Hakim Cuti Pencari Keadilan Menanti

Opini73 Views

 

Penulis: Ria Nurvika Ginting,S.H, M.H | Dosen FH-UMA

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Peradilan dan hakim merupakan wadah untuk mencari keadilan. Setiap sengketa yang terjadi akan dimohonkan ke peradilan dan hakim untuk mendapatkan keadilan. Hal ini sejalan dengan pernyataan Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat).

Namun, ada aksi ribuan hakim untuk cuti (mogok) bersama di tanggal 7-11 Oktober ini. Aksi ini dilakukan dalam rangka mendapatkan kesejahteraan bagi hidup para hakim sang “pemberi putusan”. Mereka menuntut kenaikan gaji dan tunjangan.

Tuntutan ini dilayangkan karena gaji dan tunjangan hakim tidak pernah mengalami perubahan sejak 12 tahun terakhir sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintahan Nomor 94 Tahun 2021 tentang Keuangan dan Fasilitas Hakim di Bawah Mahkamah Agung.

Gaji hakim golongan III A atau golongan terendah saat ini seperti ditulis tempo.co Sabtu (5/9/24) sekitar Rp 2,05 juta. Sementara hakim dengan masa kerja 32 tahun, golongan IV E atau golongan tertinggi mendapat gaji sebesar Rp 4,9 juta. Di samping gaji pokok itu, hakim mendapat tunjangan senilai Rp 8,5-14 juta, tergantung pada kelas pengadilan tempat mereka bertugas.

Jumlah hakim tingkat pertama di Indonesia sebanyak 6.069 orang dengan jumlah perkara 2.845.784, diilihat dari hasil Laporan Tahunan Mahkamah Agung RI 2023. Sehingga dapat disimpulkan beban penanganan perkara sangat besar untuk ditangani setiap hakim. Di satu sisi mereka diminta memutus perkara dengan bebas, merdeka, tidak memihak dan adil.

Para hakim dituntut untuk menghindari apa yang disebut “Justice delayed is Justice denied” atau penundaan dalam proses keadilan dapat menyebabkan ketidakadilan. Sehingga menurut Wakil Ketua Dewan Pembina DPP KAI, Prof Henry Indraguna, negara wajib memberikan anggaran yang memadai bagi para hakim, agar kesejahteraan mereka tidak terabaikan.

Pengabaian terhadap tanggung jawab negara (state responsibiity) seperti ditulis wartakotalive Minggu (6/9/24) adalah bentuk pengabaian terhadap amanah konstitusi.

Namun jika kita telaah kembali dengan bergemanya tuntutan kenaikan gaji dan tunjangan hingga mereka menggelar aksi cuti (mogok) bersama sedangkan di sisi lain rakyat saat ini dengan besarnya himpitan ekonomi, di mana semua bahan pokok dan kebutuhan dasar yang serba mahal dan harganya semakin melambung tinggi.

Belum lagi para pekerja honorer yang hanya mendapat gaji Rp 200.000-300.000 sebulan dan pembayaran yang juga sering telat dan tak menentu. Sungguh ini menunjukkan begitu besarnya kesenjangan ekonomi dan kesejahteraan di tengah-tengah masyarkat kita.

Selain itu, aksi ini juga berdampak bagi pelayanan masyarakat. Para pencari keadilan yang ingin mendapatkan segera penyelesaian sengketa dan putusan dari sang penegak hukum tertunda.

Sebagaimana disampaikan oleh Pakar Hukum Universitas Udayana (Unud) Subhan Karma Resen atau kerap disapa SKR sebagaimana ditulis tempo co,  bahwa aksi ini bisa menimbulkan ketidaktertiban hukum.

Dampaknya adalah secara teori dan asas hukum berkaitan dengan peradilan cepat, yang tentu saja akan mengganggu mekanisme peradilan yang cepat dan mengganggu pelayanan kepada masyarakat pencari keadilan. Selain itu juga berdampak pada kepercayaan masyarakat terhadap integritas hakim menyangkut profesionalitas hakim.

