Ketika Kriminalitas Menjadi Gaya Hidup Pemuda

Opini20 Views

 

Penis:  Poppy Kamelia P.BA(Psych), CBPNLP, CCHS, CCLS | Islamic Parenting Coach, Penulis, Pegiat Dakwah

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Fenomena kriminalitas yang merambah kalangan pemuda saat ini menimbulkan kekhawatiran besar di tengah masyarakat. Kriminalitas yang dulunya dianggap sebagai pelanggaran norma, kini seolah-olah menjadi bagian dari gaya hidup yang diterima oleh sebagian anak muda.

Kabar yang mengiris hati kembali terungkap. Di Cianjur, pada hari Ahad (22-9-2024), 15 pemuda terlibat bentrok antar geng motor dengan senjata tajam seperti pisau dan golok. Seorang mahasiswa juga tewas di Semarang akibat salah sasaran saat terjadi kerusuhan antargangster.

Mapolrestabes Semarang mengadakan Focus Group Discussion yang diikuti TNI, Polri, Pemkot Semarang, hingga para ketua RT dan RW melalui Zoom. (Detik Jateng, 20-9-2024).

Peserta diajak berdiskusi dan memberi usulan untuk menangani masalah gangster yang kian marak di Semarang. Dalam diskusi itu juga muncul data kejadian tawuran yang ditangani sejak Januari hingga September 2024, yaitu ada 21 kejadian dengan 117 pelaku yang ditangkap.

Kejadian ini terus berulang tanpa ada tanda-tanda penurunan. Lantas, mengapa pemuda, yang seharusnya menjadi harapan masa depan, justru terjebak dalam lingkaran kriminalitas?

Faktor Pencetus
Ada banyak faktor yang mencetus maraknya kriminalitas yang dilakukan pemuda, yaitu:

Pertama, Lemahnya kontrol diri dan krisis identitas. Di usia yang penuh dengan gejolak emosional, mereka sering kali kebingungan dalam menentukan siapa diri mereka dan bagaimana peran mereka di Masyarakat. Pengaruh sekularisme yang sangat besar terhadap generasi, mengakibatkan mereka mengabaikan aturan halal dan haram.

Segala tindakan dilakukan demi mempertahankan eksistensi diri dan kelompok mereka. Emosi mereka sangat mudah tersulut, sehingga ejekan di media sosial pun bisa memancing kemarahan yang berakhir dengan tindakan kriminal.

Tanpa kendali iman dan takwa, mereka dengan mudah mengonsumsi alkohol dan hilang kesadaran atau menggunakan senjata tajam untuk melukai orang lain tanpa memikirkan dampaknya terhadap korban, apalagi memikirkan konsekuensi hukum di dunia maupun siksa di akhirat.

Para pemuda ini kehilangan arah dalam memahami siapa diri mereka dan apa tujuan hidup yang sebenarnya. Karena kebingungan akan makna hidup, mereka mencoba mencari pengakuan dengan segala cara.

Naluri mempertahankan diri (gharizah baqa’) yang seharusnya terarah pada hal positif justru berubah menjadi dorongan destruktif. Alih-alih menemukan jalan yang benar, mereka terjebak dalam lingkaran kekerasan, seolah-olah itu adalah satu-satunya cara untuk menegaskan keberadaan mereka di dunia.

Kedua adalah Tekanan Ekonomi. Pengaruh Lingkungan Rusak dan Gagalnya Sistem Pendidikan. Tekanan ekonomi yang berat juga sering kali menjadi pendorong utama. Bagi mereka yang hidup dalam kemiskinan, pilihan hidup terbatas. Ketika lapangan pekerjaan sulit didapatkan, sebagian pemuda memilih jalan pintas melalui kejahatan demi bertahan hidup.

Pengaruh media, baik melalui film, musik, maupun media sosial, sering kali memberikan gambaran bahwa hidup dalam kekerasan dan kejahatan adalah sesuatu yang heroik. Budaya populer ini, yang dibumbui dengan kegagalan sistem pendidikan dalam menanamkan nilai-nilai moral dan etika, semakin memperburuk keadaan.

Sistem pendidikan yang mengusung konsep “merdeka” telah membiarkan para siswa tumbuh tanpa arahan, seolah kebebasan itu berarti mereka bisa melakukan apa saja, termasuk kekerasan. Kurikulum yang seharusnya membentuk karakter dan jiwa bertakwa, malah sibuk mempersiapkan mereka untuk menjadi roda penggerak industri.

Nilai moral dan perilaku anak-anak didik seakan dikesampingkan. Inilah wajah sistem sekuler. Dari sistem ini, lahirlah generasi yang terjebak dalam ambisi materialisme.

Hidup mereka hanya berputar di sekitar mengejar kekayaan, tanpa peduli mana yang benar atau salah, mana yang halal atau haram. Materi menjadi satu-satunya tujuan, bahkan jika harus mengorbankan kemanusiaan mereka sendiri.

Ketiga adalah disfungsi keluarga. Orang tua kerap abai terhadap pendidikan anak di rumah. Mereka sibuk dengan tuntutan ekonomi, sehingga kurang perhatian kepada anak. Anak-anak tidak diberikan nasihat bijak sebagai pegangan hidupnya.

Orang tua merasa sudah cukup dengan menyediakan kebutuhan materi, padahal hati dan perilaku sang anak dibiarkan tanpa arahan.

Sistem ekonomi kapitalisme yang diterapkan negara, menyebabkan kesenjangan antara yang miskin dan kaya semakin lebar. Kondisi ini juga bisa memicu stres orang tua yang berujung pada kekerasan terhadap anak.

