Penulis: Sarah Ainun | Pegiat Literasi
RADARIRDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Dunia internasional diguncang oleh skandal besar yang melibatkan banyak artis terkenal dari industri hiburan global, termasuk idol K-pop dan selebriti Hollywood. Kasus ini menyeret seorang repper dan figur publik K-pop, P Daddy, yang diduga sebagai otak di balik jaringan seks bebas yang melibatkan hubungan sesama jenis maupun lawan jenis dengan unsur paksaan atau kekerasan, tekanan psikologis, dan eksploitasi.
Lebih parah lagi, banyak korban adalah anak di bawah umur yang dipaksa terlibat. Skandal ini melibatkan beberapa artis ternama sebagai pelaku, sementara sebagian lainnya menjadi korban.
Sementara tidak kalah mencengankan kasus predator dan pedofil pada anak di bawah umur yang terjadi di negeri ini sudah sangat mengkhawatirkan.
Seperti dilansir dari kompas.com (10/10/2024), seorang guru les (E) di Yokyakarta, Sleman, melakulan pencabulan terhadap 22 anak laki-laki yang dominan masih berada di bawah umur, dan berdasarkan hasil penelusuran, pelaku juga merupakan korban sodomi saat masih kecil.
Begitupun tak kalah bejatnya apa yang dilakukan oleh Sudirman Kepala Yayasan Panti Asuhan Darussalam An Nur, di Kecamatan Pinang, Kota Tangerang, Banten.
Sudirman memiliki penyimpangan orientasi seksual sesama jenis. Bersama dua orang pengurus panti yang juga merupakan anak didiknya sejak kecil — dan juga korban pelecehan seksual oleh Sudirman- pada akhirnya setelah dewasa menjadikan mereka juga sebagai penyuka sesama jenis.
Mereka bekerja sama melakukan tindakan bejat dan keji dengan mencabuli puluhan anak asuhnya di dalam panti yang semua laki-laki dan dominan masih di bawah umur (liputan6, 16/10/2024).
Pelecehan seksual terhadap anak adalah salah satu bentuk kekerasan paling merusak yang dapat meninggalkan dampak jangka panjang, baik secara fisik, emosional, psikologis dan sosial. Secara fisik, anak-anak berada dalam posisi yang lemah ketika harus berhadapan dengan orang dewasa yang memiliki kekuatan lebih besar.
Ketidakmampuan mereka untuk melawan atau membela diri membuat anak-anak mudah dijadikan target oleh para predator seksual. Selain itu, dari segi psikologis, anak-anak cenderung mudah dimanipulasi dan diintimidasi.
Para pelaku sering kali menggunakan berbagai cara untuk menakut-nakuti atau memanipulasi korban agar mereka tidak melaporkan tindakan kekerasan tersebut.
Selanjutnya, dampak dari pelecehan seksual yang dialami dalam jangka waktu lama saat masih kecil sering mempengaruhi cara seseorang memandang dunia dan interaksi dengan orang lain.
Jika anak tumbuh di lingkungan yang tidak mendukung, di mana kekerasan atau pelecehan dianggap hal biasa, mereka mungkin menganggap perilaku itu normal atau bisa diterima.
Akibatnya, mereka bisa memiliki pandangan yang salah tentang hubungan seksual dan batasan dengan orang lain, yang dapat meningkatkan risiko menjadi pelaku pelecehan ketika dewasa.
Salah satu teori yang menjelaskan mengapa beberapa korban pelecehan seksual menjadi pelaku di kemudian hari adalah teori pembelajaran sosial, di mana anak-anak belajar dari lingkungan di sekitar mereka. Mereka secara tidak sadar meniru atau mereplikasi apa yang pernah mereka alami sebagai korban.
Menurut teori ini, individu cenderung mengulangi perilaku yang mereka lihat atau alami, terutama jika perilaku tersebut tidak dihentikan. Seiring waktu, perilaku ini bisa dijadikan “model” yang mereka terapkan dalam hubungan di masa depan.
Namun ketika mereka mengalami trauma yang tidak terselesaikan, cenderung membawa trauma tersebut ke masa dewasa.
Jika trauma ini tidak diatasi atau diterapi dengan baik, korban mungkin akan mengekspresikan kembali pengalaman traumatis mereka melalui perilaku yang sama, serta perasaan dendam yang mereka alami, mendorong mereka melampiaskan kemarahan atas pelecehan yang pernah mereka terima. Akibatnya, ketika mereka dewasa, mereka dapat mengulangi pola tersebut pada orang lain.
