Penulis: Hemi Nurul Afifah, S.Pd.I |
Guru Matematika SMK, Founder MT. Khairu Mustanirah, Pemerhati Remaja
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Dalam kurun waktu beberapa bulan terakhir banyak sekali berita tentang guru, bukan hanya berita kenaikan gaji yang digadang- gadang Prabowo Subianto, atau piloting PPG Program kerja dari bapak menteri terdahulu. namun pemberitaan pelaporan guru ke polisi.
Sebut saja kasus yang viral yang dilansir dari kompas.com, kasus guru honorer Supriyani (37) asal Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara yang diduga memukul muridnya, masih terus bergulir. Kasus ini berawal ketika Supriyani diduga memukul muridnya di SD Negeri 4 Baito, Kecamatan Baito, Konawe Selatan dengan sapu ijuk hingga memar pada 24 April 2024.
Sang murid merupakan anak dari Ajun Inspektur Dua (Aipda) Hasyim Wibowo, Kepala Unit Intelijen Polsek Baito. Meski Supriyani membantah tuduhan itu, orangtua korban justru melaporkannya ke Polsek Baito. Kasus masih bergulir hingga sekarang.
Seorang guru dianiaya di Bengkulu. Ketika itu seorang guru bernama Zaharman memberi hukuman kepada salah seorang siswanya lalu orang tua yang tidak terima anaknya dihukum, datang ke sekolah lalu mengketapel mata guru tersebut hingga buta dan ini tidak menjadi satu- satunya berita mengenai kriminalitas terhadap guru.
Mengapa ini bisa terjadi? Apa penyebab orang tua begitu mudah melaporkan guru yang mendidik anak mereka? Pendidikan di indonesia sering sekali mengalami perubahan kurikulum sejalan bergantinya menteri. Sala satunya adalah kurikulum Merdeka, warisan Nadhiem Makarim
Banyak sekali yang salah kaprah mengartikan makna merdeka pada kurikulum ini. Banyak yang mengira bahwa “merdeka” berarti siswa atau guru bisa bebas melakukan apa saja tanpa batasan atau aturan. Padahal, yang dimaksud dengan “merdeka” di sini adalah kebebasan dalam memilih dan menerapkan metode pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan, potensi, dan minat siswa.
Ada prinsip keterarahan dan rambu-rambu yang tetap harus diikuti dalam kurikulum Merdeka, yang bertujuan agar siswa bisa belajar dengan lebih bermakna dan relevan dengan kehidupan.
Dalam sistem hari ini, guru menghadapi dilema dalam hal mendidik siswa. Pasalnya beberapa upaya dalam kaitan mendidik siswa sering disalah artikan sebagai tindak kekerasan terhadap anak. Hal ini terjadi karena ada UU perlindungan anak, sehingga guru rentan dikriminalisasi.
Isi Undang-Undang Perlindungan Anak di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002. Undang-undang ini mengatur hak-hak anak dan berbagai upaya untuk melindungi mereka dari kekerasan, eksploitasi, diskriminasi, dan perlakuan tidak manusiawi.
Berikut adalah beberapa poin penting dari Undang-Undang Perlindungan Anak, salah satu pointnya adalah anak memiliki hak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Makna kekerasan dalam konteks Undang-Undang Perlindungan Anak di Indonesia adalah kekerasan terhadap anak merujuk pada tindakan yang menyebabkan anak mengalami penderitaan, baik secara fisik, psikis, seksual, maupun penelantaran yang berdampak buruk bagi tumbuh kembangnya.
Definisi ini mencakup berbagai bentuk kekerasan yang bisa merugikan anak dalam jangka pendek atau jangka panjang. Orang tua lupa ketika guru hanya fokus dengan materi ajar dan capaian tanpa mendidik anak- anak merupakan bentuk penelantaran yang sesungguhnya.
Guru tak acuh dengan pendidikan adab anak- anak di sekolah sejatinya kerugian besar bagi orang tua dalam hubungan pendidikan anaknya. Kesenjangan makna dan tujuan pendidikan antara orang tua, guru dan masyarakat serta negara inilah yang menjadi penyebab melencengnya tujuan pendidikan itu. Masing- masing pihak memiliki persepsi berbeda terhadap pendidikan anak.
Hal ini berakibat munculnya gesekan antara berbagai pihak termasuk langkah guru dalam mendidik anak tersebut. Dengan demikian, guru pun ragu menjalani peran khususnya terkait adab, etika dan moralitas dalam Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) di kelas.
Islam sangat memuliakan guru. Guru Di Dalam Islam merupakan sosok penjaga ilmu dan pelestari kebudayaan. Pendidikan bukan hanya tentang kemampuan akademis, tetapi juga mencakup aspek spiritual dan moral. Guru menjadi tokoh sentral dalam upaya membentuk akhlak serta membangun karakter siswa yang berpegang pada nilai-nilai Islam.
Guru pada masa kejayaan Islam sangat dijunjung dan dihormati dengan apresiasi gaji atau tunjangan besar dari pemerintah. Guru yang mengajar di lembaga-lembaga pendidikan seperti madrasah, kerap mendapatkan insentif dan kebutuhan mereka dijamin negara.
Selain itu, mereka juga mendapatkan perhatian dari para khalifah (president) dan para dermawan. Kesejahteraan guru tercermin dengan banyaknya peluang dan kesempatan mengembangkan keterampilan dan memperdalam pengetahuan.
Guru adalah profesi yang mulia, dihormati, dan berpengaruh di masyarakat. Mereka sering dimintai pendapat dan diundang dalam kegiatan keagamaan dan kemasyarakatan. Nasihat dan pandangan para guru juga sangat dihargai oleh masyarakat dan bahkan para pemimpin.
Namun pendidikan kini tidak demikian. Hukum yang tumpang tindih antara satu dan lainnya seolah- olah menjadi pembenaran dan perlindungan yang tak berasas.
Hukum tajam ke bawah tumpul ke atas menjadi slogan yang kerap dirasakan para pendidik, tidak diperhatikan, tidak dimakmurkan tidak dihargai dan seringnya menjadi bahan cemoohan.
Sungguh berbanding terbalik ketika pendidikan Islam diterapkan, guru sangat dimuliakan, dihormati, dihargai serta di makmurkan. Wajar saja, sebagai implikasi positif, banyak ilmuan yang lahir pada masa itu.
Maka dari dua perbandingan kondisi itu, sudah saatnya negara memberi pemahaman kepada semua pihak terkait sistem pendidikan Islam.
Pendidikan Islam memiliki tujuan yang jelas dan meniscayakan sinergi semua pihak, sehingga menguatkan tercapainya tujuan pendidikan dalam Islam. Kondisi ini menjadikan guru optimal menjalankan profesi dengan nyaman dan terlindungi secara hukum dalam proses mendidik siswa di kelas. Wallahu a’lam bisshowab.[]
Comment