Childfree, Depopulasi Menuju Adaptasi

Opini34 Views

 

 

Penulis: Rahmi Ekawati, S.H | Digital Creator

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Peningkatan tren childfree atau memilih hidup tanpa anak semakin mencuat, terutama di kalangan perempuan muda. Berdasarkan data BPS terbaru, sekitar 8,2 persen perempuan Indonesia usia 15 hingga 49 tahun memilih tidak memiliki anak.

BPS mencatat fenomena child free meningkat di wilayah urban, dengan Jakarta mencapai angka tertinggi 14,3 persen. Tren ini semakin kuat pasca-pandemi Covid-19, dengan perempuan memilih fokus pada karier atau pendidikan karena ekonomi dan kesehatan.

Fenomena child free di Indonesia semakin menarik perhatian, khususnya terkait keputusan perempuan untuk tidak memiliki anak. Anggota Komnas Perempuan, Maria Ulfah Ansor, menjelaskan setiap perempuan memiliki hak untuk menentukan pilihan hidupnya, termasuk memiliki anak.

Menurutnya, hal ini merupakan bagian dari hak asasi manusia yang harus dihormati oleh semua pihak.

“Terserah mereka apakah seseorang memilih untuk memiliki anak atau tidak, itu bagian dari hak pribadi yang harus dihormati,” ujarnya dalam wawancara bersama Pro 3 RRI, Jumat (15/11/2024).

Ia juga menekankan bahwa pilihan hidup seperti child free tidak boleh dipandang negatif. Masyarakat perlu diberikan pemahaman bahwa keputusan tersebut adalah bagian dari kebebasan setiap individu dalam memilih gaya hidup.

Ada beberapa faktor yang mendasari keputusan seseorang memilih childfree, di antaranya sebagai berikut:

1. Faktor Ekonomi
Salah satu faktor utama yang mendorong perempuan memilih childfree adalah masalah ekonomi. Dalam masyarakat modern, biaya hidup yang makin tinggi, beban pekerjaan, serta tuntutan karier menjadi alasan utama mengapa perempuan merasa enggan untuk memiliki anak.

Mereka merasa bahwa memiliki anak akan mengurangi kesempatan mereka untuk berkembang di bidang lain, terutama dalam dunia pekerjaan yang makin kompetitif. Fenomena ini juga ditemukan dalam berbagai studi yang menunjukkan bahwa perempuan muda makin memilih karier di atas peran keibuan (Ahmed, 2007).

Pada 2022, Survei Biaya Hidup (SBH) mencatat, biaya hidup rata-rata di Jakarta per bulan mencapai Rp14,88 juta—tertinggi di Indonesia, tidak sebanding dengan upah minimum provinsi (UMP) yang hanya Rp5 juta.

Kekhawatiran tidak mampu menafkahi dan membiayai tumbuh kembang anak hingga biaya pendidikan pada masa mendatang telah menjadi faktor pemicu sebagian pasangan memutuskan untuk menganut childfree.

Alasan utama kesulitan ekonomi tersebut relevan dengan hasil dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2022, ternyata 57% perempuan childfree tidak terlibat aktif dalam kegiatan ekonomi.

2. Isu Lingkungan
Selain itu, isu lingkungan juga menjadi salah satu alasan perempuan memilih untuk tidak memiliki anak. Beberapa pasangan atau perempuan yang memutuskan untuk childfree menilai bahwa populasi penduduk di bumi makin meningkat.

Makin meningkatnya kesadaran tentang kerusakan lingkungan dan dampak buruk over populasi menyebabkan banyak perempuan yang merasa bahwa memiliki anak dapat memperburuk masalah tersebut.

Dalam konteks ini, mereka melihat bahwa tidak memiliki anak adalah salah satu cara untuk mengurangi jejak karbon dan memberikan kontribusi terhadap kelestarian bumi.

3. Gerakan Kesetaraan Gender dan Pergeseran Cara Pandang Perempuan
Salah satu pemicu utama dalam pergeseran pandangan perempuan terhadap peran mereka dalam reproduksi dan peran sebagai ibu adalah gerakan hak-hak perempuan (feminisme) yang menekankan pada kebebasan individu, termasuk hak untuk memutuskan apakah mereka ingin memiliki anak atau tidak.

Gerakan feminisme menemukan momentumnya untuk mengadakan beragam perubahan di segala bidang, di antaranya mendorong dan mendukung keputusan perempuan dan pasangan untuk childfree. Keputusan childfree ini digunakan oleh seorang perempuan, untuk memilih kebebasannya untuk menjadi seorang ibu maupun mengalami proses hamil hingga melahirkan.

Konsep “my body, my choice” atau “tubuhku, pilihanku” telah diterima secara luas, yang berarti bahwa perempuan memiliki hak penuh untuk memutuskan ingin memiliki anak atau tidak, tanpa harus mempertimbangkan tekanan sosial atau budaya. Hal ini tentu saja memengaruhi cara perempuan memandang peran mereka dalam keluarga dan masyarakat. (Abu Dawood, 1984).

SEKULARISME MENYUBURKAN CHILDFREE

Ketiga penyebab di atas sebenarnya merupakan dampak dari penerapan sistem kehidupan sekuler kapitalisme di negeri ini. Sekularisme adalah satu pemahaman yang menyingkirkan agama dari kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Inilah yang menyebabkan umat tidak menjadikan agama sebagai pedoman hidupnya.

Walhasil, segala sesuatu yang ia pahami, ia lakukan, ia inginkan, dan yang membuatnya bahagia tidak selaras dengan syariat.