Fenomena ini disebut sebagai “siklus kekerasan seksual,” di mana korban kekerasan atau pelecehan mengulangi tindakan tersebut terhadap orang lain. Maka apa yang dilakukan oleh si bejat P. Diddy dan Sudirman cs merupakan kejahatan yang merusak masa depan generasi, dengan menciptakan dan memperbanyak kaumnya yaitu pelaku penyimpangan orientasi seksual sesama jenis serta menjadi predator kekerasan seksual terhadap anak di kemudian hari.
Kasus pelecehan terhadap anak yang terbongkar dan tidak muncul ke permukaan karena para pelakunya berhasil menyembunyikan tindakan bejat dan keji mereka dalam waktu yang sangat lama.
Yang membuat kasus ini semakin memprihatinkan adalah para pelaku menggunakan agama sebagai kedok, mengaburkan identitas asli mereka dengan citra kesalehan.
Mereka mencederai citra lembaga-lembaga yang seharusnya menjadi tempat paling aman dan penuh perlindungan bagi anak-anak, seperti panti asuhan dan sekolah-sekolah agama, justru menjadi ruang di mana kekejian terjadi dalam diam.
Lebih mengerikan, kasus yang terungkap ini hanya mewakili sebagian kecil dari permasalahan yang sebenarnya. Sangat mungkin ada lebih banyak korban yang belum berani atau belum dapat mengungkapkan apa yang telah mereka alami.
Predator seksual yang memanfaatkan kelemahan dan kerentanan anak-anak masih berkeliaran bebas, bersembunyi di balik topeng kebaikan dan kesalehan yang mereka pamerkan kepada dunia luar.
Maka, mengapa begitu banyak kasus pelecehan terhadap anak di lingkungan yang seharusnya aman, seperti sekolah-sekolah agama dan panti asuhan, baru terungkap setelah sekian lama, dan bagaimana kita bisa memastikan para predator ini dihukum serta mencegah kasus serupa terulang di masa depan?
Sementara Islam sebagai agama yang pemeluknya mayoritas di negeri ini adalah satu-satunya agama yang paling tegas mengharamkan perilaku penyimpangan orientasi seksual sesama jenis (perilaku kaum Nabi Luth) apalagi zina yang digambarkan sebagai perilaku keji oleh Al-Qur’an, sebagaimana firman Allah Swt:
Tafsir Qur’an surat Al-Isra ayat 32 menjelaskan, dan janganlah kamu mendekati zina dengan melakukan perbuatan yang dapat merangsang atau menjerumuskan kepada perbuatan zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji, yang mendatangkan penyakit dan merusak keturunan, dan suatu jalan yang buruk yang menyebabkan pelakunya disiksa dalam neraka.
Maraknya predator seksual pada anak adalah masalah kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Lemahnya keimanan individu, buruknya interaksi sosial dalam masyarakat, serta minimnya peran negara memberikan perlindungan efektif adalah beberapa faktor utama yang berkontribusi terhadap fenomena ini.
Faktor ini merupakan hasil atau dampak dari kehidupan individu dan masyarakat di bawah sistem sekuler yang diterapkan oleh negara.
Untuk membentuk individu yang memiliki karakter sesuai dengan nilai-nilai yang dianut di tengah masyarakat, sistem pendidikan menjadi kunci utama dalam proses tersebut. Namun, ketika sistem pendidikan dijalankan dalam kerangka sekuler, di mana agama dipisahkan dari kehidupan, visi dan misi pendidikan pun akan berlandaskan nilai-nilai sekuler.
Pendidikan moral dan agama tidak terintegrasi dalam kurikulum, melainkan hanya dijadikan pelengkap mata pelajaran yang diajarkan. Akibatnya terciptalah manusia yang hanya cerdas secara inteklektual tetapi lemah secara spiritual.
Demikian pula, masyarakat yang menganut nilai-nilai sekuler dalam mengatur sistem interaksi sosial. Agama dan kepercayaan tidak memiliki pengaruh langsung dalam urusan publik dan kehidupan sehari-hari sehingga tercipta masyarakat yang cenderung memiliki karakter individualistik.
Buruknya sistem interaksi sosial dalam sebuah masyarakat juga turut berperan memunculkan predator seksual.
