Kecerdasan Rakyat dalam Otoritas Kapitalisme, Realitas atau Utopis?

Opini8 Views

 

Penulis: Siska Ramadhani, S.Hum | Freelance writer

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Banyak masyarakat yang skeptis terhadap kapitalisme dalam upaya mencetak sumber daya manusia cerdas. Namun, tidak bisa dipungkiri juga terdapat rakyat yang optimis dengan kapitalisme meskipun hanya segelintir orang saja. Apakah kapitalisme betul-betul dapat mencerdaskan rakyat?. Simak ulasannya di bawah ini!.

IQ Orang Indonesia Rendah?

Rata-rata IQ (Intellegence Quotient) orang Indonesia seperti ditulis kompas.com (20/10/2024), hanya menyentuh angka 92,64. Angka tersebut merupakan hasil survey yang dilakukan pada 154.000 orang Indonesia tahun 2023 oleh situs the Interntional IQ Test. Tidak hanya itu, IQ rata-rata orang Indonesia bahkan menduduki peringkat terendah di Asia Tenggara.

Angka 92,64 seharusnya bukan IQ yang dimiliki rata-rata orang Indonesia, mengingat dana yang digelontorkan oleh pemerintah untuk pendidikan begitu dahsyat. Dikutip dari laman Kementrian pendidikan dan kebudayaan, dana yang disediakan pemerintah sebesar 665 triliun rupiah. Jumlah yang begitu fantastis bukan?.

Semestinya, dengan uang sebesar itu seluruh aspek yang mendukung sistem pendidikan sudah menyokong untuk mencetak rakyat yang cerdas.

Ganti Menteri Ganti Kurikulum Biangnya?

Pada rezim Prabowo pendidikan diklasifikasikan dalam tiga kementrian, di antaranya; Kemendikdasmen (Kementrian pendidikan dasar dan menengah) yang dipimpin oleh Abdul Muti, Kemendiktiristek (Kementrian Pendidikan Tinggi Riset dan Teknologi) yang dipimpin oleh Satryo Soemantri Bodjonegoro, dan terakhir Kemenbud (Kementrian Kebudayaan) dipimpin oleh Fadli Zon.

Di era rezim Jokowi kementrian pendidikan terdiri dari satu kementerian saja, yakni Kemendikbudristek (Kementrian pendidikan budaya riset dan teknologi) dipimpin oleh Nadiem Makarim dan mencetuskan program MBKM (Merdeka Belajar Kampus Merdeka).

Sepanjang perjalanan MBKM banyak ditemui fakta kelam dalam dunia pendidikan. Pertama, guru mudah dipenjarakan hanya karena mendisiplinkan siswa/siswi yang diajar. Kedua, sistem zonasi menciptakan segregasi, sehingga ketimpangan bangunan sekolah sampai akses/ jalan menuju sekolah begitu jelas terlihat. Ketiga, Peniadaan sistem UN (Ujian Nasional), mengakibatkan salah satu faktor “kaburnya” guru dalam mengukur kemampuan peserta didik.

Mirisnya, pada tingkat perguruan tinggi kondisi sistem pendidikan di bawah program MBKM semakin menyedihkan. Hal ini disebabkan orientasi pendidikan bukan lagi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa tetapi menyasar pada ekonomi/ benefit oriented. Ini tampak dengan banyaknya berdiri bangunan swalayan, pertamina, dan berbagai bank di lingkungan kampus.

Selanjutnya, gedung-gedung penelitian yang berada di kampus. Melalui sokongan dana dari kapitalis membuat mahasiswa tingkat S1-S3 ikut serta dalam menyukseskan goals kapitalis. Mirisnya, mahasiswa yang diberdayakan tidak menyadari sedang dimanfaatkan oleh kapitalis.

Begitulah fakta kelam yang tidak bisa dipungkiri keberadaannya di bawah Kemendikbudristek. Kemudian pertanyaannya, apakah di bawah kementerian pendidikan yang dipecah menjadi tiga dengan segala metodenya itu kecerdasan bangsa akan terwujud? Jawabannya adalah mustahil.

Kapitalisme Biang Masalah

Bejibun ketimpangan yang ada dalam dunia pendidikan saat ini tidak terlepas dari diterapkannya teori pendidikan dunia global, KBE. Teori ini menginfluence seluruh negara agar ikut serta gaya pendidikan tersebut. KBE (Knowledge Based Economy) melahirkan dua metode haram yang merusak goals utama pendidikan.

