusnya menunjukkan keseriusan untuk menempuh berbagai upaya penanganan.
Pelaksananaan Pilkada secara maraton di tingkat daerah sangat memungkinkan terjadinya mobilisasi massa besar-besaran selama masa kampanye.
Direktur Eksekutif Indo Barometer, Muhammad Qodary meminta pemerintah dan DPR merespon serius pilkada sebagai klaster covid-19. Qodary juga menyatakan pilkada 9 Desember bisa menjadi superbig spreader alias bom atom kasus covid-19.
Dari simulasi yang dilakukan, pilkada berpotensi melahirkan kerumunan di 305.000 titik. Itu berdasarkan estimasi jumlah tempat pemungutan suara (TPS) dalam pilkada serentak.
“Jika tidak dilakukan perubahan kebijakan, pada Natal 2020 yang akan datang Indonesia dalam duka karena jumlah pasien akan meledak dan kapasitas rumah sakitnya pasti tidak cukup.” Kata Qodary dalam diskusi bertajuk ‘Evaluasi 6 Bulan dan Proyeksi 1 Tahun Penanganan Covid-19 di Indonesia’ (Detiknews, 12/9/2020).
Menakar Efektifitas Pilkada
Pilkada menjadi instrumen penting pemilihan kepala daerah dalam sistem demokrasi. Hajatan 5 tahunan itu menjadi perkara yang wajib dijalankan dan tidak bisa ditunda.
Padahal di era pandemi ini banyak hal yang harus menjadi pertimbangan, antara lain:
Pertama, penanganan membutuhkan fokus perhatian maksimal. Sebab, meskipun telah dilakukan pengetatan Penerapan Pembatasan Sosial Berskala besar (PSBB) jilid II, namun belum efektif menurunkan wabah yang melonjak. Jika pilkada tetap dilansungkan maka bangsa ini harus siap menanggung dampak luar biasa penyebaran baru covid-19.
Kedua, pilkada pandemi adalah pilkada abnormal. Tentunya pemerintah harus mengucurkan anggaran besar-besaran agar mekanisme pikada tetap bisa dijalankan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan alokasi dana untuk pilkada naik Rp 5,23 trilyun. Dalam kondisi wabah ini, seharusnya anggaran yang besar difungsikan semaksimal mungkin untuk penanggulangan wabah termasuk penjaminan kebutuhan seluruh masyarakat yang terdampak.
Ini menunjukkan bahwa sebenarnya sistem demokrasi dengan prinsip kedauatan di tangan rakyat, hanya sebatas isapan jempol. Faktanya, dalam persoalan Pilkada ini keselamatan rakyat seolah bukan sesuatu yang urgen.
Ketiga, kesadaran umum dalam menjalankan protokol kesehatan di tengah masyarakat sangat rendah. Selama ini upaya penyadaran masih terkesan formalitas. Ijin berkumpul dalam keramaian tidak dipertegas, padahal sangat berpotensi memungkinkan penularan wabah besar-besaran. Demikian halnya dalam penyelenggaraan pilkada.
Keempat, pilkada bukan menjadi kebutuhan mendesak bagi rakyat, sebab faktanya pilkada hanya sekadar menjadi jalan terjadinya pergantian pemimpin dalam sistem demokrasi. Meskipun pergantian pemimpin telah berkali-kali terjadi, namun nasib rakyat tetap sama. Rakyat belum merasakan pelayanan standar yang layak.
Harga kebutuhan pokok tetap tak terjangkau, iuran kesehatan yang membebani dan layanan pendidikan yang belum merata. Kesejahteraan masih menjadi ilusi tak berujung. Alih-alih memikirkan umat, pesta demokrasi ini hanya jalan bagi segelintir elit penguasa dan korporasi mengeruk sumber daya.
Mekanisme Terbaik
Pemilihan Pemimpin
Dalam pandangan Islam, kepemimpinan adalah sebuah jabatan amanah. Seorang pemimpin mengemban kewajiban dalam perkara pengurusan urusan rakyat yang lansung dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Jabatan kepemimpinan di dalam Islam tidak dibatasai dengan patokan waktu tertentu.
Selama Khalifah masih tetap menjaga syariah, menerapkan hukum-hukumnya, serta mampu untuk melaksanakan berbagai urusan negara dan tanggung jawab kekhalifaan, maka ia tetap sah menjadi khalifah.
Proses pemilihan pemimpin berlansung dengan mekanisme sederhana melalui baiat terhadap pemimpin terpilih yang memenuhi syarat Iniqad (syarat utama) oleh Ahl asy-Syura dan dilanjutkan dengan baiat taat oleh seluruh kaum muslim.
Begitu pentingnya kepemimpinan di dalam Islam maka batas waktu kekosongan pemimpin sesuai ijma’ sahabat hanya dalam waktu maksimal 3 hari 3 malam. Singkatnya waktu tidak memungkinkan terjadinya aktivitas kampanye yang panjang dan penggelontoran dana besar-besaran.
Pemimpin yang terpilih menjalankan tanggung jawab pemerintahan dengan sebaik-baiknya. Tipikal yang menonjol dari setiap pemimpin Islam adalah ketakutan yang amat besar dalam mengemban tugas sebagai pemelihara urusan umat. Keselamatan jiwa setiap individu akan dijamin di dalam Islam. Khalifah Umar bin Khattab bahkan pernah berkata bahwa jika ada kondisi jalan di daerah Irak yang rusak karena penanganan pembangunan yang tidak tepat kemudian ada seekor keledai yang terperosok, maka Umar bertanggung jawab karenanya.
Pada waktu tahun paceklik dan negeri Arab dilanda kekeringan, Khalifah Umar bin Khattab dengan sigap terjun melakukan penanganan secara lansung. Khalifah juga meminta bantuan para gubernur di wilayah yang masih stabil agar menyegerakan bantuan ke Madinah. Umar bin Khattab menulis surat kepada Amr bin Al-Ash.
“Demi kehidupanku, bagaimana pendapatmu jika engkau dan wargamu gemuk (karena kecukupan makanan), sementara aku dan orang-orang di sisiku kelaparan. Karena itu, tolonglah!”
Lalu Amr menulis balasan kepada Umar, “Keselamatan semoga tercurah kepada Anda. Amma ba’du, aku datang memenuhi panggilan Anda serta siap menerima dan menjalankan perintah Anda. Aku mendatangkan kepada Anda unta-unta yang “kepala’-nya ada di hadapan Anda dan ‘ekor’-nya masih berada di hadapanku, sementara aku masih berharap dapat menemukan jalan untuk mengangkutnya melalui laut.”
Demikian kepedulian seorang pemimpin pada masa kejayaan Islam, mereka tak memberi banyak janji kampanye tetapi ketika menjabat, maka segala aktivitasnya ditujukan sebesar-besarnya untuk memberikan pelayanan terbaik, sebagai bentuk pertanggung jawaban mengemban amanah sebagai pemimpin.[]
*Praktisi pendidikan
Comment