Generasi Emas: Belajar dari Peradaban Dan Kejayaan Islam

Opini10 Views

 

Penulis: Rahma Al-Tafunnisa | Aktivis Dakwah dan Owner Rumah Bekam Al-Tafunnisa

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Melihat potret menyedihkan negeri hari ini seperti seolah-olah tidak ada titik terang, terkhusus melihat potret buruk pada diri pemuda yang seharusnya menjadi generasi penerus bangsa.

Dari rendahnya akhlak dan adab mereka terhadap orang yang lebih tua, rendahnya tarap berpikir mereka, sampai pada titik tidak memahami jati diri mereka sebagai seorang muslim.

Ditambah lagi dengan banyaknya kasus-kasus yang terjadi, seperti bullying, pelecehan, pemerkosaan, pemukulan, bahkan sampai pembunuhan yang mereka lakukan. Belum lagi soal pelaku LGBT penyuka sesama jenis, lebih parahnya yang menjadi korban turut melakukan hal yang sama dengan apa yang pernah dialaminya sebelumnya.

Jika kita mendengar dari pakar yang menangani kasus-kasus LGBT ini, mereka merasa ingin mencoba, dan tidak puas jika disalurkan kepada satu atau dua orang saja. Lebih tepatnya mereka menjadi kecanduan berhubungan seks di luar nikah. Deretan persoalan di atas belum bisa teratasi hingga hari ini.

Padahal negara berharap kelak pemuda menjadi penerus perjuangan bangsa ini untuk menata kehidupan yang lebih baik lagi dari segala sektor, baik dalam segi ekonomi, politik yang jujur, menciptakan berbagai kreasi untuk mengembangkan teknologi industi, dan juga berperan mengubah negeri ini lebih baik ke depan. Berjuang tak hanya untuk kemajuan negara saja, namun juga berjuang untuk keberkahan dan menjadi negara yang dirahmati Allah SWT.

Namun sayang seribu sayang, pemuda yang kita saksikan hari ini sangat jauh dari harapan. Bagaimana tidak?

Fakta – fakta di atas membuat kita pesimis dengan tonggak perubahan di pundak mereka. Mereka tidak memahami esensi dan tujuan hidup. Mereka terbawa arus dan gelombang pemikiran Barat yang menihilkan aturan Allah atau memisahkan agama dari kehidupan. Tanpa disadari mereka telah menjadi korban perang pemikiran, dan secara fakta umat muslim lebih condong dan dipengaruhi pemikiran Barat.

Sehingga orientasi mereka hidup di dunia ini hanya untuk mencari kesenangan semata sebagaimana yang kita temukan di lingkungan terdekat mereka mulai dari pendidikan orang tua mereka, tontonan di tv dan medsos. Terlebih lagi, negara tidak menekankan pendidikan yang berorientasi pada parbaikan aqidan dan akhlak pemuda.

Inilah kapitalisme sekular yang hanya bertujuan mengejar materi dan materi. Sistem ini mencetak generasi pemalas yang menginginkan segala sesuatu serba instan, generasi kriminal dan tak punya prinsip hidup. Apakah hal ini dibiarkan  terus menerus?

Umat Islam harus bersegera menyelamatkan mereka agar tidak menjadi korban kapitalisme sekular yang merusak. Aktivitas dakwah Islam harus terus digencarkan untuk mengembalikan akal dan kesadaran mereka sebagai hamba Allah. Umat Islam harus bersatu membangun visi politik bersama dengan pemuda mewujudkan generasi khayru ummah.

Umat harus mampu menggambarkan bahwa Islam itu sebuah tawaran dan solusi, bukan beban. Tentu agar pemuda bisa berubah menjadi lebih baik, lebih kritis dan tidak mudah terbawa arus penjajahan ideologi kapitalisme.