Misalnya konsep rezeki, masyarakat sekuler tidak memahami bahwa rezeki itu di tangan Allah Swt. dan setiap anak membawa rezekinya masing-masing. Tidak heran, childfree menjadi pilihan di tengah kehidupan yang serba mengimpit ini.

Begitu pun hakikat penciptaan, masyarakat sekuler tidak memahami bahwa tujuan penciptaan manusia adalah beribadah kepada Allah Swt.. Mereka terjebak dengan kehidupan materialistis yang menjadikan kepuasan jasadiah (fisik dan materi) sebagai tujuan amalnya.

Sekularisme pun melahirkan liberalisme yakni berupa kebebasan bertingkah laku. Mereka pun merasa bebas melakukan segala sesuatu yang mereka kehendaki tanpa peduli kondisi di sekitarnya.

Ini termasuk para perempuan yang memilih untuk tidak memiliki anak. Mereka tidak peduli tindakannya merugikan atau tidak, misalnya dapat menyebabkan depopulasi dan penurunan penduduk usia produktif.

Selain itu, jauhnya mereka dari agama menjadikan propaganda feminisme yang jelas-jelas bertentangan dengan syariat malah dibenarkan. Misalnya saat mereka menuntut laki-laki dan perempuan setara dalam berbagai aspek.

Jika laki-laki bisa menjadi kepala rumah tangga, perempuan pun turut merasa berhak atas hal itu. Begitu pula jika laki-laki tidak melahirkan, perempuan pun merasa berhak untuk tidak melahirkan meski memiliki rahim. Sedangkan sejatinya semua itu dapat mengancam keberlangsungan eksistensi umat manusia.

Namun, meskipun kesetaraan gender memberi perempuan kebebasan untuk membuat pilihan hidupnya, hal ini juga menimbulkan dilema bagi mereka yang ingin tetap mempertahankan peran keibuan yang dianggap sebagai tugas mulia.

Oleh karena itu, banyak perempuan yang berada di tengah pergulatan antara kebebasan memilih dengan tekanan untuk memenuhi ekspektasi sosial yang menuntut mereka untuk menjadi ibu.

KEHIDUPAN ISLAM ADALAH SOLUSI

Seharusnya, solusi yang diambil adalah dengan mengembalikan peran ayah ibu pada tempatnya sehingga anak-anak yang dilahirkan pun tidak akan menjadi korban. Kembali pada sistem Islam, aturan yang datang dari Allah Al-Khalik Al-Mudabbir, merupakan solusi hakiki atas segala persoalan.

Islam sebagai din yang sesuai fitrah dan memuaskan akal manusia, telah mengatur dengan sangat terperinci tentang kehidupan manusia, termasuk dalam berkeluarga. Setiap anggota keluarga memiliki peran dan tanggung jawab masing-masing. Tidak akan terjadi anggota yang satu harus menanggung beban yang lebih berat dari yang lainnya.

Islam juga menganjurkan anggota keluarga untuk bisa saling bekerja sama. Dengan begini, ketika seorang perempuan menjadi ibu, ia tidak akan terbebani. Demikian halnya laki-laki. Ketika ia menjadi suami dan ayah, sudah selayaknya ia yang harus mencari nafkah. Semua sudah sesuai dengan fitrah yang Allah anugerahkan.

Islam pun memberikan aturan yang adil bagi laki-laki dan perempuan, sesuai fungsi dan kedudukannya yang berbeda-beda di dalam keluarga dan di tengah masyarakat. Perempuan dalam keluarga harus menjalankan fungsinya sebagai ummun wa rabbatul bayt (ibu dan pengelola rumah tangga), sedangkan laki-laki harus menjalankan tugasnya sebagai kepala atau pemimpin keluarga yang berkewajiban melindungi dan memberi rasa aman bagi seluruh anggota keluarganya.

Dengan keimanan yang kukuh, keduanya bisa menjalankan tugas dan amanahnya dengan penuh tanggung jawab.

Selain itu, memiliki anak merupakan fitrah manusia sebagai penampakan dari gharizah nau’ (naluri untuk melestarikan keturunan). Menikah, hamil, melahirkan, menyusui, dan mengasuh anak, adalah hal alami yang akan dijalani oleh seorang perempuan.

Memiliki anak bukan saja amanah, tetapi juga anugerah dari Allah Taala dan Dia telah berjanji akan mencukupkan rezeki bagi orang tuanya. Anak-anak juga akan memperindah pandangan mata keduanya, sekaligus ladang pahala bagi mereka.

Oleh karenanya, orang yang memilih childfree karena takut masa depan anaknya, jelas mempunyai masalah akidah, yakni tentang qada-kadar, tawakal, rezeki dan ajal, serta menyalahi fitrah manusia.

Kehidupan sekuler kapitalisme yang mencengkeram negeri ini telah menjauhkan umat Islam dari akidah dan syariat Islam, serta gambaran kehidupan peradaban Islam. Fenomena childfree sesungguhnya menunjukkan lemahnya iman dan kurangnya pemahaman syariat Islam.

Ini karena Allah Swt. Sang Pencipta manusia dan bumi beserta isinya, sudah pasti akan mencukupkan kebutuhan makhluk-Nya dengan baik.

Sebagaimana dalam Firman-Nya, “Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya.” (QS Al-Isra [17]: 30).

Walhasil, untuk menyelamatkan negeri ini dari serangan childfree adalah perubahan secara mendasar, mengubah pemikiran umat dengan Islam, menguatkan akidah dan keyakinannya terhadap Allah Taala. Juga harus dipahamkan tentang syariat Islam kafah dan gambaran peradaban Islam yang akan menyiapkan dan memuliakan peran utamanya sesuai Islam.[]

Comment