Interaksi sosial yang tidak sehat, di mana kontrol sosial lemah dan kepekaan terhadap sesama rendah, dapat membuka peluang bagi pelaku untuk beraksi tanpa terdeteksi.
Dalam masyarakat yang kurang peduli satu sama lain, orang cenderung menutup mata terhadap tanda-tanda kekerasan atau pelecehan, membuat predator merasa aman dalam melancarkan aksinya.
Maka, untuk mencegah dan menghentikan munculnya predator-predator baru yang dapat mengancam anak di mana pun mereka berada, kita perlu meninjau kembali sistem kehidupan yang mampu membentuk karakter individu dan masyarakat sesuai dengan nilai-nilai moral mulia.
Hal ini, sangat penting dalam upaya membangun peradaban mulia dan berkelanjutan.
Sistem Islam menjadi satu-satunya pilihan yang tepat untuk diterapkan sebagai aturan yang mengatur kehidupan individu, masyarakat, maupun negara dengan penerapan syariat secara menyeluruh di setiap aspek kehidupan.
Allah Swt menjadikan Islam sebagai agama yang sempurna, tidak hanya mengatur kehidupan di ranah ibadah, tetapi juga menurunkan syariat yang mengatur seluruh aspek kehidupan, seperti sistem ekonomi, politik, kesehatan, sosial, pemerintahan, hubungan dalam dan luar negeri, serta sistem pendidikan.
Dalam pandangan Islam, pendidikan harus terintegrasi antara syariat dan ilmu pengetahuan, artinya ilmu pengetahuan dilihat dari perspektif Islam dan diselaraskan dengan prinsip-prinsip syariat dalam setiap aspek kurikulum.
Dengan menjadikan syariat sebagai landasan, sistem pendidikan Islam bertujuan membentuk individu yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi.
Visi dan misinya adalah mencetak generasi di mana setiap keputusan dan tindakan dilandasi oleh ajaran Al-Qur’an dan Sunnah, sehingga terbentuk individu yang beriman, bertakwa, dan memiliki akhlak mulia.
Islam juga mengatur interaksi sosial berdasarkan hukum-hukum yang jelas, diambil dari Al-Qur’an dan Sunnah, yang diterapkan dengan prinsip amar ma’ruf nahi munkar (memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran).
Prinsip ini berfungsi sebagai mekanisme kontrol sosial yang memastikan setiap individu dan masyarakat menjalankan kewajiban untuk saling mengingatkan dan mencegah tindakan serta perilaku yang menyimpang dari syariat.
Dengan demikian, masyarakat dalam sistem sosial Islam menjadi lebih proaktif menjaga kesucian moral dan melindungi individu-individu yang rentan, seperti anak-anak, dari kejahatan yang mengintai.
Meskipun Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang digadang-gadang dapat melindungi setiap warga negara dari kejahatan kekerasan seksual, faktanya undang-undang tersebut belum mampu menurunkan, apalagi mencegah, angka kasus predator seksual terhadap anak.
UU TPKS ini pada dasarnya hanya fokus melindungi korban, namun belum memberikan efek jera yang cukup bagi pelaku dan tidak mampu mencegah kemunculan predator-predator baru.
Sementara itu, selain peran masyarakat, negara dalam konsep Islam juga memiliki tanggung jawab besar menerapkan syariat untuk melindungi rakyatnya.
Negara dalam konsep Islam bertugas menjaga moralitas masyarakat dan memastikan bahwa hukum-hukum Allah diterapkan secara menyeluruh. Ini termasuk memberikan sanksi tegas terhadap pelaku kejahatan seksual dan predator yang mengancam keamanan anak-anak.
Negara dengan konsep Islam akan menegakkan hukum hudud dan ta’zir yang diambil langsung dari syariat untuk memberikan efek jera kepada para pelaku kejahatan.
Dengan penegakan hukum yang adil dan tegas, masyarakat akan merasa aman, dan individu-individu yang rentan akan terlindungi dari ancaman kejahatan.
Oleh karena itu, peran negara dalam menegakkan syariat secara menyeluruh dan sempurna sangat penting untuk memastikan bahwa kejahatan-kejahatan, seperti predator seksual, tidak memiliki tempat di masyarakat.
“Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk [melaksanakan] agama [hukum] Allah jika kamu beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Hendaklah [pelaksanaan] hukuman atas mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang mukmin,”(QS. An-Nur [24]:2).[]
Comment