Menyoal Tunjangan Rumah Dinas DPR

Opini99 Views

 

 

Penulis: Isnaini, S.I.Kom | Aktivis Muslimah

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Masyarakat tengah dibuat geram dengan adanya kebijakan pemberian tunjangan perumahan bagi anggota DPR 2024-2029. Pasalnya, menurut ICW (Indonesian Corruption Wacth) kebijakan tersebut telah menelan pemborosan uang negara yang tidak berpihak pada kepentingan publik.

Adapun total pemborosan uang negara sebagaimana ditulis kompas.com adalah sekitar Rp1,36 hingga Rp2,06 triliun dalam jangka waktu 5 tahun ke depan.

ICW menilai pemberian tunjangan perumahan bagi anggota DPR 2024-2029 tersebut tidak memiliki perencanaan karena besarnya pemborosan uang negara akibat tunjangan tersebut. Selain itu, pemberian tunjangan juga hanya akan memperkaya anggota dewan secara pribadi. Bagaimana tidak, tunjangan tersebut ditransfer ke rekening masing masing anggota dewan.

Sementara itu, sulitnya pengawasan akan menjadi dampak dari peralihan rumah fisik ke tunjangan yang tentu berpotensi terhadap penyalahgunaan. Pemberian fasilitas rumah dinas bagi anggota DPR harus melihat esensi awalnya, yaitu untuk menunjang kinerja mereka. Mengingat tunjangan rumah dinas ini berasal dari anggaran negara yang bersumber dari pajak masyarakat.

Tentunya, aspek pengelolaan dan pertanggung-jawaban sangatlah penting dan memiliki urgensi yang lebih dari sekedar fleksibilitas yang diargumentasikan oleh sekjen DPR.

Pada dasarnya, DPR berfungsi bekerja untuk menyalurkan aspirasi rakyat. Namun jika melihat realita sebelumnya banyak sekali produk Undang Undang yang tidak melibatkan rakyat dalam pembuatannya, apakah mungkin harapan menyalurkan aspirasi rakyat kali ini dapat terwujud?

Sementara itu, sekitar rakyat atau warna negara yang sulit memiliki rumah dan masih di bawah garis kemiskinan. Belum lagi dibebankan dengan iuran Tapera dan pekerja. Makin ironis kalau DPR malah justru memperkaya diri sendiri dengan berbagai bentuk tunjangan.

Fakta di atas, sangat jauh berbeda dengan majelis Ummah yang ada di dalam Islam. Islam memiliki majelis Ummah yang berperan untuk mewakili suara rakyat dengan penuh kesadaran dan kontrol iman. Tidak pula berharap tunjangan dan fasilitas rumah dinas. Mereka tidak memiliki motivasi aji mumpung untuk menikmati fasilitas negara, apalagi menuntut hak istimewa maupun memperkaya diri.

Majelis Ummah dengan penuh kesadaran menjalankan tugasnya sebagai wakil ummat dan mewujudkan kesejahteraan ummat. Fokus mewujudkan harapan yang mereka ketahui semua itu akan dipertanggung jawabkan di hadapan Allah.

Posisi Majelis Umat ini jelas berbeda secara diametral dengan para wakil rakyat di dalam sistem demokrasi. Ini terlihat jelas dari peran mereka.

Dalam sistem demokrasi, wakil rakyat memiliki peran untuk melegislasi hukum perundang-undangan dan menetapkan anggaran. Fungsi ini tidak terdapat dalam Majelis Umat. Mereka mewakili umat murni dalam rangka melakukan muhasabah (mengontrol dan mengoreksi) para pejabat pemerintahan (al-hukkam) serta syura (musyawarah).

Begitu juga hal yang harus kita ingat, bahwa anggota Majelis Umat bukanlah pegawai negara yang berhak menerima gaji. Jika ada hal-hal yang perlu dianggarkan untuk menunjang kinerjanya, itu berupa santunan dalam jumlah yang secukupnya saja, tidak seperti tunjangan para anggota dewan yang jumlahnya fantastis.

Dengan demikian, perwujudan wakil rakyat yang benar benar akan menghantarkan kesejahteraan rakyat hanya akan didapat di dalam Islam. Dengan landasan amar ma’ruf nahi munkar, semua orang akan berlomba lomba mewujudkan kebaikan menerapkan nilai dan syariat Islam. Wallhu a’alam bisshawab.[]

Comment