Penulis: Poppy Kamelia P. BA(Psych) CBPNLP, CCHS, CCLS, CTRS |
Pelatih Parenting Islam, Konselor dan Terapis Kesehatan Mental, Penulis, Pegiat Dakwah
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Kemiskinan adalah isu yang tak pernah habis dibahas, baik di tingkat nasional maupun internasional. Meskipun banyak upaya telah dilakukan, kemiskinan tetap menjadi masalah yang tak kunjung usai.
Baru-baru ini, dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 yang diadakan di Brasil pada 18-19 November 2024, Presiden Indonesia, Prabowo Subianto, seperti ditulis antaranews.com (22/11/2024), menyerukan pengentasan kemiskinan sebagai fokus utama dalam agenda global.
Beliau mengapresiasi langkah Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva yang menjadikan pengentasan kemiskinan dan kelaparan sebagai prioritas.
Namun, meskipun seruan ini menunjukkan niat baik, kita harus bertanya: apakah kemiskinan benar-benar bisa teratasi selama dunia tetap beroperasi dalam sistem ekonomi kapitalisme?
Sistem kapitalisme mengutamakan pasar bebas yang mendorong kompetisi dan keuntungan individu. Dalam sistem ini, mereka yang memiliki modal atau kekuatan ekonomi menguasai lebih banyak sumber daya, sementara yang lemah semakin terperosok dalam kemiskinan.
Kapitalisme memperburuk ketimpangan sosial dan distribusi kekayaan, dengan negara lebih berpihak pada kepentingan korporasi besar daripada melindungi rakyat. Hal ini menjadikan kemiskinan sebagai masalah struktural yang sulit diatasi tanpa perubahan mendasar dalam sistem ekonomi.
Kemiskinan dalam kapitalisme bukan akibat ketidakmampuan individu, melainkan hasil dari struktur ekonomi yang tidak adil. Negara hanya berfungsi sebagai regulator tanpa mengelola sumber daya alam untuk kepentingan rakyat. Kekayaan alam sering dikuasai perusahaan besar atau asing yang mengutamakan keuntungan, sementara rakyat lokal tetap miskin.
Di Indonesia, sektor pertanian menjadi contoh kegagalan kapitalisme. Meskipun negara agraris dengan sumber daya alam melimpah, sektor ini terpinggirkan akibat kapitalisasi. Pupuk mahal, alat produksi tak terjangkau, dan pasar dikuasai korporasi besar membuat petani semakin miskin.
Pengelolaan sumber daya alam oleh perusahaan asing merugikan petani lokal, yang terpaksa menjual tanah atau bekerja di bawah tekanan korporasi besar. Hal ini menciptakan kemiskinan sistematis, di mana rakyat kecil kehilangan kontrol atas kekayaan alam yang ada di tanah mereka.
Kapitalisme sering mengabaikan dampak lingkungan dan sosial dalam pembangunan. Pembangunan yang berfokus pada keuntungan seringkali mengabaikan efek jangka panjang terhadap masyarakat dan alam.
Proyek-proyek besar yang didorong oleh kepentingan kapitalis sering merusak lingkungan, menyebabkan bencana seperti banjir, dan merugikan petani serta masyarakat kecil.
Pembangunan yang tidak memperhatikan keberlanjutan ekosistem hanya mengutamakan keuntungan sesaat bagi segelintir orang, sementara rakyat kecil semakin terperosok dalam kemiskinan.
Pembangunan infrastruktur yang tidak memenuhi kebutuhan rakyat sering berujung pada kerugian sosial. Banyak proyek besar yang didorong oleh perusahaan besar atau investor asing yang lebih mementingkan keuntungan daripada kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan pembangunan yang mengutamakan industri besar sering merusak lahan pertanian dan ekosistem lokal, yang berdampak buruk pada kehidupan petani dan masyarakat desa. Kesejahteraan rakyat dikorbankan demi keuntungan jangka pendek yang tidak berkelanjutan.
Sistem ekonomi kapitalisme terbukti jelas tidak akan mampu mengatasi kemiskinan. Lantas, untuk apa kita terus mempertahankan sistem yang tidak memihak rakyat kecil ini?
Salah satu solusi yang lebih nyata untuk mengatasi kemiskinan adalah dengan mengganti sistem ekonomi kapitalisme dengan sistem yang lebih berkeadilan. Sistem ekonomi Islam menawarkan alternatif yang lebih berpihak pada kesejahteraan rakyat.
Dalam sistem ekonomi Islam, yang didukung oleh politik Islam, negara menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar rakyat, termasuk kebutuhan sekunder dan tersier. Prioritas negara adalah memastikan setiap individu terpenuhi kebutuhannya, dengan sumber pemasukan negara yang sesuai syariat—bukan bergantung pada pajak atau utang, tetapi dari fai, kharaj, zakat, rikaz, dan jizyah.
Sumber daya alam seperti hutan, laut, dan tambang adalah milik umum, sehingga tidak bisa diprivatisasi. Negara mengelola dan membagikan hasilnya untuk kesejahteraan rakyat. Dengan banyaknya sumber pemasukan ini, masalah kemiskinan dapat diatasi.
Jika individu tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup, keluarga atau negara akan menanggungnya, dengan dana dari kas zakat atau sumber lain, bahkan jika kas negara kekurangan, sesama muslim akan membantu melalui pungutan dharibah dari yang mampu.
Untuk mewujudkan sistem ekonomi Islam, tiga pilar utama harus tegak. Pertama, konsep kepemilikan yang terdiri dari kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Kedua, pembagian dan pengelolaan sumber daya yang dilakukan dengan cara yang sesuai dengan syariat Islam. Ketiga, penekanan pada distribusi kekayaan yang adil dan merata, baik secara ekonomi maupun sosial, demi kesejahteraan seluruh rakyat.
Pilar pertama menegaskan bahwa semua kekayaan di dunia adalah milik Allah, dan setiap bentuk kepemilikan harus dikelola dengan tanggung jawab sesuai ketentuan-Nya. Kepemilikan individu dapat memberikan manfaat bagi negara melalui zakat, infak, dan sedekah, sementara kepemilikan umum dan negara harus dikelola dengan baik untuk kepentingan rakyat.
Dengan demikian, setiap lapisan masyarakat merasakan manfaatnya, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Sistem ekonomi yang ada dalam kapitalisme demokrasi jelas tidak mampu mengimplementasikan prinsip-prinsip ini. Hanya dengan tegaknya institusi islam di bawah satu kepemimpinan internasional yang berlandaskan pada akidah Islam dan sistem politik Islam, sistem ekonomi yang adil dan mampu menuntaskan kemiskinan akan terwujud. Wallahu A’lam Bisshawaab.–[]
Comment