Adira, S.Si*: Self Declare Omnibus Law, Amankah Prosedur Label Halal?

Opini637 Views

 

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Mekanisme self declare bagi UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah) sudah mendapat kesepakatan dari badan Legislasi DPR. Tepatnya dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja.

Sebagai sebuah kebijakan yang memberikan kewenangan kepada UMKM untuk melakukan deklarasi diri dalam pemberian sertifikasi halal, tentu menjadi kebijakan yang meresahkan umat Islam di Indonesia.

Jaminan kepastian kehalalan suatu produk adalah kewajiban negara terhadap rakyat. Bagi umat Islam sendiri kehalalan suatu produk sangat terkait dengan keterikatan dan ketaatan terhadap hukum syariat, konsekuensinya adalah pahala dan dosa. Sangat disayangkan jika di negeri berpenduduk Muslim terbesar ini, kebutuhan dasar tentang halal dan haram diabaikan oleh negara.

Auditor LPPOM MUI periode 1994-2014, Elvina A Rahayu menyatakan bahwa penetapan kehalalan suatu produk yang sedianya dilakukan berdasarkan fatwa MUI diubah menjadi fatwa MUI dan ormas Islam lainnya yang berbadan hukum.

Perubahan ini terjadi pada pasal 1, 10, 32 dan 33. Intinya, fatwa halal tidak lagi menjadi otoritas MUI. Kondisi ini memiliki potensi perpecahan yang akan berakhir pada “chaosnya”-nya aturan halal (Republika.id, 22/10/2020).

Di laman yang sama, mantan auditor LPPOM MUI ini juga menyoroti poin terkait penyelia (pengawas) yang terdapat pada pasal 28 ayat 2, yaitu beragama Islam dihapus dalam Omnibus Law. Memberikan wewenang menjaga kehalalan kepada penyelia halal yang bukan muslim merupakan langkah mundur.

Kepentingan Rakyat atau Korporasi?

Penyederhanaan mekanisme menjadi alasan utama penghilangan otoritas MUI. Berorientasi pada kemudahan investasi Jaminan Produk Halal (JPH) yang lebih mudah, murah, cepat dan melibatkan dukungan masyarakat luas sangat indah terdengar, namun jika ditelisik secara mendalam ini menjadi sangat riskan sebab proses percepatan semata mengarah pada penguatan industri halal Indonesia yang kental dengan kepentingan ekonomi tetapi tidak memprioritaskan kehalalan yang terstandarisasi oleh MUI.

Modifikasi kebebasan self declare, meskipun mengatas namakan pengusaha mikro dan kecil tetapi yang paling mendapatkan keuntungan adalah angel investor yang bersedia menghibahkan dananya pada UMKM.

Angel investor bisa dari individu pemilik kapital besar atau dari korporasi yang memberikan modal dengan kepemilikan saham sebagai ekuitas perusahaan.

Para investor hanya mengawal UMKM yang stabil dengan tujuan mendapatkan keuntungan berlipat ganda. Di sini berlaku pepatah ada gula ada semut.

Fakta ini menggambarkan bahwa arah kebijakan kapitalistik bisa mengorbankan standar halal dengan dalih maslahat untuk menggenjot perekonomian.

Kesesuain Syariat di atas Kemaslahatan Publik.

Ketergesahan dalam penetapan hukum halal terhadap suatu produk dengan alasan kemudahan untuk pelaku usaha bukanlah langkah bijak jika hal itu memungkinkan terjadinya hal-hal yang bisa menghilangkan langkah-langkah prosedural yang aman dalam memberikan jaminan halal.

Dalam hal ini pula, penentuan maslahat tidak bisa diserahkan pada pendapat akal tetapi dikembalikan kepada hukum syara sebagai penuntun manusia dalam beramal. Sangat bebahaya ketika suatu perkara dianggap memberi maslahat sementara itu bertentangan dengan al Quran dan As-sunnah.

Firman Allah SWT:

“Dan sesungguhnya Al Quran itu benar-benar menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Mu’minun: 71)

“Andai kebenaran itu menurut hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu.” (QS. Al-Mu’minun: 71)

Pendapat Fuqaha Al Khawarizmi sebagaimana dikutip oleh al-Syaukani dalam kitab Irsyad al-fuhul, h.242:

“Maslahat adalah memelihara tujuan hukum Islam dengan menolak/menghindarkan bencana (kerusakan, hal-hal yang merugikan dari mahluk/manusia).

Maslahat di dalam islam dianggap terwujud jika terpelihara tujuan mulia hukum islam yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.

Rasullah SAW bersabda; “Wahai Ka’ab bin Ujrah, sesungguhnya tidak akan masuk surga daging yang tumbuh dari makanan haram (HR. Ibnu Hibban dalam shahihnya).

Berdasarkan perintah nash syara maka pengaturan urusan rakyat dalam Islam akan menjadi perhatian utama.

Sistem pemerintahan Islam memberikan jaminan halal kepada rakyat dengan menugaskan kepada lembaga yang kompeten dan terpercaya dalam melakukan pengawasan produksi.

Semua proses penerbitan legalitas kehalalan akan dianggarkan oleh negara sebagai wujud pemenuhan hak dasar rakyat.

Dalam Islam tidak akan ditemukan proses panjang berbelit dalam pengurusan standar kehalalan. Bahkan, dalam Islam akan diangkat seorang qadhi hisbah yang memeriksa perkara-perkara yang menyangkut hak-hak masyarakat secara umum.

Seorang qadhi hisbah bisa lansung memutuskan perkara tanpa ruang sidang jika ditemukan pelanggaran terhadap hak-hak umum. Ini adalah salah satu bentuk perlindungan hak konsumen di dalam Islam.[]

*Praktisi pendidikan

Comment