Jaminan Kesehatan dan Kepemimpinan Islam

Opini46 Views

 

 

Penulis: Sri astuty S.M | Guru dan aktivis Muslimah

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Program Jaminan Kesehatan Nasional atau JKN menghadapi risiko beban jaminan kesehatan yang lebih tinggi dari penerimaannya. Muncul saran agar iuran naik, tetapi berdasarkan perhitungan terbaru, iuran BPJS naik hingga 10% pun tidak cukup dan masih berpotensi menyebabkan defisit dana jaminan sosial.

Kepala Humas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Rizky Anugerah seperri ditulis financial.bisnis.com, Sabtu (7/12/24) menjelaskan, rasio beban jaminan kesehatan terhadap penerimaan iuran JKN sampai Oktober 2024 telah mencapai 109,62%, yang berarti beban yang dibayarkan lebih tinggi dari iuran yang didapat. BPJS Kesehatan mencatat penerimaan iuran sebesar Rp133,45 triliun, sedangkan beban jaminan kesehatan sebesar Rp146,28 triliun.

Dikutip dari goodstats.id persentase grafik menunjukkan penduduk desa yang mempunyai keluhan kesehatan dan pernah mengobati sendiri mencapai 50%, banyak faktor yang mempengaruhi seperti aspek ekonomi dan tempat tinggal yang jauh dari sarana dan prasarana kesehatan.

Berdasarkan penjelasan tersebut, pemerintah dapat melihat fenomena ini sebagai bahan evaluasi terhadap pemerataan akses kesehatan bagi masyarakat, baik di pedesaan maupun perkotaan. Hal itu dapat diwujudkan melalui jaminan kesehatan yang layak dan baik agar seluruh masyarakat dapat mengaksesnya tanpa terkecuali.

Problem kesehatan di negeri ini masih banyak, mulai dari jumlah nakes yang tidak merata, berbiaya mahal/komersialisasi, fasilitas pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) yang tidak memadai, dan lain-lain.

Alih alih mendapatkan layanan kesehatan yang gratis, murah, dan terbaik, justru mereka yang sudah menggunakan BPJS saja tidak mendapatkan akses terbaik dan tidak semua warga negara bisa mengakses layanan kesehatan.

Kepemimpinan sekuler menjadikan penguasa tidak maksimal dan sungguh-sungguh menjalankan perannya sebagai raa’in (pengurus). Negara hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator. Kesehatan justru dikapitalisasi atau menjadi industri.

Bisa dipastikan narasi pemerintah soal anggaran kesehatan yang diprioritaskan dan upaya peningkatan standarisasi profesi kesehatan sejatinya bukan untuk rakyat secara total melainkan demi melayani kepentingan korporasi.

Kesehatan adalah kebutuhan dasar publik yang wajib disediakan negara. Jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat ini hanya mungkin terwujud dalam sistem kepemimpinan Islam.

Khalifah sebagai kepala negara berperan sebagai raa’in (pengurus), yang menjamin terpenuhinya layanan kesehatan hingga pelosok, dengan fasilitas yang memadai, berkualitas, dan gratis. Atas dasar ini, Islam memiliki prinsip kesehatan yaitu:

1. Universal, artinya semua warga negara berhak mengakses layanan kesehatan

2. Masyarakat mudah mengakses layanan kesehatan tanpa terhalangi oleh kondisi geografis maupun lokasi pelayanan kesehatan.

3. Bebas biaya, semua warga negara berhak mendapatkan pelayanan kesehatan tanpa biaya alias gratis.

4. Pelayanan mengikuti kebutuhan medis dan selalu tersedia, mulai dari tenaga kesehatan yang lengkap dan merata sampai alat alat kesehatan yang memadai.

Hal di atas pun terbukti dalam buku  Tarikh Al Hukama (halaman 405). Dalam buku tersebut Ibnu Al Qibthi menerangkan rumah sakit di masa kepemimpinan islam ada 2 macam, yaitu rumah sakit permanen (di kota-kota) dan rumah sakit berpindah-pindah yang didirikan di desa desa, padang pasir dan gunung gunung. Waallahu ’alam.[]

Comment