RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Layaknya penyakit kronis, korupsi terus menggerogoti tubuh ibu pertiwi sampai usianya kini mencapai 75 tahun setelah kemerdekaan. Korupsi berskala kecil hingga mega korupsi seperti kasus Suharto, proyek Hambalang, kasus BLBI, dan kasus E-KTP yang sangat fenomenal menjadi noktah hitam catatan sejarah finansial kita.
Korupsi juga terjadi dalam tubuh kejaksaan. Kejagung mengungkapkan, Jaksa Pinangki Sirna Malasari bertemu Djoko Tjandra di Malaysia saat masih buron, terpidana kasus hak tagih (cessie) Bank Bali.
Menurut Kejagung, Pinangki diduga menerima uang suap sebesar 500.000 dollar Amerika Serikat atau jika dirupiahkan sebesar Rp 7,4 miliar.
Good governance atau clean governance masih sebatas isapan jempol. Jika pun Indeks Persepsi Korupsi Indonesia (IPK) di tahun 2019 mengalami peningkatan dua poin dari sebelumnya, namun tetap saja skor 40 adalah capaian yang masih rendah. Sebab, skor ideal adalah 100 untuk predikat sangat bersih dari korupsi (Kompas.com, 23/1/2020).
Korupsi yang mengakar semakin sulit ditekan penjalarannya. Penerapan sanksi pun seolah tidak menghasilkan efek jera dan terkesan belum sepenuh hati oleh para penegak hukum. Terlebih lagi, jika koruptor berkongkalikong dengan para korporasi besar yang bercokol di negeri ini.
Djoko Tjandra dapat leluasa bolak-balik Indonesia tanpa terlacak selama 11 tahun, hingga akhirnya ditangkap pada Kamis, 30 Juli 2020. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan HAM, Mahfud MD mengatakan kepolisian dan kejakasaan harus terus mengusut keterlibatan aparat.
Mahfud juga mengatakan bahwa kasus ini merupakan tamparan keras bagi penegak hukum Indonesia. “Djoko Tjandra seolah-olah memiliki kekuasaan dengan memanfaatkan uangnya untuk membeli loyalitas oknum pejabat.” Ujar Mahfud (Tempo.co, 11/8/2020).
Korupsi Membudaya
Komitmen pemberantasan korupsi terus digaungkan, dari tahun 1970 Presiden Suharto menyatakan akan memimpin lansung pemberantasan korupsi pada pidato perayaan hari kemerdekaan. Namun tidak membuahkan hasil, sebaliknya Mantan Wakil Presiden RI pertama Drs. Moh. Hatta menyatakan bahwa cita-cita bangsa dikhianati dalam masa yang sangat muda oleh rezim baru Suharto yang korup. Saat itu Hatta bahkan menyatakan juga bahwa korupsi sudah membudaya di Indonesia (Kompas.com, 7/9/2019).
Di rezim selanjutnya, lahir berbagai ketetapan dan peraturan perundang-undangan. Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Nomor 31 tahun 1999 dengan salah satu isi pasal ancaman pidana mati bagi pelaku. Hanya, faktanya tidak pernah teralisasi sampai hari ini. Akibatnya, korupsi masih menjadi masalah yang mengancam kehidupan berbangsa. Undang-undang Tipikor kemudian diperbaharui lagi dengan undang-undang No. 20 tahun 2001.
“Saat biaya poilitik semakin mahal, elite juga semakin jelek karena sistem yang dibangun mendorong ke arah korupsi. Malaikat sekalipun akan berubah menjadi iblis bila berani masuk ke dalam sistemnya Indonesia saat ini.” Begitu pernyataan mantan ketua mahkamah Konstitusi Mahfud MD.
Disadari atau tidak memang sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini menjadi lahan basah, untuk tumbuhnya korupsi. Politik traksaksional yang sangat kental dalam penyelenggaraan pemilihan umum, membuka jalan lebar bagi sebagian pejabat bermental korup mengisi pundi-pundi rupiah dari aset negara sebab mereka telah mengeluarkan mahar yang besar untuk sebuah jabatan.
Menuntaskan Korupsi
Sistem kapitalis sekuler melahirkan paham kebebasan. Hawa nafsu manusia menjadi pengendali dalam berbuat, sebab tidak ada kebenaran mutlak yang menjadi pegangan. Peran agama yang harusnya menjadi kontrol, dibatasi sekedar mengatur urusan privat tetapi tidak mengatur urusan bernegara. Berharap korupsi teratasi dengan penerapan undang-undang produk kapitalisme seperti menggantang asap mengukir langit, belum membuahkan hasil.