Inilah kondisi di mana semakin rapuhnya mental pemuda akibat gempuran kapitalisme sekular dari berbagai sudut. Pemuda kita tidak akan bisa terselamatkan jika kita berdiam diri, mayarakat pun apatis, dan negara tidak mengambil peran dalam upaya menyelamatkan mereka.

Islam memandang manusia secara utuh dan menyeluruh. Karena itu pembangunan manusia tidak hanya pada aspek fisik namun juga mental dan menjadikan akidah Islam sebagai asas, sehingga menghasilkan manusia tangguh, sabar, tidak mudah rapuh, dan beriman pada hari akhir.

Kita tengok ketika peradaban Islam merajai dunia, bahwa Islam dipakai tidak hanya dalam lingkup keluarga dan masyarakat, namun juga sampai dalam lingkup negara.

Peradaban Islam yang pernah berjaya selama 13 abad lebih telah banyak mencetak pemuda-pemuda hebat yang berguna untuk agama, bahkan negara.

Seperti Abbas ibn Firnas (Penemu pesawat terbang yang dihormati dengan didirikannya Bandara Ibn Firnas), Al-Khawarizmi (Pencipta sistem penomoran yang masih digunakan hingga sekarang dan dikenal sebagai Bapak Aljabar Dunia), Al-Biruni (Ahli matematika asal Turkmenistan yang menulis lebih dari 120 buku tentang ilmu matematika, geometri, dan teorema Archimedes), Muhammad Al Fatih (Penakluk Konstantinopel) sekarang disebut Istanbul Turki, dan masih banyak lagi.

Di usia mereka yang masih tergolong sangat muda sudah menghasilkan karya dan pencapaian yang sangat besar. Sampai-sampai mata dunia terbelalak dengan prestasi mereka, apalagi di masa itu teknologi belum secanggih sekarang ini namun mereka mampu bergerak dan berkembang menciptakan karya fenomenal.

Layaknya Muhammad Al Fatih di usia 21 tahun sudah berhasil menaklukkan kota Konstantinopel sekaligus mengakhiri riwayat Kekaisaran Romawi Timur. Konstantinopel yang ditaklukkan oleh Sultan Muhammad Al Fatih pada tahun 1453 memiliki beberapa karakteristik, di antaranya:

Kota yang dibangun oleh Kaisar Romawi Timur, Constantine I, pada tahun 330, ibu kota Bizantium dan pusat agama Kristen, Kota yang sangat strategis, terletak di antara batas Eropa dan Asia, kota yang dikelilingi oleh Teluk Bosporus, Laut Marmara, dan Teluk Emas, kota yang memiliki pertahanan yang sangat kuat, seperti dinding kecil yang didirikan oleh Konstantinus I dan Tembok Theodosian, dan kota yang dijaga oleh rangkaian rantai besi sehingga armada kapal laut yang hendak masuk selalu tertahan.

Muhammad Al-Fatih menaklukkan Konstantinopel dengan strategi yang terencana dan matang. Beberapa strategi yang diterapkan di antaranya: Memperkuat angkatan perangnya menjadi 250.000 pasukan dan 400 kapal laut, membuat benteng Anaduli Hisar dan Rumilia Hisar, mengadakan perjanjian dengan beberapa musuhnya, dan mengumpulkan informasi, mengintai, dan mengawasi Konstantinopel.

Penaklukan Konstantinopel oleh Muhammad Al Fatih menandai berakhirnya abad pertengahan.

Banyak hal yang perlu kita contoh dari peradaban Islam, salah satunya melahirkan generasi emas peradaban. Oleh karena itu, menginginkan kembali suasana dan kehidupan Islam tidak diraih dengan usaha yang mudah, perlu perjuangan dan niat yang kokoh.

Individu, masyarakat dan negara harus bersinergi untuk menciptakan kehidupan tersebut agar bangsa dan dunia yang kita cintai ini bisa berjaya dan diberkahi oleh Allah SWT. Wallahu a’lam bi ash-shawab.[]

Comment