Penulis: Eno Fadli | Pemerhati Kebijakan Publik
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Fenomena Fomo atau Fear of Missing Out merupakan fenomena yang menjangkit generasi milenial yang merupakan kelompok usia kelahiran 1981 sampai 1996 dan generasi Z dengan kelompok usia yang lahir antara tahun 1997 sampai 2012. Di mana generasi ini berada pada saat era teknologi digital dalam keadaan berkembang pesat, sehingga memudahkan penggunanya mengakses platform untuk mendapatkan apa saja yang dibutuhkan dan juga dapat memenuhi gaya hidup mereka.
Kemudahan pada era digital ini juga dirasakan pada aspek komunikasi, pengguna media sosial dapat dengan mudah berinteraksi dengan sesama pengguna lainnya dengan cara online, dan dapat berlangsung secara intens.
Realitanya bukan saja kemudahan yang dirasakan, namun ada masalah baru yang terjadi pada pengguna sosial media. Pada sebagian besar individu dan komunitas yang menggunakan sosial media secara intens, mereka terpaku pada interaksi di sosial media, sehingga hal ini dapat menimbulkan tekanan sosial yang akan mempengaruhi kehidupan sosial mereka.
Keadaan ini menyebabkan pengguna sosial media merasa harus terhubung dan terlibat dalam aktivitas yang terjadi di sosial media, hal ini berdampak pada kesehatan mental yang menimbulkan rasa cemas, depresi dan tidak percaya diri ketika mereka tidak bisa update dalam perkembangan sosial media.
Dalam kondisi tekanan secara mental inilah, yang menyebabkan pengguna sosial media merasa harus mengetahui tren terbaru, baik itu dalam fashion, acara, tempat ataupun mengetahui kondisi yang sedang trending topik saat ini.
Gejala sosial inilah yang disebut fenomena Fomo. Menurut Sunyoto Usman, seorang Sosiolog, individu atau komunitas yang terjangkit Fomo akan berperilaku narsistik, di mana merasa dirinya lebih dari orang lain dan kerap menunjukkan kehidupan dan kelebihannya di sosial media.
Ketika individu dan komunitas tersebut mengalami Fomo, mereka akan merasa harga diri dan statusnya naik sehingga lebih menonjol dari orang lain (Kompas.com, 21/09/2024).
Bahkan untuk menonjolkan diri dan menaikkan harga diri, individu dan komunitas yang terjangkit Fomo tidak peduli finansial mereka terganggu demi terpenuhinya keinginan dari gaya hidup hedonis tersebut. Mereka membeli barang atau melakukan aktifitas yang sedang trend dengan cara menggunakan aplikasi fintech termasuk dompet digital, layanan pinjaman dan pembayaran digital setiap hari.
Berdasarkan laporan Lokadata.id, sebanyak 78 persen generasi milenial dan gen z menggunakan aplikasi fintech, dan salah satu layanan fintech yang paling banyak digunakan adalah Buy Now Pay Later (BNPL), (Kompas.com, 16/10/2024).
Sehingga ketika hal ini dilakukan tanpa perhitungan dan berlebihan akan menyebabkan mereka terjerat utang, dan menjadi generasi muda gemar berhutang.
Tentunya menjadi pertanyaan untuk kita semua, bagaimana bisa perilaku seperti ini menjadi sesuatu yang disenangi generasi saat ini, dan menjadikan mereka latah dalam segala kondisi.
Tentunya jika dilihat dari kaca mata sekuler kapitalisme yang diadopsi kaum muslimin saat ini, menjadi hal yang wajar kondisi dan potensi generasi hilang dibajak oleh sistem yang ada. Padahal potensi generasi muda merupakan kekuatan yang dibutuhkan untuk menjadi agen perubahan dan peradaban yang cemerlang.
Dalam sistem sekuler kapitalisme kebahagiaan itu diukur dengan besarnya kesenangan yang bersifat jasmaniyah. Kemewahan materi dan pengakuan di tengah masyarakat sebagai standar kesenangan dan kebahagiaan. Walhasil lahirlah generasi minim potensi yang hanya mengejar kesenangan semu semata.
Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban negara untuk menggali potensi pada generasi muda. Menjadikan pendidikan sebagai sarana bangkitnya potensi tersebut dengan kurikulum berasaskan akidah. Dengan begitu, generasi akan memiliki kepribadian islami.
Dengan kepribadian ini mereka menyadari bahwa sikap dan tingkah laku mereka terikat pada hukum syara’. Begitupun dengan kepemilikan harta dan dalam penggunaannya, meskipun harta tersebut milik individu namun dengan penanaman akidah akan menyadari hakikat pemilik harta adalah Allah SWT, dan sudah seharusnya dalam perolehan, pembelanjaan dan pengembangan harta diatur oleh agama.
Kesadaran tersebut tidak muncul dalam penerapan sistem sekuler kapitalisme yang menjauhkan aturan agama dari kehidupan, sehingga dalam penggunaan harta. Setiap individu bebas membelanjakan harta yang berdampak pada perilaku konsumtif demi pengakuan di tengah masyarakat.
Selain mengatur urusan rakyat, negara juga mempunyai kewajiban menjaga rakyatnya dari perbuatan yang melanggar hukum syariat.
Hal ini bisa dilakukan engan membersihkan bahkan menutup setiap aplikasi media sosial yang dapat merusak dan engambil manfaat perkembangan teknologi dengan menyiarkan informasi yang mengedukasi kebaikan sesuai dengan tujuan pendidikan yakni membentuk kepribadian Islam dan mencetak generasi mandiri dengan skill yang berguna untuk mereka menjalankan misi kehidupan.
Oleh karena itu Fomo bukan saja merupakan fenomena yang menunjukkan krisis jati diri pada generasi, namun juga menunjukkan lemahnya pengaturan dan penjagaan negara dalam sistem sekuler kapitalisme, sehingga menjadikan potensi generasi terbajak.
Oleh karena itu untuk menjadikan potensi generasi berkembang dan berkualitas sudah seharusnya kembali pada satu-satunya sistem sempurna yang berasal dari wahyu yang sudah teruji selama 14 abad.
Dengan sistem Islam lahirlah individu berkualitas dalam segala aspek. Lahirnya para ahli yang keilmuan dan penemuan mereka di masa kejayaan Islam masih menjadi rujukan peradaban barat sampai saat ini. Wallahu a’lam bishshowab.[]
Comment