Hal ini wajar terjadi dalam sistem yang berdiri berdasarkan pemisahan negara dengan agama dan menempatkan bahwa segala sesuatu distandarkan dengan materi yakni sistem Kapitalis-sekuler. Sistem ini juga memberika kewenangan pada manusia untuk membuat hukum (aturan).

Ada oknum hakim yang bekerja tidak professional bahkan terlibat dalam kasus hukum dan disetir para pemilik kekuasaan. Padahal sejatinya mereka sebagai pemberi keadilan di tengah masyarakat yang terzalimi dalam perkara hukum.

Inilah dampak dari diberikannnya kewenangan membuat hukum kepada manusia sehingga dapat ditawar-tawar dan berubah dalam waktu singkat. Kondisi ini bukan semata disebabkan oleh tidak sejahteranya hidup para hakim yang memiliki tugas besar. Namun hal ini dikarenakan para hakim berada dalam sistem kapitalis-sekuler yang diterapkan di tengah-tengah kita saat ini. Sungguh dibutuhkan solusi cepat terkait hal ini secara mendasar dan sistemis. Solusi yang shahih dan sesuai dengan fitrah manusia.

Qadhi dalam Sistem Islam

Sistem Islam hanya mengenal tiga peradilan. Hal ini sesungguhnya hanya pembagian tugas dan fungsi yang berbeda di antara ketiganya karena hukum yang diterapkan hanya satu yakni hukum syariat yang berasal dari Sang Khaliq Allah Swt.

Para hakim dalam peradilan tersebut diketuai oleh seorang Qadhi yang disebut Qadhi Qudhat. Qadhi Qudhat ini harus seorang pria, berakal, merdeka, muslim, adil dan ahli fikih. Qadhi ini diberikan hak megangkat, membina dan bahkan memecat para Qadhi dengan ketentuan administrasi. Sedangkan para pegawai peradilan ini diserahkan kepada pimpinan masing-masing peradilan.

Ketiga peradilan tersebut adalah (1) Peradilan Khusumat yang dipimpin oleh Qadhi Khusumat yang menyelesaikan sengketa ditegah masyarkat, baik yang berkaitan dengan muamalah maupun uqubat (sanksi); (2) Peradilan Hisbah yang dipimpin Qadhi Muthasib untuk menyelesaikan pelanggaran yang bisa membahayakan hak masyarakat; (3) Peradilan Mazalim yang dipimpin oleh Qadhi Mazhalim untuk menghilangkan kezaliman negara terhadap orang yang berada di bawah wilayah kekuasaannya. Kezaliman itu dilakukan sendiri oleh khalifah, pejabat negara atau pegawai lainnya.

Inilah sistem peradilan dalam Islam yang hanya menerapkan satu hukum yakni hukum syariat. Bagaimana dengan kesejahteraan para qadhi?

Hal ini tidak perlu disanksikan lagi karena di sisi lain diterapkan sistem ekonomi Islam yang tidak hanya mensejahterakan seluruh rakyat termasuk para pejabat yang akan diberikan gaji yang sesuai dan kebutuhan pokok yang tentu dijamin oleh negara bagi seluruh warga negara sesuai dengan ketentuan ekonomi dalam sistem Islam.

Para qadhi pun merupakan orang-orang yang dihasilkan dari sistem pendidikan Islam yang melahirkan generasi cemerlang dan shalih yang memahami bahwa tugasnya akan diminta pertanggung-jawaban di akhirat kelak sebagaimana sabda baginda Rasulullah saw.

“Hakim terdiri dari tiga golongan. Dua golongan hakim masuk neraka dan segolongan hakim lagi masuk surga. Yang masuk surga ialah yang mengetahui kebenaran hukum dan mengadili dengan hukum tersebut. Bila seorang hakim mengetahui yang haq tapi tidak mengadili dengan hukum tersebut, bahkan bertindak zalim dalam memutuskan perkara, maka dia masuk neraka. Yang segolongan lagi hakim yang bodoh, yang tidak mengetahui yang haq dan memutuskan perkara berdasarkan kebodohannya, maka dia juga masuk neraka”. (HR. Abu Dawud dan Ath-Thahawi).[]

Comment