Penulis: Khansa Maliha | Mahasantri Cinta Quran Center
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Indonesia adalah negeri dengan perairan luas. Berbagai sumber daya air mudah dijumpai dan ditemukan di mana saja. Seperti air yang berasal dari sumber mata air pegunungan, air hujan yang turun dari langit, air sungai yang mengalir melewati berbagai daerah, dan lain sebagainya.
Bahkan menurut data dari goodstats.id pada tahun 2020 sumber daya air di Indonesia mencapai 2.018,7 km³/tahun dan menjadikan Indonesia sebagai negara dengan sumber daya air terbanyak se-Asia Tenggara.
Namun ternyata besarnya sumber daya air yang dimiliki tidak membawa kesejahteraan pada masyarakat di Indonesia, melainkan kesengsaraan.
Dalam upaya mendapatkan air sebagai pemenuhan sehari-hari saja, masyarakat perlu mengeluarkan biaya yang dikabarkan selalu meningkat setiap tahunnya. Akibatnya, membuat pengeluaran masyarakat semakin bertambah di tengah ekonomi yang semakin sulit.
Air Bukan Prioritas
Permasalahan ini merupakan konsekuensi dari proses industrialisasi air yang membuat air menjadi komoditas ekonomi yang diperbolehkan untuk dikomersialisasikan secara umum. Artinya, perusahan-perusahaan swasta diperbolehkan menguasai sumber-sumber air, mengelolanya, hingga menjualnya demi mendapat keuntungan.
Bahkan, berdasarkan data BPS (Badan Pusat Statistik) tercatat sebanyak 543 perusahaan pada tahun 2022 yang menguasai sumber-sumber air.
Dengan modal besar, perusahaan-perusahaan tersebut mampu membeli teknologi canggih untuk menyedot air lebih banyak dan menghasilkan keuntungan yang berlimpah.
Konsep ini menunjukkan bahwa orientasi perusahan hanya untuk mendapat keuntungan besar tanpa memperhatikan dampaknya kepada masyarakat, khususnya di sekitar sumber-sumber air.
Faktor ini menyebabkan masyarakat semakin kesulitan mendapatkan air dan harus mengeluarkan biaya besar untuk memenuhi kebutuhan hidup.
BPS mencatat sebanyak 1.235 desa di wilayah Indonesia berstatus rawan air minum. Penyebabnya adalah kekurangan pasokan air bersih yang memadai dan layak untuk memenuhi kebutuhan.
Padahal air memiliki peran vital bagi masyarakat, yaitu sebagai kebutuhan pokok yang seharusnya setiap individu berhak mengaksesnya tanpa terkendala. Sebab, jika tidak terpenuhi akan berdampak pada kesehatan hingga menyebabkan kematian.
Menurut data Bappenas, sebanyak 31% kematian anak di Indonesia disebabkan oleh diare dan waterborne diseases. Realita tersebut merupakan imbas dari adanya industrialisasi pada kualitas air yang semakin menurun.
Sehingga apabila tidak diselesaikan dengan tuntas, maka akan membawa mudharat atau kerugian besar bagi keberlangsungan hidup manusia, seperti terjadi kelaparan, penyakit menular, hingga kematian.
Ekses Sistem Rusak
Kondisi saat ini wajar terjadi di tengah sistem kapitalisme yang hanya mementingkan keuntungan. Dalam sistem ini, pengusaha berkuasa sehingga apa pun bentuk usahanya, asalkan mampu mendatangkan keuntungan, pasti akan dilakukan, meskipun dengan merampas hak masyarakat sekitar.
Selain merugikan masyarakat, penerapan sistem ini juga menghilangkan peran negara mengurus kebutuhan masyarakat.
Kapitalisme membajak posisi dan peran negara yang sejatinya sebagai regulator menjadi fasilitator demi meraup keuntungan besar kapitalis. Maka, kondisi saat ini berbanding jauh dengan amanat UUD 1945 pasal 33 ayat 3 yang berbunyi:
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Pesan yang terkandung di dalamnya menunjukkan bahwa air sebagai kekayaan alam semestinya dikelola negara dan tidak membolehkan swasta menguasainya, kemudian memberikan kepada masyarakat.
