Kementerian Gemuk, APBN Remuk  Rakyat Makin Terpuruk

Opini17 Views

 

 

Penulis: Diana Nofalia, S.P | Aktivis Muslimah

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Pemerintahan era Prabowo Subianto kelak dikabarkan akan menambah Kementerian atau Lembaga menjadi 44 dari yang saat ini hanya 34. Hal itu dibocorkan oleh Ketua MPR RI sekaligus Politikus Senior Golkar Bambang Soesatyo (Bamsoet).

Bocoran ini didengar oleh Bamsoet melalui obrolan “warung kopi”, yang disampaikan saat memberikan sambutan dalam acara pembukaan Turnamen Bulu Tangkis DPR dan MPR di GOR Kompleks Parlemen, Jakarta, beberapa waktu yang lalu seperti ditulis cnbcindonesia.

Di sisi lain ada pemberitaan terkait Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) tentang perubahan atas UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara menjadi undang-undang
Pengesahan dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR ke-7 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2024-2025, di Kompleks Parlemen, Jakarta, pada Kamis (19/9).

Hal ini memancing pendapat Pengajar Hukum Tata Negara dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah ‘Castro’ yang menyatakan bahwa penambahan pos kementerian merupakan upaya politik hukum untuk mengakomodasi kepentingan pemerintahan Prabowo Subianto.

“Politik hukum kenapa kemudian komposisi kementerian itu dihilangkan, batas maksimal kalau di dalam ketentuan sebelumnya 34 tapi sekarang dihapus, karena memang rezim pemerintahan Prabowo nanti membutuhkan legitimasi bagaimana mengakomodasi semua kabinet gemuk, itu sudah rahasia umum ya,” ujar Castro sebagaimana dikutip CNNIndonesia.com, Jumat (20/9).

“Jadi, ada semacam over coalition yang butuh diakomodasi, maka satu-satunya pilihan ya menambah jumlah kementerian,” sambungnya.

Padahal, menurut Castro sebagaimana cnbcindonesia, jumlah kementerian 34 sebagaimana aturan sebelumnya pun terlalu banyak. Ia menggunakan logika efektif atau tidak pemerintahan.

Banyaknya Kementerian jelas membutuhkan banyak orang. Konsekuensinya kebutuhan dana untuk gaji para menteri makin besar. Hal ini beresiko bertambahnya utang negara dan naiknya pajak.

Jika pajak naik, tentunya ekonomi rakyat makin terpuruk. Sebagaimana kita tahu, ekonomi rakyat sejak pandemi covid sampai sekarang tidaklah baik-baik saja. Tingkat pengangguran makin tinggi, salah satunya disebabkan ada beberapa perusahaan yang bangkrut.

Di sisi lain, jobdes tiap kementerian bisa jadi makin tidak jelas, bahkan besar kemungkinan akan tumpang tindih, temasuk dalam membuat kebijakan, sehingga tidak akan efektif dan efisien. Jika ini terjadi patut kita pertanyakan, sebenarnya penambahan pos kementerian ini demi kepentingan rakyat banyak ataukah segelintir orang yang memiliki kepentingan?

Selain itu juga ada resiko memperbesar celah korupsi. Semakin nampak dalam hal ini, tak ada jaminan kepentingan rakyat makin menjadi perhatian. Hal ini terkait dengan sistem pemerintahan yang dianut, yang justru banyak berpihak pada para pemilik modal atau oligarki.

Dalam sistem pemerintahan Islam, pemimpin negara (khalifah) bertanggung jawab penuh terhadap seluruh pengelolaan urusan rakyat, karena amanah kepemimpinan ada padanya. Jika urusan tersebut bisa diselesaikan olehnya maka tidak perlu mengangkat pembantu/pejabat. Namun khalifah boleh mengangkat pembantu/pejabat jika itu dibutuhkan.

Khalifah akan memilih pejabat secara efektif dan efisien, dengan jobdesk dan tanggung jawab yang jelas, baik dalam urusan kekuasaan maupun non kekuasaan. Aturan syariat juga membolehkan pemimpin negara mengangkat orang-orang yang dipercaya dalam pengelolaan urusan rakyatnya.

Dalam hal ini, boleh mengangkat pembantu Khalifah sesuai dengan kebutuhannya dalam melaksanakan tanggung jawabnya tersebut.

Tidak ada dalam sistem pemerintahan Islam pengangkatan pejabat karena balas budi, kepentingan apalagi transaksional. Jelas itu perbuatan yang melanggar syariat dan akan dimintai pertanggung-jawabannya kelak di akhirat. Wallahu a’lam.[]

Comment