Merawat Keutuhan Bangsa dengan Politik Moral di Tengah Politik Kekuasaan

Politik6 Views

 

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Pesta demokrasi tahun ini akan memasuki babak kedua, setelah babak pertama dilalui dengan pemilihan umum presiden. Peristiwa ini menjadi momen pemilihan umum serentak terbesar pertama di Indonesia. Karena sebelumnya, Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) belum pernah dilaksanakan di tahun yang sama.

Oleh karena itu, partai harus menyiapkan 2.593 calon untuk diikutsertakan dalam pemilu DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD kota.

Pemilu telah dilaksanakan pada 14 Februari 2024. Sedangkan Pilkada, akan dilaksanakan pada 27 November 2024. Pada pemilihan ini, rakyat Indonesia akan memilih gubernur dan wakil gubernur di 33 provinsi, bupati dan wakil bupati, walikota dan wakil walikota yang berada di 514 kabupaten/kota. Kontestasi pemilihan kepala daerah ini bisa diibaratkan ajang mencari para pemimpin.

Melihat tantangan di tahun politik kali ini sangat beragam dan menghabiskan energi yang luar biasa. Bahkan segala intrik (baik dan buruknya) politik yang dipertontonkan para politisi membuat sebagian besar rakyat ingin memisahkan kehidupannya dengan ruang politik yang makin kehilangan moral/etika.

Padahal berdasarkan survei SMRC pada Juli 2023, masyarakat Indonesia masih cenderung memilih demokrasi daripada sistem politik lain untuk menentukan pemimpinnya, yakni sebanyak 74,7%. Dan Indonesia merupakan satu-satunya negara yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam namun menerapkan sistem demokrasi. Kendati demikian, ada beberapa tantangan berdemokrasi di tahun politik.

Demokrasi yang menyedihkan, jika dilihat dari kasus korupsi di Indonesia menduduki urutan ke 110 dari 180 negara. Lalu, maraknya isu tentang pembangkangan konstitusi, buruknya penegakan hukum. Selain itu, absennya kebebasan pers juga menjadi tantangan demokrasi saat ini, sikap oligarki dan makin maraknya politik dinasti membuat tahun politik kali ini memiliki banyak tantangan. Ditambah lagi dengan maraknya krisis akhlak dan individualisme, diskriminasi, dan segregasi.

Selanjutnya dalam kehidupan politik seringkali muncul fenomena politik kekuasaan, bukan politik moral. Yaitu tindakan politik yang semata-mata untuk merebut dan memperoleh kekuasaan karena dengan kekuasaan politik yang dimilikinya seseorang atau kelompok akan memperoleh keuntungan materi, popularitas, dan fasilitas yang membuat hidupnya serba berkecukupan dan memperoleh status sosial yang tinggi.

Dalam format politik seperti ini, siapapun akan mengorbankan apa saja dan dengan cara bagaimanapun berusaha untuk mencapai tujuan politiknya. Dengan kata lain, kekuasaan adalah segala-galanya sehingga harus diperjuangkan dengan mati-matian.

Sementara dalam politik moral, kekuasaan bukan tujuan akhir, tetapi sebagai alat perjuangan untuk mewujudkan cita-cita moral kemanusiaan. Kekuasaan yang hendak dicapainya tidak diperoleh dengan menghalalkan segala cara, tetapi dicapai melalui cara-cara yang bijak, sah, dan sehat secara prosedural, dibenarkan secara moralitas kemanusiaan, dan kepatutan sosial (beretika).

Politik moral ini seharusnya menjadi tujuan yang harus dicapai oleh politisi sejati, dengan harapan jalannya pemerintahan dan negara akan lebih sehat, kuat, terkontrol, dan berlangsung untuk kepentingan memajukan kehidupan rakyat yang sejahtera, lebih baik secara jasmani, rohani, dan intelektual.

Pandangan ini menarik untuk dicermati, karena sepertinya politikus kekuasaan sudah tidak lagi menjunjung tinggi nilai-nilai adab saat menjabat. Entah menjabat di kursi eksekutif, legislatif, atau pun yudikatif.

Padahal nilai-nilai adab harus dijunjung tinggi. Sebab, hal itu merupakan amanat besar dari para pendiri bangsa yang tertuang dalam Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945.

Jika sekarang politik justru tidak identik dengan nilai dan adab, maka pertanyaan besarnya ‘what went wrong with politics?’ Apa yang salah dengan politik? Tradisi politiknya, budaya politiknya, pelaku politiknya atau apa?

Kondisi ini tidaklah mencerminkan demokrasi Pancasila di Indonesia, yang aktivitas politiknya mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa. Oleh karena itu ada beberapa cara untuk merajut kebangsaan seperti penegasan politik dengan nilai Pancasila, menciptakan ruang perjumpaan dan dialog, serta pesan kebersamaan di ruang publik.

Diadakannya dialog kebangsaan dengan tema “Merawat Keutuhan Bangsa dengan Politik Moral di Tengah Politik Kekuasaan” oleh Radio Silaturahim ini diharapkan pemateri bisa menyampaikan arah yang sebenarnya dari aktivitas politik di Indonesia dan memberikan pencerahan untuk rakyat dalam menghadapi Pilkada 2024.

Pembicara dalam acara tersebut yaitu Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS (Politisi sekaligus Akademisi) membahas dari sudut pandang partai politik, anggota legislatif terpilih dan kepemimpinan. Serta Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc., M.A. (Akademisi sekaligus Pengamat Politik Islam) membahas dari sudut pandang fenomena politik dan kasus-kasus krisis kepemimpinan yang terjadi di lapangan.[]

Comment