Sebesar apapun upaya yang dilakukan masyarakat tidak akan mampu membuat perusahaan hengkang dari industrialisasi air sebab perundangan dan kebijakan pemerintah pun turut mempermudah para kapitalis.
Kondisi tersebut mengindikasi bahwa negara tidak lagi memperjuangkan dan memprioritaskan kebutuhan masyarakat.
Bahkan boleh dibilang sangat mustahil bagi pemerintah memperbaiki atau menyediakan kebutuhan masyarakat terhadap air. Kalau pun ada, dapat dipastikan sifatnya sementara dan selanjutnya akan melibatkan pihak swasta yang seringkali mengorbankan kepentingan masyarakat.
Pengelolaan Air Dalam Islam
Sebagaimana dipahami, air merupakan kebutuhan dasar setiap individu. Bahkan air menjadi hajat asasi yang jika tidak terpenuhi akan membawa mudharat atau kerugian besar bagi keberlangsungan hidup manusia, seperti terjadi kelaparan, penyakit menular, hingga kematian.
Namun kondisi tersebut tidak mampu terjamin dalam sistem kapitalisme yang memandang air sebagai komoditas ekonomi, sehingga privatisasi diperbolehkan.
Hal ini berbeda dengan Islam yang memposisikan air sebagai kepemilikan umum, sehingga tidak boleh untuk dikuasai oleh segelintir orang.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Muslim berserikat dalam tiga hal: padang gembalaan, air, dan api.” (HR Abu Dawud). Maka, dalam hadis tersebut menunjukkan bahwa air merupakan harta milik umum, bukan milik individu atau sebuah lembaga tertentu.
Oleh karena itu, dalam pengelolaannya harus diatur oleh pemerintah demi kemaslahatan rakyat. Negara akan berupaya memanfaatkan berbagai kemajuan sains dan teknologi, serta melibatkan berbagai pakar yang ahli di bidang terkait untuk dapat berkiprah bagi umat dan rakyat.
Dari sini dapat dilihat bahwa negara memastikan setiap rakyat mendapatkan air yang cukup dan layak. Dengan begitu rakyat akan terhindar dari berbagai penyakit.
Meskipun begitu, apabila pada pelaksanaannya memerlukan bantuan pihak swasta, maka negara akan mengganti biaya dan mengupahnya, bukan menyerahkan pengelolaan sepenuhnya kepada swasta seperti sistem kapitalisme. Sehingga kebutuhan rakyat dapat terjamin tanpa perlu mengeluarkan biaya.
Adapun sumber-sumber air dibuat tidak jauh dari tempat tinggal rakyat, seperti pembuatan bendungan, danau, kolam penampungan air, dsb. Dengan begitu, diharapkan rakyat tidak akan mengalami kesulitan mendapatkan air. Sedangkan pembiayaan diambil dari Baitul Maal, yaitu sebuah lembaga pengurus keuangan di dalam Islam.
Sumber pemasukan Baitul Maal memiliki beberapa pos, seperti jizyah, kharaj, fai, ghanimah, harta tidak bertuan, dsb. Kemudian pemasukan dari hasil pengelolaan SDA, seperti pengelolaan minyak, gas, hutan, lautan, perikanan, dsb.
Berbagai tindakan tersebut merupakan bentuk tanggung jawab negara dalam mengurus kebutuhan rakyat. Bahkan negara memberikan sanksi bagi siapapun yang melanggar peraturan-peraturan, termasuk melakukan tindak privatisasi pada sumber daya alam.
Dengan demikian persoalan krisis atau ketersediaan air dapat diselesaikan secara tuntas dengan menerapkan syariat Islam dalam pengelolaan air. Kepemilikan air dikembalikan seutuhnya menjadi kepemilikan umum dan melarang segala bentuk monopoli, termasuk kapitalisasi yang berorientasi keuntungan semata.
Selain itu, pengelolaan air diatur dan dikelola oleh negara. Penerapan sistem ekonomi Islam secara menyeluruh tentu akan membuat masyarakat menjadi sejahtera dan mendorong rakyat untuk fokus dalam beribadah dan beramal. Wallahu ’alam bishowab.[]
Comment