Foto: copyright flickr.com (labeled with reused) |
meninggal dunia. Seluruh dunia berduka mengenang kepergian pria yang
dijuluki The Black Superman ini. Kini dan sampai kapanpun akan selalu
terkenang pada kutipan pernyataan penuh percaya dirinya tentang cara
‘menari’nya di atas ring tinju yang membuatnya tak terkalahkan.
Kutipan
yang populer, seterkenal pertarungannya yang legendaris melawan George
Foreman hingga dijuluki sebagai ‘Rumble in The Jungle’ di tahun 1974.
Dia pun akhirnya meninggal di usia yang ke 74, beberapa hari yang lalu.
Semua
manusia memang akan mati, sekalipun itu Muhammad Ali, petarung juara
dunia yang dijuluki The Greatest. Ya, yang terhebat. Bagaimanapun juga
dia kini telah tiada, memenuhi panggilan The Greatest yang sebenarnya.
Ambil saja sisi baiknya, teladani semangatnya atau berkacalah saja pada
pengalaman hidupnya.
Masa kecil Muhammad Ali penuh derita, penuh
perjuangan a la warga kelas bawah berkulit gelap di Amerika. Kerja
kerasnya membuahkan hasil hingga akhirnya berkuasa sebagai ‘Raja Kelas
Berat’ di ring tinju selama beberapa tahun lamanya. Adalah sebuah
monumen keberhasilan perjuangan 1 berbanding 1000.000 anak manusia yang
hanya berbekal tekad, semangat dan dengan memoles bakat. Hingga jika dia
lalu jemawa, angkuh dan banyak mengumbar kebanggaannya, pandangi saja
sebagai potret biasa seorang anak manusia dalam perayaan dan pelampiasan
atas waktu, keringat dan air mata yang telah dikorbankannya. Anggap
saja sudah menjadi haknya untuk melakukannya. Tak perlu memandang miring
lagi padanya. Toh dia kini telah tiada. Dikubur sedalam 6 kaki di bawah
sana.
Ali yang perkasa justru akhirnya tumbang dikalahkan oleh
penyakit yang muncul dari dalam tubuhnya sendiri. Jadikan itu sebagai
refleksi, bahwa kita tak akan pernah menduga akhir dari perjalanan kita
masing – masing dalam hidup ini. Kaki dan tungkainya yang dulu lincah
berdansa, lemah lunglai digerogoti Parkinson yang sukses melumpuhkannya.
Mulut besar dan silat lidah lihainya, berubah menjadi diam dalam kelu
dan gemetar yang tak terkendalikan lagi oleh sel – sel otaknya. Kepalan
tangan yang dulu menyengat lawan – lawannya hingga mereka tumbang tak
sadarkan diri, menggigil dalam gemetar tiada henti yang membuat dia
menggerakkan jemarinyapun tak bisa. Lalu mana Muhammad Ali yang
sebenarnya? Kemana hilangnya The Greatest yang dulu ‘terbang melayang
bak kupu – kupu, menyengat pedih laksana lebah’?
Purwa Madya
Duksina, demikian bijak Jawa menandai rangkaian kehidupan di alam fana.
Selalu ada awal, tengah dan akhir bagi setiap kejadian di alam semesta.
Dan tak terkecuali juga terjadi pada Muhammad Ali. Di akhir hayatnya,
bukan kalimat – kalimat lagi yang mampu lantang diperdengarkannya, namun
tubuh tuanya yang akhirnya dalam lemah, lesu dan diam membisu
menunjukkan segalanya. Dan jiwa? Ternyata hanya tinggal menunggu saat
yang tepat untuk menyelinap pulang kembali kepada Sang Empunya, The
Greatest of The Greats.
Mari, kenanglah Muhammad Ali dan semua
orang hebat yang telah mendahului kita sebagai kisah – kisah para kupu –
kupu atau lebah yang keberadaannya selalu disebabkan oleh rangkaian
proses metamormosa. Purwa, Madya, Duksina.[vem]
Comment