Penulis: Sumiati, ST | Pemerhati Sosial dan Masyarakat
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Laman kompas.com (17/11/24) menulis kasus predator anak kembali marak akhir-akhir ini. Diduga kasus pemerkosaan terhadap seorang anak di bawah umur berinisial Z (16) oleh seorang petani di Kabupaten Ende, NTT.
Padahal tulis liputan6.com (17/11/24), pelaku dan korban masih memiliki hubungan keluarga. Di daerah lain di Banyuwangi, Jawa Timur juga terjadi pembunuhan dan pemerkosaan terhadap anak berinisial DCN (7).
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifah Choiri Fauzi mengecam tindakan pembunuhan dan pemerkosaan tersebut.
Kasus predator anak bukanlah kali pertama terjadi. Sebelumnya, sudah banyak kasus sejenis yang terjadi. Kondisi ini menunjukkan bahwa kasus kejahatan anak masih saja terjadi bahkan semakin tidak menyisakan ruang aman bagi mereka.
Keluarga yang menjadi tempat pertama anak-anak tumbuh. Masyarakat yang menjadi tempat anak-anak bersosialisasi. Negara yang seharusnya memberikan rasa aman, kini tidak bisa diharapkan menjadi benteng perlindungan bagi anak.
Tidak adanya ruang yang aman bagi tumbuh kembang anak ini merefleksikan sistem kehidupan yang rusak. Tanda sistem kehidupan yang rusak ialah manusia tidak mengarahkan potensi naluri dan akalnya sesuai dengan aturan Pencipta.
Manusia memang memiliki naluri seksual atau naluri na’u. Manusia juga memiliki akal yang dengannya manusia bisa berpikir bagaimana memenuhi naluri tersebut. Hanya saja sistem kehidupan saat ini dipengaruhi oleh akidah sekulerisme yang memisahkan agama dari kehidupan.
Maka manusia tidak lagi berpikir memenuhi naluri sesuai aturan Allah subhanahu wa taala. Cara berpikir dan beramal manusia dipimpin oleh hawa nafsu mereka dan hal itu diklaim sebagai hak kebebasan. Akhirnya muncul manusia-manusia yang lemah iman dan tidak beradab. Standar interaksi di antara masyarakat juga bukan ammar ma’ruf nahi munkar namun individualis.
Kondisi ini yang membuat predator anak semakin marak menyasar anak-anak untuk diruda paksa hingga dibunuh. Tentu saja predator anak tidak mungkin muncul begitu saja tanpa ada pemicu atau rangsangan. Saat ini konten porno, judol, pinjol, khamr atau miras, dan hal-hal yang merusak akal manusia lainnya nya merebak di mana-mana. Padahal, semua kemaksiatan itu merupakan pemicu manusia untuk melakukan kemaksiatan yang lain seperti menjadi predator anak misalnya.
Negara sekuler tidak memperhatikan urusan moral rakyat. Negara sekuler justru membiarkan faktor-faktor penyebab maraknya predator anak yang merajalela. Hal ini dibuktikan dengan peran negara yang sangat minim melindungi anak dalam berbagai aspeknya – baik pendidikan berasas sekuler maupun sistem sanksi yang tidak menjerakkan.
Selama negara berparadigma sekuler, selamanya anak-anak tidak akan pernah selamat dari predator anak. Inilah kerusakan kezaliman dan bahaya penerapan sekulerisme. Bahkan lebih dari itu sekulerisme telah menjauhkan fitrah manusia sebagai hamba Allah.
Prristiwa ini sejatinya membuat umat sadar betapa banyak kerusakan yang Allah tampakkan agar manusia kembali kepada aturanNya. Allah telah menurunkan Islam sebagai sistem kehidupan yang akan membawa kebaikan dan keberkahan bagi hidup umat manusia.
Implementasi Islam dalam kehidupan secara praktis diwujudkan dalam bingkai negara. Dalam Islam negara tidak akan pernah memisahkan agama dari kehidupan. Semua hal wajib terikat aturan Allah termasuk peran negara. Negara adalah ra’in atau pengurus dan junnah atau pelindung. Sehingga kehadirannya mustahil tidak perhatian terhadap kondisi anak-anak. Negara menjaga anak-anak sebagai bentuk kewajiban yang syariat perintahkan.
Penjagaan tersebut dilakukan dengan cara anak-anak dipastikan mendapat kualitas hidup maupun lingkungan yang baik dan juga keselamatan generasi dari berbagai bahaya, termasuk berbagai macam kekerasan dan ancaman keselamatan. Islam memiliki mekanisme untuk merealisasikan cara-cara tersebut. Islam memiliki tiga pilar perlindungan terhadap masyarakat termasuk anak, mulai dari ketakwaan individu, peran keluarga, kontrol masyarakat, hingga penegakan sistem sanksi yang tegas dan menjerakkan oleh negara.
Ketakwaan individu akan menjadi kontrol pribadi agar seseorang tidak mudah berbuat maksiat. Sebab, dia akan menstandarkan pemahaman standar keridaannya pada hukum syariat. Begitu pula peran keluarga Islam mengatur salah satu fungsi keluarga ialah sebagai pelindung anak. Ayah berperan sebagai qawwam dan ibu berperan sebagai madrasatul ‘Ula.
Jika fungsi ayah dan Ibu ini berjalan sebagaimana perintah syariat In syaa Allah anak-anak mendapat perlindungan pertama dari keluarga.
Islam juga memerintahkan amar ma’ruf nahi munkar di antara sesama. Perintah ini menjadi kontrol masyarakat agar segala jenis kemaksiatan termasuk predator anak tidak merajalela. Bahkan Islam memerintahkan agar negara hadir sebagai junnah agar menindak tegas pelaku kemaksiatan. Negara memberlakukan uqubat (sanksi) kepada predator anak.
Sanksi dalam Islam bersifat zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus) dosa. Sehingga bisa dipastikan predator anak tidak akan mendapat ruang untuk lahir dan berkembang.
Seperti inilah syariat Islam Kaffah yang diterapkan untuk melindungi anak-anak. Tidakkah umat memikirkan untuk mengambil solusi ini? Wallahu’alam bishawwab.[]
Comment