Pendidikan Politik untuk Gen-Z, Perlukah?

Opini70 Views

 

Penulis : Rizki Utami Handayani, S.ST | Pengajar Cinta Quran Center

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Sering kita mendengar Generasi Z, atau lebih familiar dengan sebutan Gen-Z. Mereka memiliki ciri khas tertentu yang unik. Selain itu kita sering pula mendengar nama-nama generasi selain Gen-Z.

Ternyata jika diklasifikasikan berdasarkan tahun lahir, maka bisa menjadi beberapa kategori generasi. Baby boomers yang lahir periode tahun 1940-1959, Gen-X lahir tahun1960-1979, Generasi Y (Millenials) lahir tahun 1980-1994, Gen-Z lahir tahun 1995-2010, Gen Alpha lahir setelah tahun 2010.

Dikutip dari laman kompas.id, pada HUT Indonesia ke-100 pada tahun 2045, Indonesia ditargetkan menjadi negara maju sesuai dengan visi Indonesia Emas 2045.

Pada hari jadi Indonesia ke-100 tersebut, diprediksi bahwa jumlah penduduk di usia produktif (15 tahun sampai dengan 64 tahun) akan lebih besar dibandingkan dengan usia yang non produktif (di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun).

Artinya, Indonesia akan mendapat bonus demografi yang akan berdampak baik pada peningkatan kondisi perekonomian dan akan mengeluarkan Indonesia dari middle income trap.

Namun, kesempatan ini bisa gagal diraih jika penduduk yang berada pada usia produktif tidak bisa menyesuaikan diri dengan berbagai kemajuan informasi dan teknologi pada beberapa dekade mendatang.

Salah satu generasi yang menjadi mayoritas pengisi bonus demografi ini adalah Generasi Z atau Gen Z. Pada tahun 2020 saja, proporsi Gen Z sudah mencapai 27,94 % dari keseluruhan penduduk Indonesia yang berjumlah 270,2 juta jiwa.

Maka dari itu, Gen Z harus mempersiapkan diri sedini mungkin agar bisa menjadi masyarakat yang kompetitif dan menjaga Indonesia tetap on-track menjadi negara maju di tahun 2045 mendatang.

Menurut brainly.id, Gen-Z ini memiliki karakteristik yang unik, baik itu karakteristik yang positif maupun negarif. Karakteristik positif Gen-Z di antaranya adalah melek teknologi, kreatif, lebih bisa menerima perbedaan, peduli terhadap sesama dan senang berekspresi.

Sedangkan Kekuranganya adalah FOMO (Fear Of Missing Out), mudah stres dan cemas dan self proclaim. Karena jumlahnya yang besar maka tentu keberadaan Gen-Z ini sangatlah diperhitungkan. Misalnya terkait bagaimana mereka memandang persoalan politik.

Dilansir dari katadata.co.id, pada gelaran pemilu 2024, 57% dari total pemilih adalah pemilih muda yaitu Gen Z dan Milenial. Dengan jumlah setengah lebih dari total pemilih, preferensi politik anak muda dinilai akan mempengaruhi jalannya dinamika politik menuju pemilu.

Hal ini setidaknya berkaitan dua hal. Pertama, persepsi dan preferensi anak muda terhadap politik secara umum dinilai penting untuk memotret derajat partisipasi politik anak muda. Kedua, persepsi dan preferensi anak muda terhadap aktor politik dinilai akan mempengaruhi strategi kampanye yang digunakan aktor politik menuju pemilu.

Dalam survei ini, nampak bahwa mayoritas derajat partisipasi politik anak muda baru sampai mencoblos saat pemilu. Sedikit anak muda yang ingin menjadi timses capres/parpol dan menjadi anggota partai.

Meskipun begitu, anak muda memiliki penilaian jika parpol & capres ingin dikatakan merepresentasikan anak muda maka mereka harus konsisten menyuarakan kepentingan anak muda. Isu dan jenis kampanye yang menarik atensi anak muda juga terekam dalam survei ini. Selain itu yang tidak kalah menarik adalah bahwa anak muda memiliki kriteria tersendiri terhadap capres cawapres pilihan mereka.

Sudah tepatkah jika partisipasi politik itu cukup sampai pada memilih pemimpin semata?

Jika kita menggunakan Islam sebagai sudut pandang untuk memahami apa itu politik sebenarnya, maka tentu tidak hanya tentang kekuasaan semata, apalagi hanya sekedar terkait memilih pemimpin seperti dalam konteks negara demokrasi. Politik memiliki kesan yang kotor di mata masyarakat, karena terkait dengan kekuasaan.