Metode pertama yang dimaksud adalah PISA (Program for International Student Asessment). Metode ini diterapkan pada tingkat sekolah dasar hingga sekolah menengah. Selanjutnya yang kedua, WCU (World Class University) diterapkan pada tingkat perguruan tinggi. Kedua metode tersebut seolah-olah berpihak kepada kepentingan pelajar, realitanya berpihak kepada kepentingan segelintir orang atau kapitalis.

Sistem yang bertahta di Indonesia senantiasa mendukung penuh apapun kebijakan global saat ini. Mengemban ideologi yang sama, yakni ideologi Kapitalisme-sekuler. Kapitalisme, paham yang berorientasi pada keuntungan materi dengan azas sekulerisme yang memisahkan aturan agama dari kehidupan. Maka, tidak heran pemilik modal tidak hanya bebas menjarah SDA (Sumber daya Alam) tapi juga SDM (Sumber Daya Manusia) Indonesia.

Diperparah dengan kondisi Indonesia yang walaupun sila kedua Pancasila berbunyi ‘kemanusiaan yang adil dan beradab”, tapi tidak tampak praktek sila tersebut. Terbukti dengan pejabat yang patuh terhadap kebijakan pendidikan (KBE) yang lahir dari rahim haram kapitalisme lalu mengabaikan amanah yang terdapat dalam pembukaan UUD (Undang-Undang Dasar) dalam segi mencerdaskan kehidupan bangsa.

Perspektif Islam

Pendidikan yang diimpikan memang hanya ditemui pada sistem pemerintahan yang menerapkan hukum Allah. Dikarenakan sistem pendidikan diatur menurut standar-Nya, bukan standar manusia yang sarat akan kepentingan atau manfaat. Alhasil tidak ada program yang memihak pihak tertentu. Semua regulasi bidang pendidikan dirancang dan dijalankan dengan apik dan penuh tanggung jawab.

Seluruh sistematika kehidupan mendukung regulasi pendidikan berjalan sesuai koridor syari’at. Tampak pada individu bertaqwa, khususnya seorang pemimpin, yang menjadikan kewara’an dalam meriayah (mengurus) urusan umat “pakaian kesehariannya”.

Kemudian, masyarakat memiliki kesungguhan penuh untuk belajar, karena sadar belajar salah satu bentuk ibadah kepada Allah. Selanjutnya, masyarakat senang melakukan amar ma’ruf nahi munkar dan terbiasa dengan kegiatan muhasabah lilhukam (menasehati penguasa) jika, terdapat regulasi melenceng terkait pendidikan.

Sehingga kita dapati fakta bahwa masa pemerintahan Islam pendidikan betul-betul fokus mencerdaskan sumber daya manusia. Baghdad di masa kekhilafahan Bani Abbasiyah salah satu contohnya.

Pada masa pertengahan kekhilafahan Abbasiyah yang dipimpin oleh khalifah Harun Al-Rasyid, semua aspek kehidupan mencapai puncak kegemilangan. Khususnya di bidang pendidikan, banyak terlahir ilmuwan dan pakar di berbagai disiplin ilmu. Dikarenakan, khalifah betul-betul berupaya keras mencerdaskan rakyat.

Kemudian seluruh faktor pembentuk kecerdasan tersebut di sokong dengan penyediaan fasilitas pendidikan terbaik pada masanya serta pemberian upah yang fantastis untuk guru, dan lain sebagainya.

Melalui jumlah kekayaan kekhilafahan Bani Abbasiyah yang ditakar sebagian pakar sejarah berjumlah empat ratus juta dirham, hal tersebut bukanlah suatu hal yang mustahil. Uangnya dari mana? Pastinya dari pengelolaan SDA (sumber daya alam), ghanimah, fa’i, kharaj, dan jizyah dengan apik oleh khalifah sebagai pemegang kunci baitul mal. (Syekh Muhammad al-Khudari, “Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Bani Abbasiyah, Puncak Keemasan dan Kejayaan Kekhilafahan Islam”, Muslimah News 9 maret 2023).

Apa yang terjadi di masa bani Abbasiyah tersebut tidak akan dijumpai dalam sistem buatan akal manusia yang sarat akan kepentingan. Hanya dalam sistem islam yang diterapkan dalam skala negara, negara betul-betul menghadirkan pendidikan berkualitas dan membentuk generasi cerdas secara intelektual, emosional dan paling penting cerdas secara spiritual. Bukan hanya omon-omon!.

Pembaca yang geram akan fakta pahit di dunia pendidikan, sudah seharusnya mengencangkan dakwah untuk membentuk ra’yul ‘am (opini umum) di tengah masyarakat. Sampaikanlah bahwa mengharapkan masyarakat cerdas di bawah otoritas kapitalisme adalah sebuah realita yang tidak akan pernah terwujud, alias utopis!. Wallahu ’alam bishawab.[]

Comment