Polemik Sertifikasi Halal ala Kapitalisme

Opini106 Views

 

 

Penulis: Maulinda Sari A.Md | Aktivis Dakwah

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Ramai perbincangan soal sertifikasi halal pada produk-produk dengan nama produk yang menunjukkan sebutan sesuatu yang tidak halal. Seperti Tuyul, beer, wine dan tuak yang mendapat sertifikat halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama

Mirisnya hal tersebut dianggap aman karena dzatnya halal. Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal BPJPH, Mamat Salamet Burhanudin mengatakan, produk tersebut telah melalui proses sertifikasi halal dan mendapat ketetapan halal sesuai mekanisme yang berlaku.

Mamat menjelaskan, produk yang bersertifikat halal dari Komisi Fatwa MUI telah melalui pemeriksaan dan pengujian oleh Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), sebagian besar di antaranya oleh LPH LPPOM. Perbedaan ini hanya terkait dengan penamaan produk, bukan pada kehalalan bahan atau proses produksinya seperti ditulis laman resmi BPJPH Kemenag RI (5/10/2024).

Masyarakat pun menjadi gempar, sehingga ramai memperbincangkannya di media sosial. Pasalnya masyarakat sudah mengenal dan memahami dari dulu hingga saat ini bahwa produk – produk tersebut dikenal sebagai minuman keras yang memabukkan dan diharamkan. Sehingga tidak mungkin produk haram bisa menjadi halal.

Inilah model sertifikasi halal dalam sistem kapitalisme. Nama tak jadi soal asal dzatnya halal. Padahal berpotensi menimbulkan kerancuan yang dapat membahayakan, karena persoalannya adalah halal haramnya suatu benda, yang dalam Islam merupakan persoalan prinsip. Selain itu, sertifikasi pun jadi ladang bisnis. Apalagi ada aturan batas waktu sertifikasi.

Menelusuri perihal label halal ini, tentu tidak bisa terlepas dari santernya wacana wisata halal di Indonesia. Sertifikasi halal menjadi satu dari banyak faktor krusial pendukung praktik wisata halal di Indonesia.

Ketua PHRI DIY, Deddy Pranowo Eryono, menilai minuman beralkohol sebenarnya penting untuk pariwisata, terutama untuk memberikan pelayanan kepada wisatawan asing, tetapi peredarannya harus diatur ketat. Pemerintah daerah diminta untuk menindak penjual miras yang tidak sesuai aturan.

“Miras sangat dibutuhkan oleh wisatawan asing, karena di negara mereka miras itu seperti kita meminum air mineral, terutama bir,” kata Deddy seperti ditulis kumparan.com, Kamis (3/10/25).

Lahirnya kebijakkan ini akibat kapitalisme – sekuler yang menjunjung tinggi kebebasan. Gaya hidup hedonis dan liberal yang menjadi pilihan masyarakat justru mendapat ruang oleh pemilik modal, mereka akan mendapat banyak keuntungan dari kebijakan – kebijakan ini, ditambah pariwisata adalah sektor ekonomi yang mengiurkan dan penghasil devisa.

Bagaimana seharusnya masyarakat menyikapi ?

Soal makanan dan minuman, status halal dan tayib adalah mutlak bagi kaum muslim. Makanan/minuman yang mengandung keharaman, baik pada zatnya (meski sedikit) maupun prosesnya, tentu tertolak. Sesuai dengan firman Allah Swt dalam surah Al Maidah:

“Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.” (QS Al-Maidah [5]: 88).

Rasulullah saw. juga bersabda, “Wahai Sa‘ad, perbaikilah makananmu, niscaya doamu mustajab. Demi Zat yang menggenggam jiwa Muhammad, sesungguhnya seorang hamba yang memasukkan satu suap makanan yang haram ke dalam perutnya, maka tidak diterima amalnya selama 40 hari.” (Lihat: Sulaiman bin Ahmad, Al-Mu‘jam al-Ausath, Jilid 6, hlm. 310).

Oleh karena itu setiap Muslim harus memahami hal ini. Mengonsumsi makanan halal adalah penting, karena ibadah bagi seorang muslim pahalanya sangatlah berarti. Maka negara punya peran penting dalam memahamkan setiap muslim akan hukum syara’ dengan menerapakan kurikulum pendidikan berlandasan aqidah sehingga terbentuk individu yang berkepribadian Islam.

Islam memiliki aturan tentang benda/zat, ada yang halal ada yang haram. Negara islam wajib menjamin kehalalan benda yang dikonsumsi manusia, karena negara adalah pelindung agama rakyat.

Sertifikasi halal adalah salah satu layanan yang diberikan oleh negara, dengan biaya murah bahkan gratis. Negara memastikan kehalalan dan kethayyiban setiap benda/makanan dan minuman yang akan dikonsumsi manusia.

Negara menugaskan para qadhi hisbah untuk rutin melakukan pengawasan setiap hari ke pasar-pasar, tempat pemotongan hewan, gudang pangan, ataupun pabrik. Para qadhi bertugas mengawasi produksi dan distribusi produk untuk memastikan kehalalan produk, juga tidak adanya kecurangan dan kamuflase.

Selain itu negara menerapakan sistem ekonomi islam di mana sumber pendapat negara bersifat tetap, artinya sudah ditentukan pendapatan negara dari pos mana saja, di antaranya zakat, pengelolaan SDA, jizyah, fai, kharaj, harta tak bertuan, ghonimah, dll.

Jadi negara tidak akan mengambil yang haram apapun itu demi memperbanyak pendapatan ekonomi negara. Wallahu’alam bishowab.[]

Comment