Dengan berbagai macam kasus yang menimpa para penguasa yang berakhir di jeruji besi, maka semakin antipati masyarakat kepada persoalan politik. Apalagi kita mengenal ungkapan bahwa dalam politik tidak ada kawan sejati, yang ada hanya kepentingan semata. Belum lagi perihal faham politik machiavelis yang menghalalkan segala cara dalam mempertahankan kekuasaan.

Masyarakat semakin antipati lalu akhirnya menjadi apolitis. Padahal tentu memahami politik sangatlah penting, terutama bagi Gen-Z yang akan menjadi pemimpin di masa yang akan dan generasi manapun juga harus berperan, karena politik adalah tentang kepedulian.

Islam sebagai agama yang sempurna memiliki corak politik yang khas. Politik jika ditinjau dari paradigma Islam, bukan hanya tentang kekuasaan, politik adalah tentang suatu aktifitas yang mulia yaitu mengurusi urusan umat dengan Islam.

Islam memiliki konsep politik yang khas, politik dalam negeri dan luar negeri yang komprehensif, sesuai dengan prinsip Islam yang rahmatan lil’alamin. Politik dalam negeri Islam bagi penguasa adalah mengurusi rakyatnya, memastikan kebutuhannya bisa terpenuhi dan menyelesaikan persengketaan di antara mereka.

Sedangkan peran politik rakyat adalah melakukan muhasabah atas apa yang sudah pemerintah lakukan. Politik luar negeri Islam adalah tentang aktifitas dakwah yang mulia, melakukan interaksi positif dengan negara dan umat lain, serta akitifitas yang menjadi mahkota kewajiban kaum muslimin yaitu jihad fisabilillah yang sudah digariskan syariat oleh Allah kepada Rasulullah saw, dan dilaksanakan sepanjang sejarah kaum muslimin, hingga hari kiamat nanti.

Pemahaman umat terhadap politik yang benar sangatlah diperlukan, karena politik adalah tentang seni melihat realita yang sesungguhnya. Bisa membuka jalan kebangkitan bagi umat yang sedang terkungkung penjajahan.

Bila kita renungkan, sejatinya umat Islam belumlah menjadi umat yang merdeka seutuhnya. Penjajahan pemikiran masih melanda umat ini, jumlah generasi muda yang banyak seharusnya menjadi potensi yang besar bagi kebangkitan umat.

Tapi ternyata masih banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan. Memahamkan umat tentang politik Islam. Peduli terhadap kondisi umat yang sedang tidak baik-baik saja, bukan menjadi generasi yang hanya sekedar memikirkan kebahagiaan dirinya sendiri. Karena sejatinya egoisme bertentangan dengan keyakinan seorang muslim.

Seluruh kaum muslimin dari generasi manapun harus memiliki kepedulian terhadap kondisi umat hari ini, tidak terkecuali kaum perempuan. Politik bukan hanya milik orang-orang yang duduk di kursi kekuasaan semata.

Kaum perempuan dalam Islam memiliki peran strategis membentuk generasi yang cinta terhadap agama dan negara yang peduli terhadap sesamanya. Ustadzah Dr. Fika Komara dalam bukunya yang berjudul Muslimah Negarawan, menyampaikan bahwa perempuan memiliki peran luar biasa bagi terwujudnya kebangkitan umat.

Pertama adalah sebagai ibu generasi penakluk, yang kedua sebagai intelektual peradaban dan yang ketiga adalah sebagai penggerak opini Islam di masyarakat. Para pemimpin hebat lahir dari para ibu yang peduli terhadap isu keumatan.

Dikutip dari muslimahnews.net, tatkala kesadaran politik Islam generasi muda Islam mulai menggeliat, tentu saja musuh-musuh Islam tidak akan tinggal diam. Mereka bekerja terstruktur, sistematis, dan masif untuk terus membungkam kesadaran politik Islam kaum muslimin.

Narasi radikalisme ini akan terus dikumandangkan untuk makin meningkatkan ketakutan generasi muda Islam terhadap ajaran Islam. Narasi radikalisme masih dipandang potensial untuk memengaruhi anak muda agar jauh dari pemahaman Islam kaffah.

Sekaranglah saatnya anak muda meninggalkan pemikiran kufur dan batil yang telah memengaruhinya. Kaji, pahami, dan terapkan pemikiran Islam yang hanya lahir dari dalil syariat. Wallahu ’alam bishowab.[]

Comment