Krisis Ekonomi: Deflasi dan Tantangan Kesejahteraan Rakyat

Opini132 Views

 

Penulis: Indha Tri Permatasari, S. Keb., Bd. | Aktivis Muslimah

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Tahun ini, Indonesia menghadapi deflasi berulang dan menjadi alarm bagi perekonomian nasional. Deflasi sebesar 0,12% yang tercatat oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada September 2024 adalah yang kelima pada tahun ini dan merupakan yang terparah selama lima tahun pemerintahan Joko Widodo.

Deflasi, yaitu penurunan harga barang dan jasa secara berkelanjutan. Menurut ekonom Muhammad Andri Perdana, meskipun tampak menguntungkan bagi konsumen, sebenarnya menunjukkan penurunan pendapatan masyarakat.

Penurunan harga ini bukan disebabkan karena masyarakat memilih untuk berhemat, melainkan karena daya beli mereka telah berkurang. Hal ini menciptakan urgensi untuk mengidentifikasi akar masalah dan menemukan solusinya agar deflasi dapat segera diatasi.

Salah satu penyebab utama deflasi adalah pemutusan hubungan kerja (PHK). Menurut Kementerian Ketenagakerjaan, sebanyak 53.993 tenaga kerja terkena PHK per 1 Oktober 2024, dan jumlah ini diperkirakan akan terus meningkat.

Banyak perusahaan terpaksa melakukan PHK massal akibat kondisi keuangan yang memburuk. Menurunnya daya beli masyarakat juga mengurangi pemasukan perusahaan, sehingga mereka harus memangkas biaya dengan merumahkan karyawan.

Faktor lain yang memperburuk situasi adalah minimnya lapangan kerja di sektor padat karya. Dalam lima tahun terakhir, hampir tidak ada peluang kerja baru di sektor ini. Kebijakan pemerintah yang lebih memprioritaskan investasi di sektor padat modal, yang dianggap lebih aman, semakin memperparah masalah ini. Akibatnya, banyak orang beralih ke sektor informal yang juga mengalami kesulitan.

Dampak dari penurunan daya beli sangat dirasakan. Penurunan harga barang menyebabkan berkurangnya pendapatan perusahaan, yang berujung pada PHK massal.

Banyak masyarakat menderita karena kesulitan memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan dan rasa aman. Kondisi ini berpotensi meningkatkan angka kriminalitas dan masalah sosial lainnya.

Kinerja perekonomian Indonesia sangat bergantung pada konsumsi rumah tangga, dan deflasi mencerminkan penurunan signifikan dalam daya beli.

Kesejahteraan keluarga pun terancam, terutama bagi ibu yang sering kali harus berperan ganda sebagai pencari nafkah dan pengurus rumah tangga. Stres yang dialami ibu dapat mempengaruhi pola pengasuhan dan kesejahteraan anak.

Deflasi yang terus-menerus ini mencerminkan kegagalan pemerintah dalam menangani masalah ekonomi. Kebijakan yang ada sering kali bersifat kontraproduktif. Sebagai contoh, pemotongan gaji dalam program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) dan kenaikan pajak yang terus berlanjut hanya menambah beban masyarakat.

Kondisi ekonomi yang buruk ini tidak terlepas dari sistem kapitalisme yang berlaku. Dalam sistem ini, pemerintah berfungsi sebagai regulator, sementara kepentingan pemodal sering kali lebih diutamakan daripada kesejahteraan pekerja. Banyak kebijakan yang menguntungkan perusahaan namun merugikan pekerja, seperti yang terjadi dalam kasus UU Omnibus Law Cipta Kerja.

Akar masalah deflasi dan penurunan daya beli ini berakar pada sistem ekonomi kapitalisme itu sendiri. Oleh karena itu, banyak yang berpendapat bahwa sudah saatnya mempertimbangkan sistem ekonomi alternatif, seperti sistem ekonomi Islam. Dalam sistem ini, pemerintah berperan aktif dalam menciptakan lapangan kerja dan mengelola sumber daya alam demi kesejahteraan rakyat.

Dengan pendekatan yang lebih holistik, sistem ekonomi Islam dapat menjamin pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, baik pangan, sandang, maupun papan. Negara bertanggung jawab memastikan bahwa semua kebutuhan masyarakat terpenuhi sehingga kesejahteraan rakyat dapat diwujudkan secara menyeluruh.

Sistem ekonomi Islam memiliki beberapa mekanisme untuk menciptakan kesejahteraan rakyat:

Pertama, negara berfungsi sebagai pengelola urusan umat, memastikan kesejahteraan manusia dan membuka lapangan pekerjaan bagi laki-laki yang memiliki kewajiban memberi nafkah. Negara tidak bergantung pada perusahaan swasta, karena Islam melarang penguasaan sumber daya alam (SDA) oleh swasta. Sebagai pengelola SDA, negara dapat menciptakan banyak lapangan pekerjaan.

Kedua, sistem ini menjamin kemandirian ekonomi, bebas dari utang dan pengaruh asing. Kebijakan pemerintah akan fokus pada kepentingan umat, menciptakan lingkungan bisnis yang kondusif.

Ketiga, sumber pendapatan negara yang melimpah dari kepemilikan umum, fai, kharaj, dan zakat akan meningkatkan daya beli masyarakat, memastikan distribusi kebutuhan pokok secara merata.

Keempat, negara juga memberikan santunan kepada keluarga miskin, terutama bagi yang tidak memiliki kepala rumah tangga atau penghasilannya tidak mencukupi. Santunan ini membantu keluarga mencapai kemandirian ekonomi.

Kelima, jaminan pemenuhan kebutuhan pokok dalam Islam mencakup pangan, sandang, dan papan. Negara memberikan bantuan jika masyarakat tidak mampu memenuhi kebutuhan ini sendiri, serta menjamin akses terhadap kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Baitul mal yang kuat akan memastikan bahwa aset umat dikelola oleh negara, bukan oleh swasta.

Semua ini dapat terwujud dengan adanya pemerintahan yang mengimplementasikan sistem ekonomi Islam.[]

Comment