Tindak pidana korupsi harus diselesaikan secara sistemik dan komprehensif. Rujukan terbaik clean government sepanjang sejarah peradaban pernah ada di masa-masa keemasan Islam. Yaitu, masa penerapan aturan kehidupan berlandaskan Islam.
Di dalam sistem islam, tidak ada ruang untuk terjadinya korupsi, sebab kontrol negara dalam pengawasan pejabat sangat ketat. Harta pejabat sebelum dan sesudah menjabat sudah diinventarisir.
Imam Bukhari dan Muslim menuturkan sebuah riwayat dari Abu Humaid Al-Sa’idi bahwasanya ia berkata:
“Rasulullah shallallâhu ’alayhi wa sallam mengangkat seorang laki-laki menjadi amil untuk menarik zakat dari Bani Sulaim. Laki-laki itu dipanggil dengan nama Ibnu Luthbiyyah. Tatkala tugasnya telah usai, ia bergegas menghadap Nabi shallallâhu ’alayhi wa sallam.
Nabi Muhammad SAW menanyakan tugas-tugas yang telah didelegasikan kepadanya. Ibnu Lutbiyah menjawab, ”Bagian ini kuserahkan kepada Anda, sedangkan yang ini adalah hadiah yang telah diberikan orang-orang (Bani Sulaim) kepadaku.”
Rasulullah shallallâhu ’alayhi wa sallam berkata, ”Jika engkau memang jujur, mengapa tidak sebaiknya engkau duduk-duduk di rumah ayah dan ibumu, hingga hadiah itu datang sendiri kepadamu”.
Beliau shallallâhu ’alayhi wa sallam pun berdiri, lalu berkhutbah di hadapan khalayak ramai. Setelah memuji dan menyanjung Allah SWT, beliau bersabda,
”Amma ba’du. Aku telah mengangkat seseorang di antara kalian untuk menjadi amil dalam berbagai urusan yang diserahkan kepadaku. Lalu, ia datang dan berkata, ”Bagian ini adalah untukmu, sedangkan bagian ini adalah milikku yang telah dihadiahkan kepadaku. Apakah tidak sebaiknya ia duduk di rumah ayah dan ibunya, sampai hadiahnya datang sendiri kepadanya, jika ia memang benar-benar jujur? Demi Allah, salah seorang di antara kalian tidak akan memperoleh sesuatu yang bukan haknya, kecuali ia akan menghadap kepada Allah swt dengan membawanya. Ketahuilah, aku benar-benar tahu ada seseorang yang datang menghadap Allah swt dengan membawa onta yang bersuara, atau sapi yang melenguh, atau kambing yang mengembik. Lalu, Nabi Muhammad shallallâhu ’alayhi wa sallam mengangkat kedua tangannya memohon kepada Allah swt, hingga aku (perawi) melihat putih ketiaknya”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Salah satunya rujukan juga adalah di masa pemerintahan Ali Bin Abi Thalib. Selama itu kontrol pejabat terus dilakukan untuk menghindari kemungkinan munculnya penyelewengan. Jika mendengar adanya pengkhianatan Ali Bin Abi Thalib akan mengirimkan surat.
“Jika sampai suratku ini padamu, jagalah tanggung jawab yang ada padamu hingga kami mengutus orang yang akan mengantikanmu.”
Korupsi dianggap sebagai pelanggaran besar terhadap hak rakyat dan terkategori sebagai jarimah yang disanksi dengan hukum ta’zir yang berat. Negara membuat sanksi dengan menerapkan aturan yang bersumber dari Al Quran. Penerapan sanksi yang tegas dan tak pandang bulu dalam islam menghasilkan efek preventif (zawajir) untuk mencegah, sekaligus efek kuratif (jawabir) yang membuat jera.
Ketakwaan individu juga tersuasana dalam kehidupan bernegara. Ketakwaan menjadi pijakan terkuat untuk menahan diri dari perbuatan kejahatan. Sebab, setiap individu yang mengikatkan diri dalam aturan islam menyadari bahwa tujuan hidup semata-mata untuk beribadah yang kelak dimintai pertanggung jawaban.[]
*Paraktisi pendidikan dan pegiat literasi
Comment