Selain itu, negara kapitalis selalu mempromosikan partisipasi ekonomi perempuan sebagai bentuk pemberdayaan perempuan dalam pembangunan. Akibatnya, para ibu lebih sibuk dengan pekerjaan daripada mengurus keluarga atau pengasuhan anak.

Kurangnya perhatian orang tua, atau bahkan kekerasan dalam rumah tangga menjadi sumber frustrasi bagi pemuda, yang akhirnya mencari pelarian dalam pergaulan bebas dan kriminalitas.

Ke empat adalah lemahnya penegakan hukum. UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak mendefinisikan anak sebagai seseorang yang berusia di bawah 18 tahun.

Akibatnya, para pemuda yang telah melakukan tindakan kekerasan dengan senjata tajam hingga mengakibatkan luka parah atau bahkan merenggut nyawa orang lain, hanya menerima pembinaan dari kepolisian dalam bentuk nasihat, kemudian dilepaskan tanpa konsekuensi serius.

Sanksi yang diberikan terasa hanya sebagai formalitas, sehingga ada kemungkinan besar mereka akan kembali mengulangi perbuatannya. Bahkan ketika tindakan kriminal mereka terbukti, hukuman yang dijatuhkan tetap ringan. Dalam UU 11/2012 Pasal 79 ayat 2, diatur bahwa mereka hanya dihukum setengah dari masa hukuman yang dijatuhkan kepada orang dewasa.

Dengan sanksi sefleksibel ini, pemuda yang terlibat dalam tindakan kriminal merasa tidak ada konsekuensi serius atas perbuatannya, sehingga mereka merasa bebas mengulangi kejahatan.

Kapitalisme Sekuler Akar Masalah.
Namun, semua masalah ini bukanlah masalah yang berdiri sendiri. Ini adalah buah dari penerapan sistem sekuler kapitalis yang tidak memanusiakan manusia. Sistem ini hanya berorientasi pada keuntungan materi tanpa memperhatikan kebutuhan spiritual dan moral.

Pemuda, yang seharusnya menjadi aset berharga negara, malah disia-siakan potensinya. Sistem kapitalis tidak memberikan mereka peluang untuk berkembang menjadi pribadi yang berkepribadian mulia, malah mengarahkan mereka untuk hidup dalam kebingungan dan tekanan hidup yang semakin besar.

Sekularisme telah nyata melahirkan manusia-manusia miskin iman yang tidak mampu mengontrol emosinya, bahkan rapuh dan kosong jiwanya.

Alam kehidupan sekuler bahkan telah menyemai mereka sejak dini untuk menjadi generasi rusak yang berakibat pada rusaknya hubungan mereka dengan Allah. Lebih parahnya lagi, mereka juga menjadi generasi yang selanjutnya merusak pihak lain

Negara yang menerapkan sistem kapitalis lebih sibuk mengejar pertumbuhan ekonomi daripada membentuk generasi yang beradab dan berperadaban tinggi.

Potensi besar para pemuda diabaikan, dan alih-alih didorong untuk berkarya dalam hal positif, mereka terjebak dalam budaya materialistis yang merusak pemikiran dan perilaku.

Solusi Islam Dalam Membangun Generasi Berkepribadian Mulia

Islam memiliki solusi yang menyeluruh dalam membentuk generasi yang bebas dari kriminalitas. Dalam Islam, pendidikan tidak hanya menekankan pada aspek intelektual, tetapi juga pada pembentukan akhlak mulia dan ketakwaan. Sistem pendidikan Islam dirancang untuk menghasilkan generasi yang memiliki kepribadian Islami, yang mampu mengendalikan diri dan menolak terjerumus ke dalam tindakan kriminal.

Selain itu, Islam menyediakan lingkungan kondusif, baik di dalam keluarga, masyarakat, maupun melalui kebijakan negara, untuk menumbuhkan ketakwaan dan produktivitas di kalangan pemuda.

Keluarga, sebagai institusi pertama dalam pendidikan, diberdayakan melalui sistem yang menjamin kesejahteraan dan stabilitas, sehingga mampu mendidik anak-anaknya dengan baik.

Negara juga menerapkan aturan yang menguatkan fungsi keluarga dan masyarakat, serta menegakkan hukum yang tegas dan adil untuk mencegah penyimpangan.

Dengan dukungan dari sistem yang holistik ini, akan lahir generasi muda yang hebat, yang mengarahkan potensinya untuk berkarya dalam kebaikan, mengkaji Islam, mendakwahkannya, serta terlibat dalam perjuangan menegakkan nilai-nilai Islam. Pemuda yang dibesarkan dalam lingkungan yang islami akan tumbuh menjadi individu yang berperan aktif dalam membangun peradaban yang mulia.

Peran Negara dalam Mewujudkan Generasi Berkualitas

Negara memiliki peran krusial dalam mewujudkan generasi yang berkualitas. Negara membangun sistem yang memperkuat fungsi keluarga dengan menerapkan aturan yang menjamin kesejahteraan dan mendukung terbentuknya masyarakat yang peduli. Selain itu, negara juga menyiapkan kurikulum pendidikan yang harmonis dalam keluarga, sehingga setiap anak yang tumbuh dalam keluarga mendapatkan lingkungan yang positif.

Dengan dukungan dari semua elemen ini—keluarga, masyarakat, pendidikan, dan kebijakan negara— akan menciptakan pemuda yang tidak hanya menjauhi kriminalitas, tetapi juga mampu menjadi pionir dalam membangun masa depan yang lebih baik.

Pemuda akan menjadi garda terdepan dalam menciptakan perubahan positif, yang tidak hanya bermanfaat bagi diri mereka sendiri, tetapi juga bagi seluruh umat manusia.[]

Comment